Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh
Oleh: Surya Gemilang
Saat tengah
malam, gempa membangunkan si Pembunuh dan istrinya yang tengah hamil besar. Gempa
tersebut berlangsung selama kira-kira lima detik, membuat seluruh dinding rumah
si Pembunuh dipenuhi retakan, hingga tampak seperti cangkang telur yang hampir dipecahkan oleh seekor
anak ayam dari dalam. Lucunya, langit-langit pun lantai tak terluka sama
sekali.
“Biaya
renovasinya pasti akan amat mahal,” komentar si Pembunuh.
“Berapa
orang yang mesti kau bunuh untuk memenuhi biaya renovasi itu?” tanya sang
istri.
“Entah.
Akan segera kupikirkan.”
Mereka
memutuskan untuk lanjut tidur. Ketika si Pembunuh hampir kembali terlelap,
mendadak ia mendengar suara-suara aneh dari seluruh penjuru mata angin, begitu
dekat dengan dirinya. Tentu ia segera membuka mata. Dan, si Pembunuh mendapati roh-roh
memasuki kamarnya melalui retakan-retakan di dinding; mereka tampak seperti
cairan yang bisa melewati celah sekecil apa pun. Ia mengingat wajah seperempat
dari roh-roh itu, yang tak lain adalah korban-korbannya terdahulu. Roh-roh lainnya pasti juga para korbanku,
hanya saja telah kulupakan.
Sembari
sarapan di ruang makan, si Pembunuh menceritakan pada istrinya soal roh-roh
yang semalam ia lihat, roh-roh yang sang istri tak lihat karena tidur terlalu
nyenyak.
“Tapi, ke
mana mereka semua sekarang?” tanya sang istri.
“Entah.
Mungkin mereka hanya muncul pada malam hari, seperti di cerita-cerita fiktif.”
“Maksudmu,
malam nanti dan malam-malam seterusnya mereka akan muncul lagi?”
“Entah. Tapi
toh aku tidak takut pada mereka. Kau juga, pastinya.”
Sang istri
tampak menimbang-nimbang sejenak. “Mereka tidak akan melukai kita?”
“Tidak.
Karena telah banyak roh yang kulihat, aku jadi bisa membedakan mana yang akan
melukai, mana yang sekadar menakut-nakuti dengan menampakkan diri, atau mana
yang sekadar lewat. Hantu-hantu yang semalam muncul adalah jenis kedua.”
“Bagaimanapun,
sebaiknya kita segera merenovasi dinding-dinding rumah ini, jika memang mereka
masuk melalui retakan-retakan itu. Apa kau mau persetubuhan kita disaksikan
banyak roh? Tidakkah kau merasa risih, sekalipun tidak takut?”
“Ya. Pasti
akan membuat risih.” Si Pembunuh mengembuskan napas berat. Lalu ia mengganti
arah pembicaraan, “Lucu sekali kalau dipikir-pikir. Kenapa mereka masuk lewat
retakan-retakan di dinding yang baru muncul semalam, alih-alih lewat ventilasi
yang telah ada sejak rumah ini dibangun?”
“Mungkin
faktor selera?”
Mereka
tertawa terbahak-bahak.
Siangnya,
seorang ahli bangunan berkunjung ke rumah mereka. Setelah mengamati dinding di
seluruh ruangan, ia mengucapkan sebuah harga. Si Pembunuh pun berpikir, Setidaknya aku mesti membunuh tiga orang.
Sorenya, si
Pembunuh menerima surat pemesanan untuk membunuh seorang gigolo muda. Menjelang
malam, ia langsung berangkat menuju lokasi targetnya, dan sukses menyelesaikan
tugas dengan tak terlalu sulit pada pukul sembilan malam. Pukul sepuluh malam
di hari yang sama, ia berjumpa dengan orang yang memberinya order dan menerima
bayaran di tempat. Dua jam kemudian, si Pembunuh memasuki rumahnya dan
mendapati roh-roh telah memenuhi ruang depan, beterbangan di udara, umpama
ikan-ikan di akuarium. Berdiri di depan pintu kamar, ia mendengar
desahan-desahan sang istri. Ia merancap sebab
tak sabar menungguku pulang. Begitu membuka pintu, kontan si Pembunuh dan
istrinya menjerit kaget. Sang istri menjerit karena melihat si Pembunuh baru
pulang; si Pembunuh menjerit karena melihat sang istri sedang bersetubuh dengan
diri si Pembunuh yang lain! Diri si Pembunuh yang lain pun serta-merta berubah
ke wujud aslinya: roh sang gigolo muda. Itu adalah pembalasan dendam paling
menyakitkan yang pernah si Pembunuh terima dari korbannya.
***
Si Pembunuh
berbisik pada istrinya, “Aku akan mengucapkan kode begitu aku-yang-asli pulang
nanti. Kodenya: pisau jatuh dari langit.”
Sang istri
bergumam, mengulang kode tersebut.
“Jika aku
tak mengucapkan kode itu,” tambah si Pembunuh, “berarti itu bukan aku.”
Si Pembunuh
pun pergi ke lokasi target pembunuhan selanjutnya, di sebuah rumah sakit. Menurut
surat pemesanan yang diterimanya pagi tadi, targetnya adalah seorang dokter
kandungan. Entah kenapa si Pemesan ingin dokter tersebut mati. Yang jelas,
setelah membunuh sang dokter kandungan dan menerima bayaran dari sang pemesan,
si Pembunuh langsung pulang dan mendapati sang istri, dikelilingi roh-roh yang
berdansa-dansi bahagia, menangis tersedu-sedu di tempat tidur.
“Pisau jatuh dari langit. Ada apa? Apa
hantu-hantu membuatmu takut?”
Setelah
bertanya demikian, tanpa sang istri menjawab, si Pembunuh tersadar bahwa perut
wanita itu telah mengempis. Bakal bayi mereka lenyap entah ke mana, dan
pembalasan dendam itu lebih menyakitkan ketimbang yang kemarin.
***
Sebelum menuju
lokasi target pembunuhan berikutnya, si Pembunuh mengantarkan istrinya ke Penginapan
X yang jauh dari rumah—dan tak terkena dampak gempa—yang tiap sisi dindingnya
terbebas dari retakan. Tentu itu dilakukannya karena pembalasan dendam yang
ditujukan pada orang-lain-yang-dicintai jauh lebih merepotkan ketimbang yang
ditujukan pada diri sendiri. Lebih-lebih, ia diberi tahu bahwa target
pembunuhannya kali ini adalah pensiunan pembunuh bayaran.
Dan, sesuai
dugaan si Pembunuh, terjadi pertempuran sengit antara ia dan targetnya. Di
akhir pertarungan, si Pembunuh kehilangan tangan kiri, sedang sang lawan
kehilangan nyawa.
Tidak, itu
bukan akhir pertarungan. Rupanya, korban si Pembunuh belum benar-benar kalah; sesaat
kemudian muncullah rohnya, yang segera memberi serangan bertubi-tubi. Tapi
tetap saja roh itu gagal menang, meski si Pembunuh telah benar-benar kelelahan.
Bagaimanapun, sebelum roh itu mati, si Pembunuh mesti kehilangan tangan kanannya
pula.
***
Para
pekerja bangunan sedang menumpas retakan-retakan pada setiap sisi dinding di rumah
si Pembunuh. Sementara itu, si Pembunuh diopname di sebuah rumah sakit
sederhana—yang, telah ia pastikan, tak memiliki retakan sama sekali pada tiap
sisi dindingnya—di dekat Penginapan X.
“Berjanjilah
untuk tak membunuh lagi,” kata sang istri, ketika menjenguk suaminya untuk
pertama kali, pada suatu pagi.
“Tentu. Aku
juga tak akan mendapat surat pemesanan lagi begitu kondisiku diketahui oleh
para pelanggan.”
“Kita akan
sama-sama memikirkan cara lain untuk mencari uang.”
Seminggu berlalu,
akhirnya sepasang suami istri itu sudah bisa beristirahat dengan nyaman di
kamar mereka, di rumah yang setiap dindingnya tak dihiasi retakan sekecil apa
pun. Tentu saja kemudian mereka bersetubuh untuk “mengembalikan” bakal bayi
yang hilang, tanpa disaksikan roh-roh yang mengisi udara malam. Tiba-tiba,
gempa bumi. Sekitar lima detik kemudian, mereka yang masih telanjang dan berada
pada posisi menyenangkan pun tak lagi melihat dinding-dinding di sekeliling, melainkan roh-roh yang berdansa-dansi bahagia. (*)
Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku
pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Buku ketiganya,
berupa kumpulan puisi juga, berjudul Mencicipi
Kematian (2018). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih
dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Bali
Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co,
dan lain-lain.
Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh
Reviewed by takanta
on
Maret 29, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar