Oleh: Moh. Jamalul Muttaqin
Di sebuah daerah terpencil, hiduplah seorang anak dan
seorang ibu yang berteduh di dalam gubuk yang tak begitu kokoh, semuanya di
buat dari bambu tua. Kalau di terpa hujan deras, gubuk itu tak bisa menangkis
air yang hendak masuk ke dalamnya, pastinya mereka berdua gigil kedinginan.
Agar hal itu tidak terjadi, seorang anak memberinya ilalang yang dirakit di
setiap dinding gubuk itu. Di daerah itu belum ada terpal, plastik pun juga tak
ada.
Daerah itu dilanda kemiskinan, mereka tak punya apa-apa
kecuali lima pohon pisang di depan gubuknya, pohon mangga di sampingnya, dan
terdapat pohon singkong di belakang gubuknya yang menjadi makanan pokok bila
mereka lapar. Sungguh sangat menyedihkan.
Sebagai anak lelaki yang berbakti pada seorang ibu, ia tak
lupa berdoa setiap selesai shalat. Tak lupa membantu ibunya dalam menyiapkan
makanan walau sebatas singkong. Seorang anak tak pernah mengeluh atas nasib
ibunya.
Ibunya pun tak lepas dari doa, di sepertiga malam air
matanya mengalir di pipi lalu membasahi mukenanya yang lusuh. Doa yang
dipanjatkan tak lepas dari kesabaran atas menerima nasib. Sungguh, ini
kenyataan nyang sangat mengiris hati.
Mereka miskin harta tapi kaya akan jiwa. Mereka tak pernah
menyalahkan Tuhan.
Tuhan telah mempertemukan dua jiwa yang saling mengerti; dua
jiwa yang mendapat ujian dan menerimanya dengan lapang dada. Hati mereka berdua
sama-sama suci.
***
“Ibu, aku mau pergi merantau!” Seorang anak bilang pada
ibunya yang sedang menyapu halaman depan gubuk tempat mereka berdua berlindung
dari panas dan hujan.
Ibunya tak menanggapi permintaan anaknya, malahan ia
berhenti menyapu dan duduk di bawah pohon mangga dengan raut wajah penuh tanda
tanya menatap tajam anaknya. Seorang anak menjadi bingung dibuatnya. Tak tahu apa
yang harus dilakukan terhadap ibunya kenapa tiba-tiba kebingungan. Merasa
bersalah karena permintaan itu.
Sejak pertanyaan itu keluar dari mulut sang anak, ibunya tak
pernah menyapa, berbincang pun tidak. Ia tak makan dan tak minum. Anaknya
semakin bingung. Bila ditanya pasti jawabannya “sudah”. Hal ini membuat
perasaan sang anak tak nyaman, merasa iba terhadap ibunya yang sudah lanjut
usia.
Di sepertiga malam selanjutnya, ada yang berbeda dari
malam-malam sebelumnya. Tangis ibunya menjadi-jadi. Air matanya semakin membanjir.
Di antara air matanya yang mengalir terdengar doa yang dipanjatkan; mengenaskan
sekali. Sehingga sang anak terbangun dari tidur karena saking nyaris terdengar
di telinganya. Yang bisa dilakukan dari
sang anak hanya ikut menangis dan air matanya membanjiri gubuk yang
hampir roboh. Kali ini bukanlah hujan, tetapi rintihan yang melahirkan air
mata.
Keesokan paginya ia bertanya kepada ibunya, “Ibu! Kenapa
tadi malam ibu berdoa seperti itu?”
Ibunya diam sebentar lalu menjawab dengan nada lemas, “Aku
takut kau pergi karena harta semata. Aku takut kau tak sabar, takut kau tak
menerima takdir yang telah Tuhan tentukan kepadaku dan kau. Sungguh aku khawatir
sekali.”
“Ibu, bukannya aku takut menerima kenyataan ini, tapi aku khawatir
anak-anakku nanti. Aku ingin mereka bahagia. Sebab, mecari ilmu butuh bekal,
salah satunya adalah harta.”
Mereka berdua diam, tak ada yang mau bicara. Semuanya sunyi,
angin pun tak sanggup menggerakkan daun pohon pisang. Semuanya bisu, hanya
Tuhan yang mendengar perbincangan seorang anak yang cerdas dalam menatap masa
depen dan ibu yang selalu menahan perih
dalam hati. Seorang ibu yang besar hati terhadap anaknya.
“Anakku! Ibu merestui apa yang kau inginkan asal itu benar.”
Ia menatap sendu anaknya. Sang anak menatap wajah yang hampir keriput karena
selalu dibanjiri air mata, menatap penuh tanda tanya; penuh kekhawatiran.
“Satu pesan dari ibu, jangan tinggalkan shalat dan jangan
lupa untuk berdoa kepada Tuhan!” Ibunya berpesan, lalu diam.
Dengan pekataan ibunya yang terakhir, sang anak punya
kesimpulan bahwa permintaannya direstui. Dengan sepenuh hati atau setengah
hati. Entahlah itu belum pasti. Belum mengetahui batin ibunya.
Saat ini sang anak sudah siap untuk bekerja demi memenuhi
kebutuhan hidup bersama ibunya di bawah gubuk yang tak begitu kokoh. Berbekal
doa dan hati nurani, bersama keyakinan melangkahkan kaki dengan penuh
pengharapan. Di sampingnya ada malaikat putih yang mengawasinya.
***
Di kota, sang anak tak kunjung menemukan pekerjaan. Semua
orang seakan tak peduli. Hanya matahari yang setia menerangi, sebuah pohon yang
menaungi, dan angin sepoi yang membelai halus rambutnya yang lusuh dan berdebu.
Sang anak duduk berselonjor di bawah pohon rindang meratapi nasib yang menimpa
dirinya di kota orang. Sungguh sangat menyedihkan sekali.
Ingin pulang tapi malu karena tangan dalam keadaan kosong,
malu kerena tak sesuai dengan janjinya. Tapi hatinya dilanda rindu dan rasa khawatir
yang besar sekali, menggetarkan hati. Berkali-kali malaikat putih itu
mengganggu dan berbisik untuk segera pulang. Setelah lama merenung, sang anak
memutuskan untuk segera pulang dan memeluk ibunya yang pastinya telah lama
menunggu.
Sebelum pulang, sang anak mendatangi rumah mewah yang di
depannya terdapat dua mobil mewah dan terdapat taman kecil di samping rumahnya.
Sang anak mengemis, ingin satu sadekah yang diberikan melalui tangan tuan
rumahnya. Dari pintu samping dua anak kecil lari mendatanginya lalu memberi
barang yang warnanya serba putih. Kiraan sang anak adalah selendang putih dan
akan membuat ibunya tersenyum karena melihat selendang baru.
***
Sesampainya di depan gubuk sang anak berteriak keras, tetapi
tak ada yang menjawabnya. Hanya burung besar berwarna hitam yang tengah
mencakar-cakar atap gubuknya yang sudah reyot. Sang anak masuk ke tempat yang
biasa ibunya berteduh, dan mendapati ibunya terbaring dengan mata terpejam.
Sang anak mendekati sambil menangis. Sang ibu sudah tiada; sudah tak bernyawa.
Jeritan tangis menjadi-jadi, air matanya membanjiri jasad ibunya. (*)
Annuayah, 2019
Moh. Jamalul Muttaqin, dilahirkan di Gapura Sumenep Sumekar. Salah satu siswa MA
1 Annuqayah sekaligus mantan ketua OSIS
Periode 2018-2019 dan termasuk aktivis organisasi Pasra, Ikstida, dan di Kompas
(Komunitas Menulis Pasra).
Cerpen: Takdir
Reviewed by takanta
on
April 05, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar