Oleh: Haikal Faqih
Di sela pembelajaran, Ustaz Ubaid menasehati para muridnya.
“Sekarang sudah banyak, Bhing[1],
pemuda-pemudi seumuran kalian yang hanya mondok, tetapi diri mereka tetap tak
jadi santri.”
Lia yang mendengar bertambah cemas menyadari kenyataan buruk
di sekelilingnya. Sebenarnya ia bukan tipikal orang yang teramat peduli kepada
orang lain, akan tetapi satu orang yang dia cemaskan rasanya melingkupi untuk
beberapa orang di sekitarnya. Dia tidak akan sebegitu luar biasanya mencemaskan seseorang
kecuali dia sudah terlampau takut untuk sendiri tanpa seorang itu. Sebuah rasa
purba yang turut bersemayam di hatinya.
“Saya beri contoh, ketika saya ngajar di putra, ta’zim kepada guru nyaris pudar. Ada yang tidur, bukunya dibuat bantal, ada yang acuh tak acuh. Ini di pesantren, loh! Yang katanya belajar kitab Ta’lim Muta’allim[2] itu. Dekadensi akhlak sudah tidak bisa lagi ditolerir.”
“Dari itu saya merasa berdosa kepada pesantren, Merasa gagal
jadi mursyid. Menurut penilaian saya hanya segelintir murid saja yang
mendengarkan dan mau mengamalkan materi akhlak yang saya berikan.” harap-doanya.
“Andai Allah swt. tidak berfirman khudzil ‘afwa[3]
dan Ulama’ tidak mencontohkan sebuah kesabaran dalam mendidik, dari dulu sudah saya tampar semua
atau berhenti
dari tanggung jawab membimbing mereka. Hah, semoga saja mereka bisa
mengamalkannya suatu saat.”
Sekelas diam seakan juga terkena
tamparan Ustaz Ubaid. Di pojok bangku depan, wajah Lia murung. Dia ingat Zain
yang ia kasihi, saat di desa dulu gampang bergaul dengan semua temannya tanpa
pilih, dia terbuka. Tak jarang sifat-sifat buruk temannya ia endap dalam
dirinya. Waktu SMP Zain pernah dipanggil ke kantor lantaran ditengarai
berencana tawuran dengan sekolah lain.
Cemas ia memikirkan bagaimana dan
dengan siapa Zain bergaul. Takut Zain salah lagi dalam memilih teman setelah
dua tahun lebih mondok, lalu masuk dalam kategori kelompok yang Ustaz Ubaid sinyalir barusan. Na’uzubillah, gumamnya.
“Seperti contoh, ada satu siswa yang
nyaris dalam bagian saya, juga setiap hari menurut laporan beberapa guru, dia
selalu saja tidur di kelas. Sampai-sampai saya hafal betul wajahnya dibanding
dengan murid yang lain.” Ustaz Ubaid mulai memberi contoh.
“Namanya siapa Ustaz?” salah seorang
teman Lia menimpali, menjadi hal yang
lumrah bagi santri dalam urusan privasi
lawan jenis mereka antusias ingin mengetahuinya.
“Zainurrahman.” Tukas Ustaz
Ubaid.
Lia terenyak, nama itu disebut bukan
pada saat yang ia harap. Beberapa teman yang dekat tempat duduknya dengan Lia menatapnya penuh heran.
Menyadari hal itu, Lia kembali merundukkan mukanya bersama rasa kecewa. Sangat
tak menyangka ia mengapa dari sebanyak santri itu, yang disebut bisa tepat
kepada nama tadi seakan-akan nama itu memang sengaja disebut oleh ustaz.
Berulang dalam hati ia mengemis, na’udzubillahi min dzalik.
“Kamu kenapa, Lia? Siapa gerangan orang yang
namanya disebut Ustaz barusan?” yang bertanya itu adalah teman sebangkunya.
“Tidak apa-apa, hanya kenal.”
“Sepertinya lebih?”
Lia menyembunyikan muka yang memulai
sengkarut dan hanya bisa menggeleng menanggapi temannya.
***
Semenjak pulang sekolah hingga hampir
masuk waktu shalat Ashar kerjaan Lia hanya tiduran di sudut kamar sembari memeluk sebuah boneka
yang diam-diam adalah hadiah yang diberikan Zain setahun yang lalu. Untuk kali
ini pelukannya berbeda, seperti pelukan kecewa bercampur marah. Sesaat dia membalikkan tubuh
menghadap dinding, juga adakalanya tiba-tiba ia terlentang menghadap
langit-langit kamar. Barangkali Lia tak mau air matanya jatuh di hadapan para
temannya.
Sedangkan teman-teman sekamarnya seolah kompak mengerti bahwa ia sedang ingin
sendiri. Tak ada yang mengusik apa yang ia derita kini. Bahkan Ifah, teman terkarib
Lia pun hanya bisa bingung, ikut baper keadaan.
Tak mau memperpanjang bicara, temannya itu
ketus bilang, “biasa, lagi PMS dia.”
Mungkin seluruh temannya termasuk Ifah
pun tak pernah tahu nama di balik
‘dia’ dalam setiap tulisan di buku diary Lia adalah nama
yang baru didiagnosa Ustaz Ubaid sebagai orang yang ‘hanya mondok’. Nama yang
seharusnya mendebarkan hatinya setiap kali disebut malah meruntuhkan warna
hidup yang telah lama ia bangun.
Mengapa harus nama itu yang keluar?
Hatinya tak surut bergumam. Ada apa sebenarnya dalam diri kekasihnya itu.
Mengapa tingkahnya bisa jadi demikian. Baru kali ini ia merasa dikecewakan, sekecewa yang
pernah ia rasakan. Untuk selanjutnya masih banyak pertanyaan ‘mengapa’ yang
bermunculan di batok kepalanya.
Serasa pupus sudah semua doa panjang
untuk Zain dalam setiap sepertiga malamnya. Dia pikir-pikir kembali apa yang
kurang dari doanya. Memuji Tuhannya, bershalawat kepada Nabi di awal dan di akhir doa sebagai rukun tak pernah ia lupakan. Lirih penuh harap dan tadharru’
selalu ia perhatikan. Bahkan tak jarang ia menangis tersedu sebab terlalu
khusyuk berdoa. Satu lagi, bahwa doanya selalu ikhlas ia panjatkan. Semua demi
Zain. Lalu
apa yang salah? Apa yang masih kurang? Mungkinkah doanya terlalu panjang untuk
ukuran ibadahnya yang sedikit? Tuhan masih berkehendak membiarkan Lia dalam
bingung sore itu.
Pada akhirnya semua bermuara pada satu
titik tumpu, ialah rindu yang memaksa menjadi debu. Tak pernah sememaksa yang
pernah ia rasakan. Ia ingin menasehati Zain selembut nasehat ibu kepada ia
dahulu. Bahwa Zain tidak sepatutnya melakukan hal konyol
seperti itu karena memiliki imbas yang besar pada kehidupan nanti. Andai Zain berontak dia akan balas memarahinya, atau kalau
perlu ia akan menangis di hadapan Zain. Entah nanti akan menjadi tangis yang
jujur atau tangis yang ia buat-buat sebagai senjata ampuh untuk menundukkan seorang
lelaki sebagaimana yang biasa dilakukan kebanyakan perempuan.
Hanya karena persoalan memalukan itu,
dalam diri Lia buntutnya masih panjang. Keesokan harinya Lia membangun nyalinya
untuk bertemu Zain walau dengan cara melanggar aturan pesantren. Semua dibatahnya
berdasar alasan ‘demi’.
Setiap pergi ke sekolah Lia lebih
berlama-lama diam di persimpangan jalan antara santriwan dan santriwati sekedar
pura-pura menunggu sepi untuk menyeberang sesambil dilihatnya jika ada santriwan yang lewat, berharap santriwan itulah
yang ia maksud. Namun, hingga dua minggu tak juga ia bertemu. Semesta kadang
senang bercanda[4].
Kemudian tekadnya goyah setelah dia diincar oleh Pengurus Keamanan dan Ketertiban yang sering
berjaga-jaga di
persimpangan jalan tersebut. Karena takut, ia menyudahi aksinya itu.
***
“Kenapa struktur kamarnya belum ditempel? Lia!
Masih belum beli double tip?”
“Tadinya sih sudah
berangkat ustazah, tapi di koperasi kosong.”
“MasyaAllah, gimana kamu ini,
harusnya sudah dipersiapkan sejak jauh hari. Administrasi seluruh kamar harus
rampung sejak kemaren. Kemaren kamu sudah menangguhkan, sekarang mau alasan apa
lagi?”
Habis-habisan Lia dicecar dan dimarahi
oleh pengurus pondok. Sebagai sekretaris kamar, dialah yang paling bertanggungjawab dalam masalah
administrasi kamar. Ia mulai membenamkan wajah.
“Jadi bagaimana ustazah?”
Ustazahnya berpikir sejenak lalu rautnya seperti mempertimbangkan
sesuatu.
“Baiklah, sudah tidak ada jalan lain. Sekarang
kamu pergi ke qismul amn[5]
minta izin beli double tip di koperasi putra. Cepatlah, di putra
sekarang waktunya ngaji kitab.”
“Baik, ustazah.”
Lia melegang menuju kantor qismul amn. Ada
secercah harapan saat ia membuka gerbang, moga-moga kali ini ia dipertemukan
oleh Tuhan. Lia berjalan ke arah timur, sengaja ia berjalan pelan. Wajahnya
agak merunduk tapi matanya tak henti melihat sekeliling setajam nyalang burung
hantu di kelam malam, namun tetap terlihat teduh. Dalam hati tak putus ia
berharap. Berharap sekali.
Suasana legang. Seluruh santriwan
memang sedang mengaji kitab di masjid jami’, hanya satu-dua pengurus yang Lia lihat tengah berjaga-jaga di
luar. Yang jelas, tak ia temukan orang itu. Dia berjalan semakin layu.
Di atas pintu masuk bangunan berlantai
tiga itu tertulis, Koperasi Lubangsa. Lia memasukinya. Sempat ditanya oleh
kasir mengapa dia beli-beli di sana. Dia jawab di pondok putri stok barangnya
sudah habis dan dia sudah mengantongi izin dari qismul amn.
Matanya mulai lelah saat ia keluar koperasi.
Sungguh penat hatinya memikirkan Zain. Pada langkah ketiga tiba-tiba
ia tertegun, urung ia gembira melihat mata itu karena teringat kejelekan yang
disampaikan oleh Ustaz Ubaid tentangnya. Dan sekarang ia bisa membuktikannya
sendiri dengan mata, bukan lagi telinga.
“Lia..?” lelaki itu juga tidak
menyangka akan bertemu. Dalam hitungan detik mata Lia meranum dan jatuh begitu
saja air mata di sepanjang lintasan pipi manisnya, entah dari perasaan yang
mana.
“Mengapa tidak mengaji?” tanya Lia,
lirih sekali, masih meminjam intonasi suara pada masa kecilnya kala ia meminta
uang.
“Kenapa nangis? Ada apa?” muka lelaki itu ikut
sendu.
“Ngaji sana..” mati-matian ia menetralkan
suaranya, sesenggukannya tercipta saat mengucapkan kalimat itu.
“Iya.. iya, aku izin beli ballpoin
sebentar bukannya mau bolos. Kamu kok bisa sampai ke sini beli-belinya? Sudah,
jangan menangis nggak enak di sini. Lagi pula apa yang kamu tangisi, cobalah
ceritakan.”
“Aku mendengar namamu diucapkan oleh
ustaz. Sayangnya namamu disebut adalah sebagai contoh saat beliau menceritakan keresahannya terhadap yang mondok
tapi tidak santri akhlaknya! Kamu dicap pemalas, mengapa kamu tidak ada bedanya dengan
mereka. Apa alasanmu untuk setiap hari tertidur di kelas? Malu aku, Zain, malu
pada diri sendiri dan kamulah yang menjadi penyebabnya.”
Zain menatap Lia yang beberapa kali
mengusap air matanya agar tidak semakin membasahi bagian kerudungnya. Sejenak,
baik Lia maupun Zain sama-sama bungkam, lebih senyap daripada desir lemah angin. Yang satu mencoba
mencerna semua perkataan lawan bicaranya dan yang lain berusaha menenangkan
diri.
“Mengapa sampai seperti ini kamu menyikapinya,
padahal hanya masalah tidur di kelas.”
“Bagi orang yang eman pada
dirimu lebih remeh dari ini pun sangat jadi masalah.”
“Tapi kenapa?”
“Karena aku tidak mau kamu jadi seperti
mereka, yang tidak menghargai eksistensi gurunya di kelas.”
“Tapi aku tidak bermaksud.”
“Tidak bermaksud tapi dilakukan setiap hari. Kamu jadi
pemalas sekarang.”
“Tidak, bukan seperti itu, Lia.”
“Lalu apa?” sekuat apapun Lia membendung air
matanya untuk kesekian kali, hasilnya tetap saja. “kamu menafikan seluruh doa dalam
sepertiga malamku, Zain. Masihkah ingat pada pagi itu, di dipan bawah pohon
jambu depan rumah aku memintamu untuk hijrah lewat pesantren ini?”
“Demi Allah perkataanmu itu sangat lekat di otak,
telah kujadikan prinsip sejak itu, Lia.”
“Aku tidak percaya, Zain. Kamu tidak punya cukup
bukti. Yang terpenting bagimu sekarang adalah lebih bijaklah memilih kawan.
Dari dulu aku sudah khawatir di pesantren sikapmu akan tetap sama seperti di
rumah. Dawuh Ustaz Ubaid, di pesantren banyak sudah yang mondok tapi akhlaknya
tak mau diubah. Mereka tak mau hijrah.”
“Mereka mungkin punya alasan
tersendiri, Lia, yang disebut Ustaz Ubaid itu hanya sebagian kecil, hanya dalam
lingkup kelas, atau juga mungkin ustaz mengatakan banyak dengan maksud untuk
memberi peringatan agar kamu lebih berhati-hati lagi. Jangan terlalu berburuk
sangka. Kamu seperti setengah-setengah percayanya kepada pendidikan pesantren.”
Zain terus menyangkal
pernyataan Lia seolah secara tidak langsung Zain menyangkal air mata Lia untuk
terus mengalir.
“Seburuk-buruknya mereka membawa diri
mereka ke sini, sekeras batu apapun tabiat buruk yang dimiliki, para mursyid
akan terus mendidik tanpa berputus asa, para khadimul ma’had[6]
tak akan putus untuk mendoakan demi
kesuksesan para santrinya fiddun-ya wal akhirah. Karena semua itu adalah
amanah dari para leluhur yang harus dijalankan sebagai konsekuensi dari
kesanggupan beliau-beliau dalam ketidakpernahan menolak siapa saja untuk
menjadi santrinya.” Zain menyambung lidah dari gurunya.
“Baik, kan kuberitahu semuanya. Begini,
aku membagi malam menjadi tiga waktu. Sepertiga untuk kegiatan pesantren,
sepertiga lagi waktu untuk tambahan belajar, dan sepertiga yang lain untuk
shalat malam. Maka percayalah, Lia, bahwa setiap malam doa kita berdampingan
menuju-Nya.”
Lia kehilangan semua yang akan dikatakan setelah tau semuanya.
“Maafkan aku jika imbas dari semua itu
tak ingin kamu dengar. Kebelakang aku janji akan mengatur jam lebih disiplin
lagi. Tapi kamu juga harus berjanji padaku jika kamu memang orang baik berlatihlah
untuk tidak pernah su’udzan ataupun men-generalisasi hanya berdasar perkataan seseorang. Semua temanku baik-baik kok, tidak ada
yang seperti kamu katakan. Aku tahu mana yang patut dijadikan teman dan mana yang tidak. ”
Sejenak angin lewat memberi keduanya jeda.
“Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini, Lia.” Tiba-tiba Zain mengatakan itu, ketus sekali. Tak tampak dari wajahnya aral keraguan.
“Apa? Aku baru saja menyudahi aliran air mataku, Zain. Baru
saja kamu mengobati semua kesalahpahamanku, lalu sekarang kenapa masih mau
menyiksa, harusnya kamu bisa lebih menenangkan aku.” wajahnya tertunduk sambil menutup
mulutnya, mempertahankan jerit pilu yang tak pernah ia dengarkan kepada
selainnya, sedang air mata tak ia hiraukan lagi, membiarkannya mengairterjun.
“Justru agar kamu tidak selalu tersiksa aku putuskan pilihan ini. Lia, mohon
maafkan cobalah pikirkan baik-baik, kedua orang tuamu memasrahkan kamu kepada
Pak Kiai tinggal di sini bukan dengan tujuan untuk selalu mengingatku, agar
kamu dekat denganku, tapi untuk belajar, cari berkah. Aku pun demikian.”
“Biarlah, semua mempunyai waktunya sendiri-sendiri dan waktu
kita sekarang tidak
untuk hal itu. Saling ingat satu sama lain sepanjang waktu bukan ikhtiar menjadi pribadi yang kita
impi, bukan juga dikata hijrah. Bagaimana ilmu akan kita dapat sedangkan kita tidak sepenuhnya menyerahkan diri? Kamu pun pasti tahu itu, Lia. Tugas kita kini hanya sadar dan mau menjalankan dari apa yang
telah didapat.”
Bertubi-tubi Zain memberikan pengertian kepada Lia.
Sebenarnya dalam hati Lia
membenarkan, tapi dengan keadaan seperti itu berat ia mau menyanggupi.
“Woy! Tidak tau diri kalian!” teriakan pengurus seorang dari kejauhan membuat pecah ketegangan yang dari tadi mereka berdua ciptakan. Zain tertoleh, air mukanya berubah drastis. Dalam kesempitan
itu ia menyuruh Lia cepat-cepat pergi meninggalkannya.
Lia kemudian berlari kecil ke arah barat, semua yang tengah
berkecamuk dalam dadanya telah buyar digantikan oleh ketakutan kepada pengurus.
Sesekali ia menoleh kepada Zain yang terpaku di sana. Pengurus yang marah besar kepada Zain masih ia dengar
seperti menceracau di kejauhan. Ia berhenti melangkah berbalik meratapi Zain yang tak habis dirutuk, selanjutnya disaksikannya bahu
Zain
dilibas dengan sebilah bambu. Ingin ia kembali dan menghentikan perlakuan
pengurus itu sekuat yang ia bisa, tapi ia tak cukup berani untuk itu. Duh, Gusti Maha Ayu hati ikut
terpukul melihatnya demikian, batinnya. Namun di sisi lain senoktah kegembiraan sempat tercipta
tadi, ketika ia tau bahwa sebenarnya Zain telah berhasil hijrah sedang dirinya, entahlah. (*)
Cerpen: Hijrah
Reviewed by takanta
on
April 12, 2020
Rating: 5
Novel yang sangat menginspirasi 👍
BalasHapusAku speechless
BalasHapus