Oleh: Imam Sufyan*
Hari
ini adalah hari kedua ia tak mandi. Badannya yang kurus kerontang ditambah
rokok yang sudah kayak sepur menambah bau ruangan ukuran 3x3 semakin pekat. Sudah
hampir dua jam istrinya mengomel tak kunjung dihiraukan. Tetap saja, pria
berperawakan gondrong yang sedang bersandar di tembok kamarnya masih khusyuk
dengan bukunya. Tak terhitung berapa
piring yang dipecahkan di hadapannya. Para tetangga sudah biasa mendengarkan
keributan keluarga yang sudah tiga tahun menikah itu.
Di
kamar itu, di tempat ia menyendiri, buku tertata rapi. Saban hari, lelaki itu
membersihkan dengan rutin kamar pribadinya. Buku-bukunya terus di lap
menggunakan bekas kaos yang sudah tak muat lagi dikenakan. Sebisa mungkin tidak
ada debu dan sarang laba-laba di tempat bukunya. Sehari-hari ia lebih banyak
diam di kamar pribadinya dibanding ruang tamu, apalagi di kamar istrinya.
Buku-bukunya hampir penuh. Hanya satu tembok yang tak ada deretan bukunya.
Tempat itu dipakai untuk bersandar saat mendaras buku yang ia baca. Tepat di
atasnya tempat ia bersandar ada banyak poster sastrawan terpampang. Gustav
Mahler pengecualian. Selain gambarnya lebih besar sendiri, komponis asal
Austria itu laiknya memberikan mata kuliah musik kepada para sastrawan.
Hanya
karena lelaki itu miskin tak karuan, belum cukup uang untuk membeli lemari.
Honor hasil tulisan yang dimuat di media cetak separuh ia berikan istrinya agar
berhenti mengomel. Sisanya untuk membeli buku-buku yang sudah lama ia incar. Istrinya
tak pernah tahu kapan ia membeli buku. Sekali waktu ia pernah ketahuan membeli
buku, istrinya marah besar dan tak mengajaknya berbicara hingga satu minggu.
Setelah kejadian itu, ia sembunyi-sembunyi membeli buku.
“Uangku
hanya cukup untuk membeli buku. Belum
cukup untuk membeli lemari,” ujarnya kepada temannya saat datang ke rumahnya.
Istrinya
yang cakap membuat kue untuk orang yang sedang punya hajat sering memesan
kepadanya. Setelah hari raya idul fitri, ia mendapat pesanan kue dalam ukuran
banyak dari orang kaya di kampung sebelah.
“Aku
sudah mengirim dua tulisan ke koran. Tapi tak kunjung juga dimuat,” katanya
kepada istrinya.
“kalau
begitu jual saja bukunya. Lumayan kan satu kilo 4500.” Jawab istrinya dengan
nada geram.
“Besok-besok,
kalau tulisanmu dimuat di koran, haram membeli buku. Perempuan mana yang suka
memiliki suami yang kerjaannya mengurung di kamar terus menerus, membaca buku,
jarang mandi. Keluar kamar cuma ngentot,
setelah itu mengurung ke kamar lagi,”
Belum
selesai istrinya ngomel ia pergi begitu saja.
“Hei,
mau kemana kau?” sambar istrinya. Tak ada balasan. Ia tetap pergi dan mengurung
diri ke kamarnya.
Baginya,
mengurung diri di kamar yang penuh dengan buku adalah obat dari kegelisahannya.
Saran istrinya agar buku yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri adalah
mustahil. Dulu istrinya pernah meminta agar bukunya digadaikan aja di rongsokan
Pak Har.
“Gadaikan
saja, nanti kalau punya uang kita bayar”
Mengingat-ngingat
kejadian itu ia menjadi geram dan sakit hati. Pasalnya, setelah ia banting
tulang menjadi tukang kuli bangunan dan hasil yang didapatkannya cukup untuk
menebus buku yang digadaikan justru dengan entengnya istri mengatakan kalau
bukunya itu tidak digadaikan, tapi dijual. Semenjak itu ia membeli kunci dan
melarang istrinya masuk ke kamarnya.
Sedari
sore, suaminya tak kunjung menampakkan hidungnya, ternyata ia mengunjungi
teman-temannya agar bisa meminjamkan uang untuk kebutuhan istrinya. Dari
sepuluh orang yang didatangi hanya dua yang mau memberikan pinjaman.
“Ini
uang untuk keperluanmu,” kata si suami di depan istrinya yang sedang membuat
oret-oretan keperluan belanja bahan-bahan kue.
“Terlambat,”
sahutnya tanpa melihat suaminya.
“Aku
sudah dapat pinjaman uang dari Bu RT,” lanjutnya.
“Apa?
Kau minjam dengan Bu RT?”
“Ya”
“Apa
kau tahu risiko yang akan kita terima nanti? Apa kau tahu orang kampung yang
minjam uang pada Bu RT semuanya kabur karena tak mampu membayar bunganya?” sambar
suaminya dengan nada emosi.
“Ya
aku tahu. Mereka kabur karena mereka malas membayar”
“Mereka
kabur karena bunga yang diberikan terlalu besar untuk ukuran orang-orang
kampung”
“Kembalikan
atau kita akan mengalami hal yang sama dengan orang kampung lainnya,” lanjutnya
memberi perintah.
