Cerpen: Senja yang Menyakitkan
Oleh: Muhtadi ZL
Di akhir bulan Januari,
Mirna akan kedatangan tamu. Seorang lelaki jangkung, dengan hidung sedikit
mancung dan gaya rambut yang dikepang. Lelaki itu kerap terbesit dalam benaknya
ketika tidur dan melamun.
Wajar jika Mirna
benar-benar rindu pada Tarno, lelaki jangkung itu. Sebab mereka berpisah sudah dua
tahun. Dengan rentan waktu yang cukup panjang itu, hati Mirna kesepian.
Hari-harinya selalu sendiri, padahal di sekelilingnya ada keluarga dan adiknya
Marni, yang kerap mendatanginya saat sendiri, namun ia mengabaikan adiknya.
Sebelum akhir 2017
bertandang, Mirna dan Tarno sering berdua, kadang di ruang tamu, di amper rumah,
di halaman rumah duduk berdua di atas lincak di bawah pohon mangga. Sambil menikmati
desir angin dan hangat mentari pagi.Tarno tidak canggung pada keluarga Mirna, karena
ia sudah mendapat restu dari orangtua Mirna untuk menjaga dan meminang putri
sulungnya. Beruntung sekali Tarno mendapatkan Mirna, perempuan yang seperempat
hidupnya besar pada lingkungan agamis.
Setiap kali berdua,
topik yang mereka bicarakan tidak lepas dari pernikahan. Orangtua Mirna sudah
menyarankan pada Tarno untuk mencari tanggal yang baik sesuai kitab primbon.
Namun ia masih bingung, bimbang mengelilingi batok kepalanya. Tarno masih ingin
bekerja, dan ia akan memenuhi permintaan orangtua Mirna akhir bulan ini, meski
dalam hati ia sudah tidak kuat menahan nafsu biologisnya.
Ketika memasuki akhir
Desember 2019, wajah perempuan sembilan belas tahun itu selalu tampak ceria. Berseri-seri
seperti gadis yang melakukan perawatan setiap hari. Teramat bahagia hati Mirna di
bulan Desember ini. Harap-harap kehadiran Tarno lebih cepat dari janjinya.
Selama bulan
Desember, Mirna menunggu di dekat jendela kamarnya, melihat ke halaman yang
gersang, segersang hatinya yang menunggu kepastian dari Tarno. Mirna tak pernah
bosan melakukan itu—menunggu, meski sampai saat ini ia tidak bertemu Tarno,
lelaki yang ia damba.
Setiap kali tidur,
tak jarang Mirna bermimpi Tarno. Tetapi mimpinya selalu menambah luka di
hatinya, karena lelaki yang ia damba—dalam mimpinya—berduaan dengan perempuan yang
entah siapa, dan mimpi itu kerap mendatangi tidur Mirna. Karena keseringan, Mirna
hampir hafal perempuan itu. Tapi ia yakin mimpi hanya mimpi, tidak lebih dari kembang
tidur.
Sesekali Mirna bertanya
pada ibunya, apakah Tarno memberi kabar meski lewat telepon, namun ibunya
menggeleng. Padahal ketika ia meramu kenangan pertama pisah, Tarno berjanji
akan sering-sering memberi kabar. Tapi sampai saat ini, lagi-lagi ia belum
mendapatkan janji yang tak pasti. Apakah Tarno lupa pada dirinya? Atau sebenarnya
hati Tarno sudah ada yang punya? Entahlah, ia hanya bisa memengang janjinya.
Pukul empat sore,
terbesit dalam benaknya untuk menelpon ibu Tarno. Meski sedikit canggung, ia
mencoba melawan getirnya. Mirna takut, rindu dalam hatinya kian menjalar
menyesaki labirin hatinya.
“Kang Tarno sudah
pulang, Buk?” tanyanya berharap ada jawaban yang akan mengobati gelisah dan
resahnya.
“Iya, Nak, Tarno
sudah cukup lama datang. Sekitar, setengah bulan. Apa dia tidak mengabarimu?”
Tiba-tiba mata Mirna
bening, perkataan ibu Tarno menyayat hatinya.
“Kemarin dia bilang
akan ke rumahmu, Nak, dan hari ini dia juga bilang begitu.”
Mirna merasa terpukul.
Dari daun jendela kamarnya, ia manatap kembali luas halaman, seluas harapannya
menunggu Tarno yang tak kunjung datang. Sesekali ia memperhatikan pengendara yang
hilir-mudik. Dalam hati ia berdoa, dari sekian pengendara, ada orang yang bisa
mengobati luka di hatinya.
“Ya, sudah Buk,
mungkin Kang Tarno akan datang.”
Dengan setumpuk
tanya dan resah ia menutup teleponnya. Terbesit dalam kepalanya mimpi-mimpi itu,
mengingatnya, hatinya bergetar, matanya mengembun.
Mirna tetap memaku
pandang pada jalan dari dekat jendela. Ia tetap yakin kalau Tarno akan
menemuinya di saat diriya membutuhkan hadirnya.
Ketika hendak
merebahkan tubuhnya, ia melihat sepeda yang sangat ia kenal. Sepeda itu pernah
membawannya pergi berdua ke taman yang rindang penuh kupu-kupu dan bunga. Orang
yang mengendarai, pun Mirna hafal. Itu Kang Tarno, ucapnya pelan. Secarik
senyum terukir di bibirnya. Namun, senyum itu kelu dangan perempuan di gunjing Tarno.
Seolah kehadiran perempuan itu menjadi duka baginya. Perempuan berkerudung biru
itu memeluk Tarno.
Pada jendela itu, gerimis mulai turun. Membekas dan terus membekas. Sontak tubuh Mirna
kaku, melangkah ia ragu dan perasaannya pilu, tiba-tiba terbayang pertanyaan
dalam angannya.
“Apakah ini jawaban
dari mimpi beberapa hari lalu?” tanyanya, di hadapan senja yang tiba-tiba membuat
matanya jadi berair. (*)
Annuqayah, 2019
Muhtadi .ZL,
mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-guluk, Sumenep, Madura dan
Pengurus Perpustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis
Kreatif (KPK)-Iksaj dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lub-Sel.
Cerpen: Senja yang Menyakitkan
Reviewed by takanta
on
Maret 15, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar