Puisi: Ruang Dimana Kita Bisa Abadi
MENGANULIR
TAKDIR
Adakah
takdir yang telah disitir dapat dianulir,
sebagaimana
lesat bola di rahim gawang,
sebagaimana
keputusan undang-undang?
Takdir,
sebagaimana gurat yang sengaja dikerat
pada kasar
telapak tanganmu:
di sanalah
nasib getir ditaswir,
di sanalah
nasib bakir diukir.
Tetapi
kataku, takdir bagaimana pun ia disitir,
dapat
dianulir dengan doa-doa tahir.
Sebab,
Tuhan dzat yang maha pemurah,
maka
perihal bagaimana takdir dapat berubah,
tergantung
bagaimana doa seorang hamba
langkas
menawar harga.
2020
PULANG
Keruyuk
mandung mulai berdengking.
Mengungkah
bebongkah hening.
Jam dinding
tampak begitu lelah.
Namun
jarumnya masih berkilah; menolak patah.
Selembar
kertas kelompang.
Bagai
angkasa tanpa gemintang.
Dingin
udara serasa cemeti bagi diri.
Melecut
kata agar lekas jadi puisi.
Di luar
jendela, rembulan tampak melipu sinarnya.
Aku dan
kata, kembali sepakat bergencat senjata.
Kami pulang
ke masing-masing negara;
ia kembali
ke jantung bahasa, aku pulang ke palung nestapa.
2020
.
JELUK
JURANG
Semoga esok
hari, ketakutan-ketakutan segera lerai.
Sebab apa
yang lebih mengerikan,
ketimbang
mati berselimut rasa sepi,
lantaran
temu semasih saja garis nasib
yang gagal
kuramal di telapak tanganmu.
Semoga esok
hari, warta baik segera tiba di telinga kita.
Sebab apa
yang lebih buruk
daripada
hidup berkalang rasa cemas,
sementara
rasa aman ada pada pelukan seseorang
yang jauh
di seberang,
ketika raga
bagai diregang jeluk jurang.
2020
RUANG
DIMANA KITA BISA ABADI
Ketika kau
masih lelap dalam mimpi-mimpi.
Barangkali
aku pagi, cintaku cahaya matahari:
tabah
mengusap lembut tirus pipimu,
mengecup
hangat dingin keningmu.
Kau
perlahan terbangun dan menghampiri jendela,
lalu
menutup kembali gordennya.
Begitulah
kiranya cinta membinaku
jadi air
mata yang serupa tinta.
Menulis kau
jadi sebaris puisi:
satu-satunya
ruang
di mana
kita bisa abadi.
2020
AKU
DI MATA & SENYUMMU
Di matamu
yang perigi,
aku
mengangsu air mataku sendiri.
Aku seorang
yang dililit dagaha:
rinduku
kerongkongan,
yang tak
pernah lega dari hausnya.
Di senyummu
yang jelai,
ingatanku
menjelma satu krat bir.
Aku seorang
pemabuk berat:
rinduku
kepayang,
yang
menolak kau sebagai bayang.
2020
DUNIA
SEDANG MEMELUKKU ERAT PETANG INI
: Adilah Pratiwi
Denganmu,
aku ingin berlama-lama
menikmati
kemacatan kota pada jam pulang kerja.
Mendengarkan
bunyi klakson dan desing kenalpot
saling
bersahutan di lampu merah.
Atau,
menertawai para pengendara yang diburu waktu
dengan
mulut yang senantiasa muntahkan serapah.
Saat
seperti itu, kau suka bertanya padaku,
“Apa yang mereka cari sebenarnya?”
Kubilang
padamu, bahwa yang mereka cari adalah ‘dunia’.
Kau
bertanya kembali, “Kau tidak ingin
mencari duniamu seperti mereka?”
“Tahukah kau? Duniaku sedang memelukku erat
petang ini,
untuk apa aku cari-cari lagi?”
2018
BIOGRAFI
PENULIS
Yohan Fikri
Mu’tashim, lahir di Ponorogo, 01 November 1998. Alumnus Pondok Pesantren HM
Putra Al-Mahrusiyah Lirboyo Kediri ini merupakan mahasiswa aktif di Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Santri di
Ponpes Miftahul Huda Gading Malang. Aktif menulis puisi. Pernah mendapat
predikat juara 2 dalam Lomba Cipta Puisi “Santri” dalam Rangka Memperingati
Hari Santri Nasional 2019 yang diselenggakan oleh Pilihanrakyat.id dan Penerbit
Sulur dan juara 1 Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional BATCH 2 yang
diselenggarakan oleh Ruang Kreasi tahun 2020. Puisi-puisinya termuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain: Babu
Tetek (Penerbit Kuncup, 2018) dan Santri (Penerbit Sulur, 2019).
Puisi: Ruang Dimana Kita Bisa Abadi
Reviewed by takanta
on
April 19, 2020
Rating: 5
Sipppp.... Terus menulis ya Yohan....
BalasHapusTerimakasih, Pak Karkono.
HapusMantap qaqa 😻👍🏻
BalasHapus