“Terlambat,
aku sudah menandatangani syarat yang diajukan,” si istri meninggalkan suaminya
yang sedang emosi.
Si
suami menghela napas. Ia tak ingin kejadian yang menimpa orang-orang kampung
terjadi juga dengan keluarga yang sudah dibangun selama lebih tiga tahun. Kalau
ada yang harus dihindari selama hidupnya, tentu saja adalah berhutang.
Lebih-lebih berhutang kepada rentenir. Ia sudah berkali-kali melihat
tetangganya yang minjam modal dengan Bu RT. Semuanya bernasib sama. Kabur dan
tak mampu membayar bunganya.
“Lintah
darat keparat,” geram batinnya.
Siang-malam
si suami terus memikirkan tindakan istrinya. Wanita yang dahulu menerima
pinangannya dengan mahar buku yang dikarang sendiri tak lagi mendengar
kata-katanya. Awal pernikahan, istrinya begitu rajin menyeduhkan kopi dan
menemaninya saat ia menulis di komputer bututnya.
Diambilnya
buku yang belum ia selesaikan. Mengkin saja bisa melepas beban pikirannya, baru
satu paragraf dibaca otaknya mengingat wajah Bu RT yang berbadan basar dengan
wajah bulat dan membawa buku tagihan. Ditaruhnya
buku dan mengambil puntung rokok yang tinggal separuh. Asap rokok yang
dihisapnya seketika menjadi wajah Bu RT dengan mata melotot. Kontan saja
emosinya naik.
Pukul
23.20 ia keluar dari ruang pribadinya. Istrinya tidur terlentang di kamar
tempat ia melepaskan perawannya di hari pertama pernikahannya. Menggunakan
daster berwarna merah, wajahnya terlihat manis saat tidur. Rambutnya yang
panjang sebahu dan tubuhnya yang sintal menambah kecantikannya. Bukankah aku
memilihnya karena ia terlihat manis dan bertubuh seksi? Ujarnya dalam hati.
Lamat-lamat
nafsu birahinya muncul. Dipegangnya pipi yang lembut dengan tangan kanannya. Jempolnya
memegang bibir istrinya yang tipis. Istrinya masih terlelap dengan tidurnya.
Diciumnya pipi kanan istrinya. Lembut, batin si suami. Saat istrinya mulai
membuka matanya, satu sambaran ciuman menempel di bibir istrinya. Sambil terus
berciuman, jari yang biasa digunakan untuk mengetik keyboard bergerak lincah ke sisi – sisi intim. Putingnya yang
sedikit kecokelat-cokelatan tak luput dijamahnya. Istrinya tak tinggal diam.
Sambil melawan ciuman suaminya, rambut suaminya yang gondrong dan jarang
keramas diremasnya macam meremas kertas. Birahi sang istri terus meningkat
hingga basah.
“Penismu
sudah tegang,” kata istrinya sambil memijat-mijat penis suaminya. Lalu, Mereka
berdua tenggelam dalam kenikmatan surgawi. Bulir-bulir keringat di badan mereka
melupakan masalah yang melanda. Tak ada
lagi wajah Bu RT yang bulat memegang buku tagihan hutang.
Paginya,
setelah pulang dari pasar membeli bahan-bahan kue, istrinya membawakan kopi ke
ruangan suaminya.
“Mas,
ini kopinya?” katanya sambil membuka pintu ruangan pribadinya itu. Kosong. Si
suami yang biasanya masih mendengkur dengan terlentang dan tangan kanan menutup
kedua matanya tidak ada. Ruangan pribadinya kosong. Tidak ada buku yang
berjejer seperti biasanya. Bersih. Hanya satu batang rokok di atas asbak dan
bungkus rokok yang tak ada isinya. Terselip satu kertas di bawah bungkus
rokoknya. Diambilnya dengan cepat kertas tersebut. Surat, kata si istri dalam
hati.
“Dik,
sesuai saranmu, semua buku yang aku beli sembunyi-sembunyi sudah aku gadaikan
kepada temanku. Tidak banyak, karena masih belum bisa menutupi bunga yang
disediakan Bu RT. Aku pergi sebentar untuk bekerja dan pasti akan kembali.
Kalau kau tanya kenapa aku harus pergi, tidak lain karena aku tak ingin kita
kabur sebagaimana tetangga yang lain pergi secara sembunyi-sembunyi pada waktu
dini hari karena tak mampu membayar bunganya. Aku menyaksikan bagaimana mereka
kabur dengan rasa takut agar tak terlihat Bu RT dan keluarganya. Uangnya aku
letakkan di bawah bantal usai kita saling menikmati apa yang kita lakukan
semalam.
_________________
*) Penulis merupakan pendiri Gerakan Situbondo Membaca (GSM).
Cerpen: Rentenir
Reviewed by takanta
on
Mei 10, 2020
Rating: 5
Aku terhenyak membaca beberapa kata yang terlalu 'vulgar'.
BalasHapusCerpennya bagus, ditunggu karya berikutnya
BalasHapuskunjungi juga situs kami dominoqq : http://207.148.125.127/
nice article thank you
BalasHapusvisit my website
Jostogel
Bintangtoto
Thanks you for sharing a very nice content.
BalasHapusKunjungi situs : jos togel