Cerpen: Perempuan Api Unggun
Oleh: Erha Pamungkas*
Ketika matamu masih mendapati nyala
beberapa api unggun menari-nari di dekat pintu kereta tikungan Sudirman,
secepat bayangan ingatanmu terbang ke masa silam. Matinda, bagaimana ia
sekarang?
Kau telah meninggalkan kota ini dua
puluh tahun lamanya. Ketika kembali, kau sedikit terperanjat; betapa waktu
turut mengubah kota sekecil ini pula. Gedung-gedung semakin asing bagimu,
bahkan tak kau dapati lagi deretan toko bunga di samping stasiun, atau para
penjual tape, seluruhnya telah disulap menjadi kafe-kafe temaram dan restoran
masakan Jepang. Apa lidah orang-orang di sini cocok? Kau sedikit tergelak
membayangkan itu. Kemudian menambahkan, ah, tentu yang benar adalah dipaksa
cocok.
Tapi ketika kau berjalan lebih dalam ke
balik stasiun, kau tak kalah terperanjat. Deretan perempuan dan api unggun di
dekat pintu kereta itu masih ada, bedeng-bedeng reyot di belakangnya, juga
warung kopi remang yang semua orang tahu juga adalah warung tuak tempat judi
dan mabuk. Antara tak percaya atau bahagia, kau menjadi dilema. Matinda, satu
di antara perempuan api unggun itu, kau tinggalkan dua puluh tahun lalu.
“Benar kamu mau ke Jogjakarta?” Kau
ingat itu kali ketiga kau bertemu di bilik nomor tujuh milik Matinda, namun kau
telah mengucapkan banyak hal seolah sudah puluhan tahun kalian saling kenal.
“Sudah bulat, Matinda, di sini aku susah
bernapas.” Kau tahu perpisahan memang sulit, tapi kau juga mengerti itu harus.
Kau mendengar perempuan yang rebah di
sampingmu itu melepaskan napas panjang, seperti malam pertama kalian bertemu,
kemudian ia menangis lama dan kau mengusap-usap punggungnya berupaya untuk memahami
luka purba para perempuan api unggun di pintu kereta ini.
Kau masih ingat perasaan itu, yang
masih kau jaga sampai sekarang. Bukan nafsu dan hasrat berkencan, kau memeluk
Matinda sekadar berupaya memahami luka-luka yang telah lama ia tanggung, ketika
memutuskan menjadi perempuan api unggun.
“Nanti,” kau bilang, basa-basi dan
berusaha menghibur saja, “kalau kamu cukup uang belilah koran Jepe hari Minggu,
setelah dua tiga bulan di Jogjakarta aku berjanji kamu akan menemukan namaku di
sana.”
Tapi seakan tak peduli, perempuan dalam
pelukanmu itu terus menangis sejadi-jadinya, seolah-olah begitu berat melepas
padahal baru tiga kali kalian bertemu.
“Hei, aku cuma sebentar. Hanya barang
setahun dua tahun,” katamu, sangat meyakinkan waktu itu. Tapi akhirnya kau pun berbohong,
sebuah kebohongan besar sebab kau baru kembali setelah dua puluh tahun lamanya.
Jogjakarta telah menjadi tanah kelahiranmu yang kedua, setelah kota kecil ujung
timur Pulau Jawa ini.
Dengan letupan-letupan di dada kau
terus berjalan. Mendapati nasib tak banyak berubah di sini kau malah ingin
mengumpat, tapi tak tahu kepada siapa. Bupati? Dinas Sosial? Barangkali. Atau
entah kepada siapa. Kau hanya tak habis pikir, segenap penjuru kota kecil ini
telah berubah, menjadi sangat asing bahkan, tapi mengapa dua puluh tahun
lamanya masih belum cukup untuk mengubah nasib para perempuan api unggun di
pintu kereta ini?
Dengan penuh amarah kau
menendang-nendang kerikil sambil menggerutu tak jelas. Dan tepat di bawah tiang
lampu, seorang perempuan tiba-tiba berdiri mencegat di depanmu. Kau menatapnya
dan sedikit kaget, ia balas menatapmu. Kau lemparkan senyum getir saat
perempuan itu berkata, “Dua puluh lima saja buat pelanggan pertama, Tuan.”
Tepat pada saat itu dadamu semakin
ngilu dan kau benar-benar teringat kepada Matinda.
“Lagipula Jogjakarta hanya setengah
hari naik kereta,” kau masih berupaya menghibur. Dari tadi ia masih saja menyembunyikan
wajahnya di dadamu, cuma menggeleng sesekali, juga terisak. “Sudahlah, Matinda,”
kau katakan itu seolah perpisahan benar-benar gampang sambil mengelus
rambutnya, semakin berusaha merasai luka purbanya. Dan kau ingat, air mata juga
merembes dari matamu, tak lama kemudian matamu benar basah, mencipta telaga
kecil yang memantulkan remang kuning lampu di dalam bilik Matinda. Kau merasa
luka dan beban yang ditanggung itu sungguhlah berat, kau nyaris berteriak namun
urung, Matinda mendongakkan wajah sembabnya. Barangkali ia merasai benar air
matamu jatuh di rambutnya.
Dan kini, ketika mengingat segalanya, kau
juga ingin menangis.
Tapi kau berusaha untuk tidak menangis,
kau melanjutkan langkah meninggalkan perempuan di bawah tiang lampu itu,
mengambil napas dalam dan berjalan menuju deretan warung-warung memanjang di
utara pintu kereta.
Sambil memasukkan kedua tangan pada
jaket, diam-diam kau mengingat peristiwa yang mengantarkanmu bertemu pertama
kali dengan Matinda. Masa itu kau masih mahasiswa, dan terlibat dalam upaya
menentang keras penggusuran Kaliputih—lokalisasi terbesar di kota ini. Kau bersikeras
kalau hanya penggusuran bukanlah solusi efektif, sama sekali tidak
menyelesaikan akar masalah. Kau juga mengutuk orang-orang yang bilang para
perempuan itu pelacur, pembawa penyakit, dan sebagainya. Dalam surat kabar
lokal kau berteriak lewat tulisan; bukan pelacur, tapi perempuan yang
dilacurkan!
Dan jalan tengah pun diambil, namun kau
tetap menggerutu dan menganggap keputusan itu licik. Kaliputih tak digusur,
hanya dipindah ke tempat yang lebih jauh dari pusat kota. Para penghuninya
sebagian berpencar ke desa-desa kecil, juga ke stasiun. Dan mereka lazim
disebut perempuan api unggun, sebab api unggun memang digunakan buat penerangan
dan tanda.
“Boleh kupanggil Matinda?” kau menjabat
tangannya, saat kalian pertama bertemu demi keperluan wawancaramu. Kau sadar,
seharusnya Matilde—Matilde Urrutia—istri sekaligus inspirasi bagi penyair
favoritmu, Pablo Neruda. Tapi mengapa Matinda yang keluar, kau sendiri pun tak
tahu. Kau hanya ingat saat itu lenganmu gemetaran dan keningmu berpeluh, kau
benar-benar gerogi dan canggung, dan perasaan di dadamu itu menemukan tempatnya,
ketika sepasang mata kalian bersitatap.
Setelahnya kau keluar jalur wawancara,
pertanyaan-pertanyaan yang telah kausiapkan urung kautanyakan. Kau terlibat
obrolan panjang tentang banyak hal, dan sejak saat itu kau semakin memahami
luka Matinda, juga yang lain. Letupan-letupan aneh di dadamu bukanlah hasrat
untuk berkencan, kau bisa pastikan itu, tapi bukan sesuatu yang juga mudah untuk
dijelaskan. Itu bukan pula perasaan kasihan, atau merasa superior,
letupan-letupan itu hanya... entahlah apa namanya. Kau selalu sulit
menjelaskannya.
*
Hawa dingin yang begitu menyergap
membuatmu memutuskan untuk mampir di satu warung paling ujung dekat gardu
listrik. Kau teramat kelelahan berjalan, juga mengenang. Ngilu di dadamu masih
belum menghilang. Kau seakan masih belum percaya, betapa perubahan-perubahan
kecil sekali menyentuh tempat ini, bahkan setelah dua puluh tahun! Di satu
warung kau melihat beberapa pria tertawa-tawa bermain gaple sambil berpesta
tuak, dua di antaranya adalah orang-orang berseragam. Kau ingat sejak dulu hal
semacam itu sudah ada, mereka akan memberi kabar kapan terjadi razia. Tentu
saja itu semua tidak gratis. Dan praktik-praktik semacam itu masih ada sampai
sekarang.
Kau melepaskan napas panjang dan
merebahkan punggungmu di dinding bambu warung. Matamu menggerayangi pendar
lampu jalan di seberang, mengamati serangga yang terbang berpusing di sana.
Ketika angin malam semakin nenyodok-nyodok, saat itu kau menyadari benar-benar
jatuh cinta kepada Matinda.
Tapi kau telah lama memikirkan itu, di
usiamu sekarang cinta hanya olok-olok dan usang. Kau memang belum menikah, tapi
Matinda? Kau menerka agak lama. Barangkali ia telah bersuami, beranak, di suatu
tempat jauh entah di mana.
Lama kau menerbangkan pikiran sampai-sampai
tak sadar kopi pesananmu datang. Kau menggumamkan terima kasih dan ketika
matamu menekuni si penjual, secepat kilat dadamu berdegup. Rasanya kau
terlempar sebentar entah di mana. Seakan tak percaya, kau menatapnya tajam
sekali lagi, ia pun demikian, mata kalian bersirobok sama-sama terkaget. Alis
melengkung itu, kau ingat persis, bola mata hitam bulat di ceruk mata, kau pun
masih tak asing. Matinda! Itu Matinda!
Bibirmu gemetaran, kau terjebak di
antara perasaan bahagia atau sebaliknya. Tepat ketika kau hendak menyapa,
kepala seorang bocah laki-laki menyembul dari celah pintu, kau mendengar ia
merengek, menyebut-nyebut Ibu, Ibu! kepada Matinda. Dan perempuan
yang tak pernah menjadi asing bagimu bahkan setelah berpuluh-puluh tahun
lamanya itu cepat-cepat ambil permisi dan melenggang masuk sebelum sempat kau menyapa.
Matinda... Matinda....
Lama kau duduk mematung di sana, perasaanmu
bergulat hebat antara harus bahagia atau sebaliknya.
Hingga sayup-sayup tarhim subuh
berkumandang, kau masih di sana, mematung, bergulat dengan perasaanmu sendiri. (*)
Jember, 2020
Erha Pamungkas, lahir di Jember. Dari nama
barunya, sepertinya saat ini ia sedang berbahagia.
Cerpen: Perempuan Api Unggun
Reviewed by takanta
on
April 26, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar