Cerpen: Di Bawah Langit Biru
Ketika aku membuka
mata, yang pertama kali kulakukan adalah mengernyit dan menutupnya kembali,
lalu membukanya lagi perlahan-lahan. Matahari bersinar begitu terik. Awan putih
di langit yang biru cerah bergerak pelan. Aku merasakan sesuatu menggelitik
kulit lenganku, kakiku, dan punggungku; terasa sejuk. Benakku bertanya-tanya,
di manakah aku?
Aku ingin bangkit
dan melihat sekelilingku, tapi tubuhku entah kenapa terasa kaku. Aku menoleh ke
kanan, bunga berwarna biru mengenai hidungku. Kemudian aku menoleh ke kiri,
menemukan bunga yang sama. Aku benar-benar harus bangkit sekarang dan mencari tahu
keberadaanku. Tapi tubuhku masih kaku.
Akhirnya kuputuskan
untuk diam beberapa saat sambil menatap langit dengan mata memicing, karena
kuyakin sebentar lagi tubuhku akan mengikuti lagi perintahku.
Suara semilir
angin yang menggoyang rumput terdengar seperti nyanyian tidur yang membuatku
mengantuk. Aku akan berbaring di sini, beberapa saat lagi, sambil menunggu
tubuhku mau kuperintah lagi.
Langkah kaki
mendekat. Kemudian berhenti, dan sosoknya terasa dekat di sisiku. Aku membuka
mata, kali ini tidak mengernyit karena sinar matahari ditutup oleh tubuhnya
yang menjulang tinggi di atasku. Dia, lelaki itu, mengulurkan tangan. Saat
itulah tubuhku kudapatkan kembali. Aku mengambil uluran tangannya.
Ketika tangannya
menyentuhku, membawaku merapat padanya, dan bergerak di atas padang rumput
bertabur bunga biru. Seperti angin, aku bahagia. Rasa itu menggelitik setiap
syaraf dalam tubuhku.
Sejenak, aku lupa
kenapa tadi aku ingin segera bangkit. Ah ya, karena aku ingin memastikan di
manakah aku. Tapi ketika aku menatap mata lelaki itu, aku tak lagi peduli. Di
manapun aku, kurasa sudah tidak penting lagi asal aku bersamanya.
“Apa kau menikmati
pertunjukan kita semalam?” tanyanya tiba-tiba.
Aku bingung.
“Pertunjukan apa?”
Dia terkekeh.
Kakinya yang terbungkus celana hitam dengan telapak yang terbenam di antara
rumput-rumput, memimpinku dalam tarian ini, tariannya. Dan aku masih tidak
mengerti pertunjukan apa yang dia maksud.
“Aku benar-benar
tidak ingat. Pertunjukan apa?” tanyaku lagi.
“Tidak apa, kau
memang lupa sekarang,” jawabnya.
Aku yakin,
pertunjukan itu pasti amat berarti baginya. Aku menjadi malu karena tak bisa
mengingat hal itu dan mengecewakannya. Tapi aku benar-benar tidak ingat. Aku mencoba
mencari-cari memori yang mungkin terselip dalam otakku. Tapi tidak mungkin.
Katanya, pertunjukan semalam. Seharusnya otakku dapat mengingatnya. Ingatan itu
akan masih terasa segar jika memang kejadiannya semalam. Tapi aku bahkan tidak
ingat apapun kecuali ketika aku membuka mata di sini beberapa saat lalu.
Kehadiran lelaki
ini, terasa familiar. Perasaan yang ditimbulkan karena kehadirannya ini, juga
pernah kurasakan. Tapi entah kapan atau pada siapa. Aku merasa seperti telah
mengenalnya selama bertahun-tahun.
Aku tenggelam lagi
dalam manik matanya ketika dia memutarku dan menangkapku ke dalam dekapannya.
“Apa yang kita
lakukan?” tanyaku, sedikit tersengal karena apa yang baru saja dia lakukan.
“Menari,”
jawabnya.
“Apa kita menari
seperti ini?”
“Ya, seperti ini,
menari dengan indah.”
Aku mendongak
menatap langit yang begitu cerah, warna birunya menyejukkan mata, kecuali terik
matahari yang lama-lama membuat mataku silau dan panas sehingga aku menunduk
kembali. “Di bawah langit biru juga?” tanyaku lagi.
Dia ikut
mendongak, matanya memicing, kemudian dia menatapku kembali dan menggeleng.
“Bukan. Kita
menari, dinaungi atap kayu.”
Aku mulai
membayangkan sebuah panggung kayu, dengan kain beludru merah yang tersibak di
kiri dan kanan, aku dan dia menari di tengah, seperti angin. Rumput dan bunga
biru menjelma menjadi penonton, yang terhipnotis oleh gerakannya. Kemudian perlahan,
mereka ikut menari bersama kami. Di ujung pertunjukan itu, suara riuh tepuk tangan
diberikan padanya. Hanya padanya. Karena hanya dia yang dapat kubayangkan
seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan diriku sendiri.
Jemari tangannya
membelai halus pipiku. “Kau melamun,” bisiknya.
Aku malu. Aku
tidak ingin dia berpikir kehadirannya tidak dihargai, maka aku katakan, “Aku
membayangkan panggung kita.”
Dia terkekeh lagi.
“Semuanya terbuat dari kayu. Terkadang, aku takut atapnya akan jatuh dan
menimpamu.”
“Menimpaku?”
katanya.
“Tidakkah jika
kayu itu jatuh menimpaku, juga akan menimpamu?”
Dia tersenyum.
senyumannya nyaris seindah langit biru dan seterang dan sehangat matahari.
Apa di dunianya,
aku adalah segalanya? Karena di dalam duniaku, dia adalah porosnya.
Aku semakin
bingung. Perasaan yang tiba-tiba hadir ini entah kenapa tidak terasa baru.
Aku tidak ingin
dia menyadari kebingunganku ini. Aku tidak ingin dia tahu seberapa banyak yang
aku lupakan. “Tadi aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Sesaat aku berpikir aku
telah terbelah menjadi beberapa bagian yang memiliki pikirannya masing-masing,”
kataku, mengalihkan pembicaraan tentang panggung kami semalam.
Angin bertiup
menerbangkan rambut panjangnya yang tumbuh sampai menyentuh telinga. “Bukan,”
katanya, “itu hanya karena matamu menangkap sesuatu yang indah, kemudian otakmu
menyuruhmu untuk tetap tinggal dan menikmati semuanya.” Aku tertawa
mendengarnya. “Lalu tubuhmu mengikuti perintah otakmu,” dia bilang.
Ketika aku semakin
tenggelam di dalam keindahan matanya, alasan mengenai tubuhku yang kaku---atau
juga ingatanku tentang pertunjukan semalam---menjadi tidak begitu berarti. Aku
menatapnya, menyentuh kulitnya, menari dengannya. Singkatnya, kehadirannya,
adalah yang paling berarti.
Aku kemudian menutup
mata, membiarkan angin hangat musim panas membelai wajahku. Suara rerumputan
bergoyang menjadi musik kami. Tariannya membawaku, membuaiku semakin dalam. Kemudian
segalanya tiba-tiba saja terhenti. Aku membuka mata. Dan yang kulihat tidak
lagi sama.
Aku bangkit untuk minum
segelas air putih yang semalam kuletakkan di nakas.
“Mimpi itu lagi?”
tanya istriku yang terbangun dari tidurnya karena gerakanku.
Aku mengangguk
lemah dan kembali berbaring.
Istriku beringsut
mendekat, memelukku, dan matanya kembali tertutup. Aku menatapnya, terpana.
Potongan mimpi itu kembali berputar dalam otakku seperti kaset baru.
Aku lantas
mengalihkan pandang, pada tembok persegi kamarku yang berwarna hijau, yang membuatku
teringat pada padang rumput indah dengan bunga iris di atasnya. Dan langit-langit
kamarku, yang berwarna biru, mengingatkanku pada hari cerah itu.
Aku teringat pada
mimpiku dua malam sebelumnya; aku menari di sebuah panggung pertunjukan
dengannya. Kemudian aku sadar, lelaki di dalam mimpi itu, yang wajahnya masih
terpatri jelas dalam ingatanku, sering menatapku dalam cermin. Aku menoleh pada istriku, memandangnya lama, dan
aku seperti melihat sosokku di dalam mimpi itu.
“Tidurlah. Jangan
terlalu dipikirkan, itu hanya bunga tidur,” kata istriku. Perkataan yang sama yang
selalu diucapkannya setiap kali mimpi itu mampir dalam tidurku. (*)
Perampuan, 14
November 2019
Layla
Shallma Putri Pracia, lahir di Perampuan, Lombok Barat,
21 Juni 2001. Saat ini ia turut berproses kreatif di Komunitas Akarpohon,
Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen: Di Bawah Langit Biru
Reviewed by takanta
on
Juni 21, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar