Puisi: Madilog Sepi
Oleh: Firmansyah Evangelia*
Madilog Sepi
Pada
sepertiga malam
Merdu
dzikir-dzikir daun mengeras di telingaku
Mengajarikiu
cara tawakal pada Tuhan
Lalu
perlahan, benakku berkata:
“hidup
hanyalah mimpi, sedang kematian
ialah tempat kita
kembali ke muasal”
Disitulah
dada bergetar
Mencipta
debar alir-alir birahi merangkum perih
Mengabarkan
kisah-kisah baka
Dari berbagai
keresahan
Kini, pasrah
kulalui masa keruh dalam tubuh
Meski
debu-debu cemas
Masihlah
kerap bergelantungan di rumah khayal
Sebab,
sembaba langit di kepala
Tetap saja kuterjemahkan sebagai
cerah
Maka, dengan
segenap keraguan
Aku susuri
lorong-lorong sepi paling taji
Mengekalkan panjang harap
Pada ruas
ketabahaan yang meronta
Bonita yang Tumbang
Dari ujung
manakah aku harus berteduh?
Bilamana
pohon-pohon rindang di tebang tinggal hanya sebatas kenang
Urat-uratnya
kehilangan daya
Tak mampu lagi
untuk senantiasa melahirkan rahim ranting juga dahan
Pasrah
melepas doa musim di penghujung pancaroba
Sebab, dari
risalah sebuah arti
Tak ada lagi
ketabahan
Pada serat
akar-akarnya yang telah mati
Disitulah,
ketenanganku terganggu
Memaksa letih
untuk terus menganga dalam diri
Padahal,
kerapkali telah ku damba ritus doa di sebilah sunyi
Memecah
tahajjud di jantung lelah
Mengabadian
kaisar tasbih pada kasidah-kasidah
dzikir
Hingga,
harap-harapku benar-benar busung
Tinggal serak
sisa luka yang menetak
Sampai esok
hari, aku kian tercacat sebagai pengusung resah paling kudus
Memeram
ngarai begitu dusta di rahang jiwa
Serta
menanggalkan cerita-cerita pendek tak bermakna
Lalu, aku
kembali mencipta mihrab-mihrab kekal tanpa suara
Serupa
merendam seribu kebisuan pada keras batu-batu
Dengan ini,
aku lupa jalan pulang
Tak adalagi
sisa-sisa peta di tanganku
Hanya saja,
ada sekelumit getir
Bahkan saat
ini, aku sempurna mengasah diam sejagat ragu
Sekedar akan
berlanjut menuju jalan selanjutnya
Dengan ini
pula, aku masih bertanya-tanya
Sudikah
nikmat memegangku
Walau hanya
sejungkil tawa di baris-baris mimpi
Annuqayah,2020
Radiasi Manzilio
Setelah usai
kami tahu
Tentang
cahaya-cahaya perisrtirahatan yang terbakar
Setelah itu
pula, habislah segala kebijakan di pundakku
Tinggal
sisa-sisa arang ketabahan
Di badaikan
angin dari jarak jauh
Mungkinkah,
aku perlu faham lagi bagaimana cara mengeja baris-baris seranum doa
Sekedar
memahami tafakkur yang di lupa
Membangkitan
roh-roh gentayangan
Pasrah
kemabli meneduhi arwah-arwah kematian di negeriku
Disitulah,
pusat kirana paling sulit
Sebab, batas
yang ku punya
Ialah
macam-macam dunia begitu rusak
Lalu, tanpa
harus bersuara
Aku berteriak
dalam kalbu
Memecahkan
segala perihal yang tak pasti
Sungguh!
Congkak otakmu
Pasrah
kemabali merintis kegagalan
Pada segenap
lembar-lembar desahku yang menderu
Annuqayah,
2020
Epitaf Bulan Sabit
Serupa
kebebasan yang menjerat
Hati kami
adalah harap terpenjara
Memaksa
urat-urat untuk terus memikul beban
Mengadili
haus pada sungai-sungai tak mengalir
Hingga dada
kami menjelma kota
Tempat
kebisingan menggelegar dalam khayal
Lalu,
kepalaku mabuk
Sibuk
menyusun bayang-bayang pada bulan sabit yang memancar
Padahal telah
nyata yang kutatap
Ialah gerimis
masalalu babad silam
Duhai, keresahan manalagi yang hendak ku tuliskan
pada mendung
Bilamana
longgar musim
Masihlah
menjelma bebatuan
Nalar ruas
jiwa juga pasrah mengerang keras
Pada lingkar
mataku yang beracun
Maka
disitulah, ku bebaskan tanya pada kuncup ranum kebun-kebun sorga
Tentang
perihal kesenjangan
Kerapkali
menjadi hantu dalam dada
Annuqayah,
2020
Migrasi Kepedihan
Seandainya
jarak adalah situasi tak berwujud
Mungkin, aku
sudah lebih dahulu hilang
Sebelum
purnama mengekang risalahmu untuk berhenti
Sebab, pusat
keluh pada hariku
Masihlah
harap menjelma kerap
Lelah sudah
kupungut kalender-kalender hujan di mataku
Mengerami
silsilah dingin pada tanah-tanahku yang kerontang
Lalu, aku
mencoba memasrahkan dada untuk retak
Sekadar untuk
memahami kerinduan yang berduri
Masihkah ada
sisa waktu untuk kita
Menjumpai
pulau-pulau masa lalu yang terapung
Menjejaki
gubuk-gubuk yang pernah kita tempati
Juga
menandani, di setiap ciuman yang pernah merdeka di antara hidung-hidung kita
Sedang pada
mata senja yang hampir tenggelam
Aku lantang
menyecap kata:
Bahwa cinta:
pernah kita raih dalam doa
Annuqayah,
2020
Moderat Kemiskinanan
Ketika hari
berlanjut menjatuhkan usia-usia perjalanan
Sering ku
tambatkan kapal-kapal kecemasan yang membekas di laut keruh
Menyimpan
resah upah-upah tak bernilai
Dari
karung-caping kemiskinanku membalut nyeri
Disinilah,
ketiadaanku bermula
Mencipta
karat-karat urat untuk terus tabah bekerja
Meski
kelelahan, senantiasa kerap membelenggu sekujur tubuh
Maka, dengan
deras keringat yang mengalir
Pasrah ku
cumbui panjang baunya
Sebagai
risalah kegembiraan yang tak pernah kunjung berhenti mengalir
Terus
menunaikan takdir-takdir dari Tuhan
Annuqayah,
2020
Manunggal
Seringakali
au belajar cara luka
Sebab luka
bagiku
Ialah jawaban
dari cinta
Barangkali,
aku terlalu fanatik
Bilamana
bagiku
Kesetiaan
hanyalah sampah-sampah kerak yang menjelma belukar dusta
Maka, kali
ini aku percaya
Bahwa hanya
Tuhanlah yuang paling wajib kita cinta
Annuqayah,
2020
Firmansyah Evangelia nama pena dari Andre Yansyah , lahir
di pulau giliyang, yang terkenal kadar Oksigennya setelah Yordania, 12
September 2002 ,tepatnya di dusun baru desa banra’as RT:03 RW:06, alumni MI,MTS
pondok pesantren Nurul Iman, menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa
komunitas , di antaranya:PERSI (penyisir sastra iksabad ), LSA (lesehan sastra
annuqayah) , Ngaji puisi, Mangsen puisi , Sanggar kotemang, poar ikstida.
Beberapa karyanya pernah di muat di : Radar Madura, Nusantara News, Majalah
Sastra Simalaba, Buletin Leluhur,Buletin Bindhara, Majalah Pentas, Potrey
Prairey, Harian pringadi,dll. Buku puisinya : Duri-duri bunga mawar(FAM
publising 2019),Rubaiyat Rindu(Jendela Sastra Indonesia 2019).
Puisi: Madilog Sepi
Reviewed by takanta
on
April 26, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar