Semsem 1: Silaturahmi Seni ke Timur
Oleh: Mohammad Farhan*
Semuanya
masih biasa-biasa saja. Saya masih jelas melihat layar gawai. Mengetik pesan, lalu
saya kirim ke Mas Aves. Pesan itu berisi ajakan berangkat bareng ke rumah Mas
Pri, Ketua Dewan Kesenian Situbondo (DKS). ‘’Oke. Boleh, Om”, balas Mas Aves.
Adzan
isya’ selesai, saya pamit kepada istri dan mertua untuk berangkat. Motor saya
dorong ke luar halaman rumah. Sambil menghidupkan motor, saya menoleh. Istri
saya menutup gerbang. Dan, memberi saya senyuman. Saya membalasnya. Sekian
detik dari balas-membalas senyum itu, motor saya lajukan. Di kaca spion, saya
lihat istri saya masih melihat ke arah saya. Sebelum belokan gang menutup
penglihatan saya kepada dia. Tapi, senyum itu masih terlihat jelas. Senyum itu,
bagi saya sudah cukup menjadi restu yang tulus. Bekal yang mewah. Dan doa yang
paripurna. Saya berangkat dengan hati yang tenang.
Keluar
Jalan Kenanga, saya masuk Jalan Seroja, belok ke Jalan PB. Sudirman kemudian
berakhir di Jalan Seroeji. Di jalan yang
membelah Kantor Kominfo dan Kodim itu, suasana lengang. Hanya satu dua tiga
orang salipan. Ada yang memakai kopyah, ada yang membonceng anak istrinya, dan ada lelaki yang tiba
di rumah seorang kawannya.
Saya
mendokrak motor persis di halaman rumah Mas Aves. Halaman yang tidak begitu
luas. Sisi kanan kirinya berdiri tembok rumah orang. Tetangga Mas Aves. Bunga
berjejer, disusun, dan bergelantungan di sisi kiri pagar. Sementara sebuah
mobil sedan-klasik-warna-merah-tua terparkir di pagar yang terbuat dari beton
itu. Saya melewati bunga-bunga itu dan bertemu Mas Aves. Ia duduk di kursi
teras rumah. Ia memakai kopyah hitam, kaos warna abu-abu, dan celana hitam.
“Mas...”
“Hei..
Gimana, langsung berangkat?” Mas Aves berdiri. Kami bersalaman.
“Boleh,
Mas. Kita nunggu di rumah Mas Pri, ya”
Ini
kali pertama saya ke rumah Mas Aves. Seperti kali pertama yang lain, saya
selalu canggung. Saya sering kali kikuk mau ngomong apa. Mau memulai obrolan selain
salam-senyum-sapa rasanya sulit sekali. Memang, saya sudah mengenal Mas Aves
dengan baik. Pernah satu kali ngisi acara bareng juga. Tapi, saya tahu siapa
Mas Aves. Saya kok wagu mau ngobrol basa-basi kepada Mas Aves. Apalagi di rumahnya.
Berdua lagi. Kalau sudah begitu biasanya saya butuh orang atau kawan yang bisa
mencairkan ketegangan. Orang itu ciri-cirinya kocak. Lah, diemnya aja bikin
ketawa kok, ngobrolnya sering ga jelas, tapi fasih banget kalau bicara mantan
dan kenangan. Sudah tahu orangnya?
Imron
datang sekira 10 menit setelah saya dan Mas Aves sampai di rumah Mas Pri. Ia
memakai hem pendek abu-abu, celana hitam, dan menggendong tas warna hijau. Tas
itu biasanya berisi laptop dan buku-buku. Belakangan, setelah intensitas
pertemuan dengan perempuan-utara-masjid-Baitul Mukti semakin istiqomah, tas
Imron semakin berat. Saya tahu bahwa Imron juga bawa sisir, minyak rambut, deodoran,
dan parfum. Tapi, bukan itu sebenarnya yang membuat tas itu terlihat sangat berat.
Melainkan kenangan-kenangan yang ia bawa dengan tabah. Berhari-hari. Seorang
diri.
Selang
berapa menit, Mas Lutfi datang. Ia memakai jaket hitam, celana jeans, dan
masker. Mas Lutfi menyalami saya dan Imron. Kemudian duduk di teras rumah Mas
Pri bersama Mas Aves yang lebih dulu duduk di situ. Mas Lutfi melihat gawai.
Mas Aves juga. Mas Lutfi mengeluarkan satu gawai yang lain, kemudian membalas
pesan. Sementara dari gawai Mas Aves terdengar suara lagu-lagu. Sepertinya Mas
Aves memantau acara Panggung Seni Terbuka (PTS) yang beberapa hari ini digelar DKS
via daring media sosial. Saya melirik ke Imron. Ternyata main kartu. Syukurlah.
Daripada mainin hati anak orang batin saya.
Mas
Pri muncul dari dalam rumah. Rambutnya basah. Kaos dan celananya juga ganti. Ia
baru selesai mandi.
“Mas
Lutfi sudah tadi?” Mas Pri menyalami Mas Lufti.
“Enggak.
Baru aja duduk”
“Ayo,
Mas diminum dulu kopinya”
Kopi
saya sudah habis. Imron pun juga. Punya Mas Aves dan Mas Lutfi masih tersisa
seperempat. Karena siap-siap berangkat, saya, Mas Lutfi dan Imron gantian
memasukkan motor. Sementara Mas Pri mengeluarkan mobil dari garasi. Mas Aves
duduk di sebelah Mas Pri yang mengemudi. Saya duduk di antara Imron dan Mas
Lutfi. Kami menuju Jangkar sekitar pukul 19.30 WIB.
Di
jalan pinggiran sungai geledhek macan, suasana tidak terlalu ramai. Hal itu berbeda
ketika kami sampai di Jalan Ahmad Yani. Kendaran berduyun-duyun melintas. Motor,
mobil, dan bentor bergerak memanjang beriringan. Di sisi lain, terlihat kendaran
terparkir di sepanjang jalan depan dealer honda, Bank Mandiri, KDS dan
ruko-ruko di seberang Jalan Ahmad Yani itu.
“Aria corona tadek apa la?” celetuk Mas
Aves.
“Gak
tahu ini, Mas. Kayaknya orang-orang ga takut lagi. Peraturan sepertinya sudah longgar
wes” jawab Mas Pri sambil membelokkan kemudi.
Kami
baru saja melewati gheledhek macan.
Tapi, saya masih kepikiran pernyataan Mas Pri. Benarkah orang-orang tidak takut
corona lagi? Apa yang membuat mereka yakin tidak tertular ketika di keramaian
begitu? Siapa yang bisa memastikan orang-orang itu dalam keadaan bebas corona
hanya dengan mencuci tangan dan pakai masker? Sementara kuota rapid tes sangat
terbatas dan minim.
Pertanyaan
itu tidak saya obrolkan di mobil. Saya hanya diam dan bergumam. Tadi, ketika saya
dan Mas Aves menuju rumah Mas Pri, saya melihat KDS sangat ramai. Parkiran
penuh. Orang berduyun-duyun. Ada yang baru mau masuk, ada yang keluar. Gerak langkah
orang-orang seperti tidak terputus. Jika saja tidak ada jeda karena antrean di
depan pintu masuk KDS, mungkin ada yang menginjak alas kaki orang lain di
depannya.
Apa
yang sebenarnya mereka cari? Kepuasan yang bagaimana? Setelah itu apa? Seolah
ramadhan tidak benar-benar hadir jika tidak memenuhi pusat perbelanjaan jelang
lebaran. Padahal, ramadhan adalah momentum mengambil jarak dari materialisme
dan perilaku hedon. Apalagi musim corona begini. Sangat tidak sebanding harga
keselamatan umat hanya karena tunduk pada hasrat berbelanja. Apa kabar
pemerintah? Ya, sukses ngupdate data
dan main niu-niu-niu jelang larut malam. Bersambung...
_______________
*) Pimred takanta.id. Guru di SMA Negeri 1 Situbondo.
Semsem 1: Silaturahmi Seni ke Timur
Reviewed by takanta
on
Mei 11, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar