Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII
Inilah kami wahai Indonesia//Satu barisan dan satu cita//Pembela bangsa//penegak agama//tangan terkepal dan maju ke muka//
Sengaja
saya tulis cuplikan
Mars Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di atas. Sebagai petunjuk atas kegelisahan saya terhadap gerakan PMII hari ini.
Kegelisahan saya berawal dari hal yang tak disengaja.
Ketika pagi tadi, saya melihat story whatsapp teman
yang memposting Twibbon “Harlah PMII”—17 April 1960, disertai cuplikan empat baris mars tersebut.
Sabar, ya. Jangan marah dulu. Begini, saya
sebenarnya pesimis mau nulis hal-hal kritis terhadap
PMII. Khawatir dibilang sok idealis oleh teman-teman PMII, yang
hari ini sepertinya mereka lebih
tertarik menyatukan barisan lewat
Twibbon-nya.
Saya memang ga suka
kaum pergerakan yang hanya
mengusung jargon-jargon liar yang dijadikan keren-kerenan saja seperti; Agent of Change, Social Control, dan agen-agenan yang lain. Lagian apa pentingnya si kalau hanya jargon tanpa
tindakan? Lalu ada yang bilang saya sinis. Sek, nanti dulu. Coba saya jabarkan
pelan-pelan.
Pembela Bangsa di
Mana?
Jujur
saya menyayangkan kalimat ‘satu barisan
dan satu cita’, apalagi atas pengakuannya sebagai ‘pembela bangsa, penegak agama’ dalam konteks hari ini. Dulu, mungkin
bagi para pendiri kalimat itu dianggap rasional karena mereka benar-benar
melakukannya. Benar-benar satu barisan membela bangsa. Kalimat itu juga bisa
jadi sebagai kalimat representatif yang mempunya ‘utilitas’ bagi para
pendahulu. Pertanyaanya, apakah hari ini masih mempunyai nilai guna?
Jangan-jangan hanya dinyanyikan dalam paduan suara untuk saling bernostalgia.
Akhirnya
kalimat yang dulunya rasional akan menjadi irasional. Dan menjadikan sejarah
PMII modern sebagai mitos. Sehingga warga PMII berada dalam lingkaran takhayul,
mimpi-mimpi semu. Karena
nilai-nilai kritis kalimat itu, dalam konsep pemikiran Sekolah Frankfurt, sudah
tidak menghasilkan apa-apa, atau tidak berdaya guna.
Baik,
kalau kita ngotot, kata siapa kalimat
sakral itu tidak berguna?! Dalam konteks pandemi Covid-19, apa yang sudah kita
lakukan? Jangan-jangan kita masuk dalam kategori warga negara yang menyusahkah
bangsa ini. Masih memburu bantuan sosial yang tidak seharusnya diterima. Atau
hanya mengambil keuntungan moral secara sosial. Kalau memang pembela bangsa,
bangsa mana yang dibela? Sedangkan ketimpangan, ketidakadilan dan kesengsaraan
lebih-lebih di tengah-tengan wabah Covid-19 ini terpampang jelas. Adakah sikap
PB PMII kaitannya dengan itu?
Kalau
kita hanya bisa ikut bagi-bagi masker, hand
sanitizer, apa bedanya dengan komunitas kecil di lingkup desa? Apalagi
hanya memberikan himbauan kepada masyarakat agar tidak keluar rumah dan
hahihu…hahihu lainnya. Emang ente ini
siapa? Pergub PSBB saja banyak yang melanggar, bahkan himbauan orang nomer satu
di Indonesia di abaikan masyarakat. Apalagi saudara, Bung!
Dalam
sepekan lalu, banyak yang sudah kita biarkan begitu saja; tuan-tuan DPR yang
lebih asyik membahas undang-undang bermasalah daripada memikirkan kesengsaraan
masyarakat yang terdampak Covid-19, ada juga usaha cerdas dari seorang profesor
yang ingin membebaskan tipikor, atau ketegasan pemerintah dalam penanganan
Covid-19. Di mana satu barisan pembela bangsa itu? Mungkin kita hanya mendengar
suara teman-teman di beberapa daerah saja, kendati terdengar sengau. Dalam hal
ini sebenarnya tergantung pimpinan tertinggi.
PMII Milenial
adalah Mitos
Sudah
berapa banyak pemuda-pumuda bangsa ini menjadi korban mitos dari konsep
pengembangan diri yang ada di PMII. Tentu tidak terhitung jumlahnya. Kalau
berdasarkan hitungan Yang Mulia
Ketum Agus
Herlambang, (NU Online, 02/10/17), PMII memiliki 24 koordinator cabang, dan 230
cabang di seluruh Indonesia. Jika setiap cabang memiliki minimal 10 anggota
yang terdiri dari komisariat dan rayonnya, berarti ada 2.300 anggota
se-Indonesia. Misal lebih dari itu, ada 50 anggota di setiap cabang, total
seluruh cabang mencapai 11.500 anggota. Kembali ke awal, berarti sudah ada
11.500 manusia yang hidup dalam hayalan.
Kalau
kader-kader PMII hanya didorong untuk memahami materi-materi ke-PMII-an selama
di organisasi, maka selama itu mereka berada dalam fase-fase keirasionalan.
Kalau ada yang bilang, proses tidak akan pernah mengkhianati hasil, maka
hasilnya teman-teman PMII hanya ilusi karena selama berproses hanya berkutat
dengan mitos. Berbeda dengan teman-teman yang mempunyai produktivitas nyata, misal
proses yang dijalaninya berwirausaha selama kuliah, hasilnya ya jadi pengusaha.
Sebagaimana
perkiraan jumlah anggota di atas, misal 11.500 anggota selama kuliah hanya ikut
PMII, lebih-lebih tidak punya pengalaman kerja, asyik dengan kemalasannya,
sejumlah itulah PMII menyumbang angka pengangguran. Tentu hal itu tidak
diharapkan. Hari ini bagaimana konsep pengembangan diri itu menggabungkan
antara teoritis dan praksis yang menghasilkan produktifitas nyata.
Jika
kader-kader PMII berusaha fokus dan menekuni bidangnya: yang bekerja
fokus pada pekerjaannya, yang punya usaha fokus dengan usahanya, yang bertani
fokus dengan taninya, tidak ribet dengan angan-angan idealismenya, apalagi
angan-angan ingin menjadi politisi seperti seniornya, maka PMII secara
structural sebagai Civil Society
telah membantu meringankan negara ini dari angka pengangguran. Kalau misal
dalam setahun ini PMII menghasilkan kader semacam itu sebanyak 11.500 orang,
maka PMII telah meringankan beban negara sebanyak 0.17 persen dari angka
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebanya 6,83 juta orang sebagaimana data BPS
pada Februari 2019.
Intinya
apa, kader-kader PMII harus mengubah
mindset-nya. Apalagi generasi yang
akan datang, upayakan tidak hanya dipaksa diskusi terus-menerus, ditambah lagi
memahami teori-teori yang utopis itu. lebih-lebih dituntut menjadi kritik
jalanan, tambah banyak pengangguran. Lalu kalian bilang, senior saya di
birokrasi dulu seorang kritikus jalanan. Hey, Bung dan Nona, saya kasi tahu,
jalan hidupmu dengan dia berbeda. Meskipun perjuangannya sama, bisa saja akhir
nasibmu berbeda.
Apakah
hal itu menunjukkan kita sudah tidak kritis? Kritis hari ini harus diredefinisi
lagi bukan dalam arti sempit, kalau anda membantu perintah mengangkis angka
pengangguran—seperti yang saya jelaskan di atas, tentu hal itu sudah
menunjukkan arti kritis, baik dilihat dari rumus ‘subjek-objek’, atau rumus
‘subjek-subjek’ atau juga ‘subjek-itself—apa sih itu, cari tahu sendiri.
Selamat
Harlah ke-60 PMII. Semoga bahagia.
__________________________
*) Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, penulis buku Melawan Kenangan.
Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII
Reviewed by takanta
on
April 17, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar