Yang Menghantui Perbukuan Kita
Oleh: Erha Pamungkas*
Membaca sejatinya adalah kerja purba. Sejak manusia ada, kegiatan membaca niscaya juga telah dilakukan. Mulanya membaca alam, lingkungan, dan hingga kini makna membaca berangsur-angsur tereduksi menjadi sekadar membaca teks. Membaca teks pun menjadi persoalan, setidaknya di negara kita. Dalam bentuk terumumnya (buku), minat membaca kita nyaris tersungkur—atau bahkan telah tersungkur. Pada 2019 UNESCO mengatakan minat baca kita berada pada urutan 60 dari 61 negara. Dan presentase minat membaca penduduk kita yang masih tertinggal jauh sekalipun dibanding negara tetangga semisal Malaysia.
Membaca sejatinya adalah kerja purba. Sejak manusia ada, kegiatan membaca niscaya juga telah dilakukan. Mulanya membaca alam, lingkungan, dan hingga kini makna membaca berangsur-angsur tereduksi menjadi sekadar membaca teks. Membaca teks pun menjadi persoalan, setidaknya di negara kita. Dalam bentuk terumumnya (buku), minat membaca kita nyaris tersungkur—atau bahkan telah tersungkur. Pada 2019 UNESCO mengatakan minat baca kita berada pada urutan 60 dari 61 negara. Dan presentase minat membaca penduduk kita yang masih tertinggal jauh sekalipun dibanding negara tetangga semisal Malaysia.
Tentu
minat baca hanyalah satu dari sekian masalah kompleks yang menghantui
(apresiasi) perbukuan kita, dua masalah lain, yang baru-baru ini sempat
menggemparkan adalah: pembajakan dan penyitaan buku.
Perihal
penyitaan buku, sejatinya ini bukan masalah baru. Sastrawan kondang Pramoedya
Ananta Toer pun mengalami hal serupa, bahkan lebih parah: banyak naskahnya yang
dibakar, ia dikirim ke bui Pulau Buru dengan cap subversif, dan karya-karyanya
yang telah terbit dilarang beredar—pemegang karya-karyanya pun diburu aparat. Dan
tahun lalu kita sempat mendengar salah satu komunitas literasi di Probolinggo
digeruduk aparat karena kedapatan memiliki 'buku kiri'. Penyitaan semacam itu
juga terjadi di Kendari. Bagaimana jelasnya yang dimaksud ‘buku kiri' itu pun
belum lagi jelas, kira-kira kemarin muncul kembali berita terkait penyitaan
buku. Sekelompok pemuda yang konon mendaku sebagai “anarko sindikalis”
ditangkap aparat dengan tuduhan vandalisme berikut barang bukti berupa beberapa
buku. Ironisnya dua dari sekian buku yang dijadikan barang bukti adalah buku
Tan Malaka dan Eka Kurniawan. Terang saja ini mengundang pertanyaan banyak
orang, lebih-lebih peminat sastra dan sejarah, apa dasarnya buku Eka Kurniawan
dan Tan Malaka disebut-sebut mempengaruhi orang untuk menjadi 'anarko'?
Dalam
sudut pandang hukum pun sebetulnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat
keputusan bahwa penyitaan buku secara sewenang-wenang itu tak dibenarkan;
penyitaan buku mesti melalui proses peradilan (Putusan MK Nomor 20/ PUU-VIII/
2010).
Artinya
jika penyitaan demi penyitaan buku tetap dilakukan tanpa melewati proses
peradilan, itu adalah tindakan tak
berdasar dan justru melanggar aturan. Jika yang demikian terus-menerus
dibiarkan, bukan tak mungkin kelak, buku-buku yang beredar di pasaran hanyalah
yang dinyatakan ‘telah lulus seleksi dan sensor' oleh pemerintah atau aparat.
Bukannya suatu kemajuan, hal ini justru merupakan kemunduran spirit kebebasan
yang diemban reformasi.
'Hantu'
berikutnya adalah pembajakan. Ini terlihat sepele namun sejatinya sangat serius.
Apabila dulu pembajakan buku hanya dilakukan pada buku-buku lama yg sudah tak
dicetak ulang oleh penerbitnya, kini pembajakan buku menjelma satu industri
besar nan ilegal yang jarang tersentuh atau mendapat perhatian oleh pemerintah
maupun masyarakat kebanyakan. Pembajak-pembajak buku kini tak ragu membajak
buku-buku baru dan paling laku di pasaran. Bahkan di beberapa kota, buku-buku
bajakan dijual secara terang-terangan. Jelas pembajakan sangat merugikan
penulis, penerbit, dan semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan buku
yang kadangkala sangat panjang, tak mudah, dan tak murah. Dalam hal ini saya
teringat kelakar Esais sekaligus Arsiparis Muhidin M. Dahlan (Gus Muh) dalam
satu esainya. Bahwa hari ini, alangkah lebih baik seorang penulis tak menghasilkan buku berkualitas dan bagus.
Sebab bila bukunya bagus, diterima pasar, maka yang untung tak lain tak bukan
adalah pembajak: seorang 'pencuri' yang samasekali tak urun tenaga dalam proses
pembuatan buku namun menikmati hasilnya paling banyak. Kelakar ini sungguh
ironis. Namun begitulah realita iklim perbukuan kita.
Akhirnya,
iklim perbukuan kita agaknya memang sedang sakit kronis. Ia menumpuk beragam
penyakit bertahun-tahun lamanya tanpa pernah mendapat perhatian serius, apalagi
berusaha diobati. Saya pribadi membayangkan yang mestinya menjadi obyek
penyitaan oleh aparat (tanpa proses peradilan) adalah buku-buku ilegal, dan
bukannya buku-buku legal. Angan-angan itu hanya mungkin terjadi apabila: masyarakat
memiliki kesadaran umum perihal pentingnya legalitas per-buku-an dan para
pemangku kebijakan di atas sana benar-benar menganggap industri buku ilegal
adalah persoalan sangat serius—dengan membuat aturan dan penindakan yang tegas.
Sebab ini tak cuma merugikan penulis dan penerbit, juga merugikan masyarakat
keseluruhan. Dan terakhir, jangan sampai yang membunuh dan menghantui ekosistem
perbukuan tak lain adalah kita sendiri, pembaca dan masyarakatnya, dengan cara
kecil namun mematikan: abai terhadap pentingnya minat membaca, pembajakan, juga
penyitaan buku di sekitar. (*)
____________________
*) Lahir di
Jember. Penyuka Sastra dan Air Mata.
Yang Menghantui Perbukuan Kita
Reviewed by takanta
on
Mei 04, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar