Kabar Kematian Kawan Seniman; In Memoriam Cak Bakir
Foto : Anjrah LB |
Oleh
Anjrah Lelono Broto *)
Untung
tak dapat diraih, hayat tak selamanya dikandung badan. Kematian serupa serupa
pelangi yang tak mungkin terbit melangit setiap hari. Tapi pasti akan datang
suatu saat nanti. Entah di musim hujan dan atau tidak sekali. Karena, kita –sebagai
homo religia- diajarkan untuk menerima segala takdir dari Sang Adi Daya, pencipta
kita.
Kabar
kematian senantiasa mengundang jeda sepersekian satuan waktu untuk sekedar
bernafas. Kita tercenung sejenak, di antara lembah-lembah ketidakpercayaan dan
ketidakberterimaan, kita kadang tanpa sadar menggugat Tuhan; “Mengapa orang itu cepat kau panggil pulang
ke haribaan?”
Terlebih,
jika kabar kematian datang dengan memanggul nama orang-orang yang “dekat”
dengan diri kita. Karena hubungan ikatan perkawinan, hubungan
darah/kekerabatan, hubungan kerja, maupun hubungan domisili, manusia merasa
memiliki sebuah ke”dekat”an. Di antara sekian hubungan men”dekat”kan tersebut,
bisa jadi hubungan yang terjalin gegara kesamaan dunia yang mampu menghadirkan
rasa bahagia melahirkan kompleksitas respon datangnya kabar kematian.
Mengingat, hubungan ini menyentuh ranah paling hakiki dalam perjalanan kehidupan
manusia yang dilandasi motif pencarian kebahagiaan.
Bukankah
Arifin C. Noer melalui Kapai-Kapai (1970) telah menyebutkan secara
berulang-ulang; “Apa yang kita cari dalam
hidup ini?” Lantas, jawabannya pun disampaikan berulang-ulang; “Bahagia”.
Di
tahun 1996, naskah drama ini pula yang menjadi muawal perkawanan saya dengan
seorang Firman Hadi Fanani (Cak Bakir Ramelan); seorang kawan penulis lakon
drama anak-anak, pemusik, penyiar radio, dan (tentu saja) aktor penuh dedikasi
di Komunitas Tombo Ati (KTA) yang telah memenuhi panggilan-Nya mendahului kita
semua pada hari Kamis, 27 Pebruari 2020, Pukul 23.30 di RSUD Jombang karena
sakit. Meninggalkan seorang putra, satu hari jelang pernikahan mantan istrinya.
Ketika
itu kami masih sama memiliki hak pakai seragam putih abu-abu dan terlibat dalam
agenda bersama berupa pentas gabungan tiga kelompok teater pelajar di Kabupaten
Jombang. Cak Bakir berangkat dari Teater “S” SMAN 1 Jombang, sedang saya dari
Teater “Sansessus” SMAN 2 Jombang, plus teman-teman dari Teater “Ruci” SMAN 3
Jombang. Perkawanan tersebut pun berlanjut hingga kami lulus. Kami sering
menghabiskan waktu bersama sekedar untuk mencumbu bergelas kopi dan kepulan
nikotin, berbagi bantal dan tikar tidur, berboncengan mendulang udara malam
Kota Santri, dan terutama terlibat dalam beberapa proses penggarapan repertoar
teater maupun pembinaan bersama di KTA dan Kelbinterbang (Bengkel Pembinaan
Teater Se-Jombang).
Di
sekitar tahun 1998-1999, lakon drama berbahasa Jawa (Mataraman) “Tuk” karya Bambang Widoyo SP (Kenthut
Gapit) merupakan salah satu repertoar teater yang menyatukan kami berdua dan
meninggalkan kesan mendalam. Selain, karena lakon tersebut menuntut kami
berlatih keras dan melakukan riset dialek Jawa Mataraman sesuai dengan tuntutan
cerita, tokoh Marto Krusuk dipercayakan untuk saya perankan, sedang Cak Bakir
mendapatkan beberapa kepercayaan, baik sebagai pemusik maupun sebagai tokoh
dalam lakon gemuk (tokohnya banyak, pen) yang banyak menginspirasi penulisan
naskah drama berbahasa Jawa hingga kini --sesuatu yang juga diakui seorang Andy
Sri Wahyudi dalam bedah bukunya “Mak, Ana
Asu Mlebu Omah” (2015) di Warung Boenga
Ketjil beberapa tahun lalu--. Cak Bakir dengan tubuh tinggi besarnya pun
dituntut membangun suasana kultural Jawa dengan tiupan serulingnya di bawah
balutan daster ketat tokoh emak-emak yang dipercayakan padanya.
Lalu,
dalam beberapa repertoar teater Besutan, Cak
Bakir lekat dengan karakter Sumo Gambar (antagonis) dengan dialek Madura yang
ber”sengkok” dan ber”be’en”. Tubuh dan power suaranya yang ekstra keras mampu menghidupkan karakter
tersebut. Bersyukur, saya pernah menjadi lawan mainnya berperan sebagai tokoh Man Gondho (Man Jamino) dalam repertoar
teater yang mempegunakan bahasa Jawa (arek)
tersebut di Balai Pemuda Surabaya pada awal 2000-an.
Karakter
humoris cak Bakir merupakan satu hal mendasar yang mampu membuatnya ajur ajer dengan beragam komunitas
publik. Darinya juga, saya akui banyak belajar tentang bagaimana membangun-ciptakan
guyonan-guyonan segar untuk
menciptakan relasi komunikasi apik di depan audience.
Perjalanan hidupnya yang tidak sebahagia lakon-lakon yang pernah dimainkannya
merupakan tanda sayang-Nya dengan berikan ujian hidup berkadar berat berlipat.
Hingga sungguh masuk di nalar, mengapa Tuhan cepat memanggil sebab nilai-nilai
bagus telah tertera di raport kehidupan seorang Cak Bakir.
Rasanya,
satu atau dua halaman tulisan takkan cukup untuk mengisahkan kenangan-kenangan
dengan seorang kawan dari dunia yang membuat kita sama merasa bahagia. Sebagai
seorang Heideggerian, saya tentu sepakat dengannya yang menyebut kematian bukanlah
“sekedar berhenti-untuk-hidup” atau “berhenti-untuk-menjadi” (becoming),
tetapi kematian adalah cara berada dari manusia itu sendiri. Mengingat, manusia
“ada” hanya untuk “menuju kematian” (Heidegger Dan Mistik Keseharian:
Suatu Pengantar Menuju Sein Und Zeit, 2008:27).
Selamat jalan, Cak
Bakir. Selamat jalan, Kawan. Sampeyan
senantiasa ada dan tak pernah pergi dari kami.
Al Fatihah.
*****
Trowulan, Maret 2020
*) Penulis, Bergiat di Lingkar
Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) –sebuah komunitas non sanggar.
Tentang Penulis
Aktif menulis esai, cerpen, serta puisi
di sejumlah media masa. Di antaranya Media
Indonesia, Lampung Post, Riau Pos, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Harian
Surya, Harian Bhirawa, Banjarmasin Post, Surabaya Post, Surabaya Pagi, Malang
Post, Duta Masyarakat, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Pikiran Rakyat,
Nusantaranews, Jendela Sastra, IdeIde, Litera, Kawaca, Berdikaribook, Pojok
Seni, Galeri Buku Jakarta, Roemah Cikal, Travesia, Magrib.Id, Takanta, Jejak
Publisher, Biem, Apajake, Simalaba, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Kidung
(DKJT), dll. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama Pasewakan (Kongres Sastra Jawa III,
2011), Malam Seribu Bulan (antologi
puisi Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2015), Margasatwa Indonesia (Lumbung Puisi IV, 2016), Klungkung Dalam Puisi (Dewan Kesenian Klungkung, 2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016),
Sang Perawi Laut (2018), Tamasya Warna (2018), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi
Indonesia-HPI Riau, 2018), When The Days
Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), dll. Karya
tunggalnya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010), Orasi
Jenderal Markus (naskah monolog, 2011), Emak,
Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (antologi cerkak, 2015), “Nampan
Pencakan (Himpunan Puisi, 2017), dan Permintaan
Hujan Jingga (antologi puisi, 2019). Terundang
dalam agenda Muktamar Sastra (Situbondo,
2018), dan karya naskah teaternya “Nyonya
Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara
Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan
(LISSTRA) dan dapat disapa di e-mail:
anantaanandswami@gmail.com,
FB: anjrahlelonobroto, IG: anjrahlelonobroto, dan Whatssapp: 085854274197.
Kabar Kematian Kawan Seniman; In Memoriam Cak Bakir
Reviewed by takanta
on
Maret 05, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar