Mored: Orang-Orang Desa yang Meldeka
Oleh Faizis Sururi
Hal yang kita tidak sadari hingga kini, sesudah tujuh
puluh empat tahun kemerdekaan diproklamasikan. Adalah bagaimana cara menghargai
sebuah sejarah untuk dianggapnya sebagai utuh sebuah sejarah. Dengan arti lain,
selama tiga abad setengah pribumi berada dalam cengkeraman kolonial. Selama itu
pula pengetahuan bahwa bagaimana pun bentuk penjajahan adalah tanda bagaimana
pribumi harus bangkit meretas kejumudan dan menjadi manusia yang bebas. Bukankah tempat
pembuangan Boven Digul, Papua Barat pada 1927 merupakan tragedi bagaimana
seorang manusia diperlakukan selayak binatang dan kerja paksa atas pembuatan
jalan raya pos Daendels adalah bukti bagaimana seorang manusia sungguh tak lagi
mengemban tugasnya sebagai manusia. Hingga harga juang untuk membebaskan sebuah
bangsa menjadi bangsa yang merdeka. Menghargai sebuah darah dan tanah yang
telah menjadi satu arwah semesta alam, menghargai sebuah tetes air mata yang
sudah lama terbentuk menjadi lautan untuk menegakkan sebuah nama suatu bangsa.
Namun,
apalah balasan orang-orang desa akan sebuah bangsa yang diberi nama Indonesia
hingga saat ini? Kutukan bahwa desa merupakan tempat bagi bersarangnya
kebodohan, tempat bagi suburnya kejumudan dan tempat bagi segala hal yang kumuh
masih mereka akui bahwa itulah yang diajarkan oleh nenek moyang mereka dalam
sumpah serapah yang sakral, sehingga temaramnya sebuah desa adalah sebab dari
rapalan itu semua. Akhirnya, langgenglah sebuah desa dengan kebodohannya yang
mereka rasakan itu hal biasa. Dengan kejumudannya yang mereka dalihkan ‘inilah
budaya kami’, dan dengan kekumuhannya yang mereka yakini selagi tiada
bencana adalah tanda nenek moyang mereka masih menyayanginya.
Akan
tetapi, kebodohan tetaplah kebodohan hingga bila dibiarkan hidup subur
merupakan sebuah langkah bagaimana ia menuju sebuah kenihilan dalam hidup.
Lantas, bagaimana mereka menilai nasionalisme hingga saat ini adalah jauh merupakan sebuah keniscayaan yang hampir
kita menyadarinya. Orang-orang desa menggunakan sebuah uang logam untuk mengere’* nyeri otot badan dan segala penyakit sampai kutang pun merupakan
tempat bagaimana sebuah uang tersimpan dengan aman sebagai sebuah wadah anti colong*. Namun, bagaimana pun hal
tersebut disebut-sebut sebagai langkah terakhir oleh mereka, bahwa berobat ke
dokter merupakan sebuah keniscayaan yang begitu besar hingga adanya sebuah
bank, tempat penyimpanan uang yang lebih aman, adalah cara bagaimana mereka
menghabiskan jatah uang makan mereka selama tiga hari karena jarak yang jauh
dan angkutan yang sulit mencekik.
Inilah
Indonesia, anak dari semua bangsa yang masih mengilhami desa untuk sejahtera
dengan caranya sendiri, sampai-sampai bagaimana menghargai sebuah lambang
ideologi negara, Garuda, dibalik uang tersebut, sama sulitnya mereka menghargai
sebuah rumah sakit dan bank untuk kehilangan jatah uang makan mereka selama
tiga hari. Namun, bagaimana pun peradaban itu menilai sebagai sebuah hal yang
nihil. Merupakan suatu yang pantas bagaimana buku sejarah tak pernah sampai
pada genggaman tangan mereka atau pun kalau itu sudah ada pada mereka.,
bagaimana mereka membacanya adalah merupakan sebuah masalah karena mereka tak
pernah merasakan bagaimana jenjang pendidikan
sekolah* sehingga huruf bagi mereka adalah suatu hal yang anyar, bahkan
disampaikan lewat lisan pun mereka tidak akan mengerti bila tidak dengan bahasa
daerah mereka sendiri. Sampai pada akhirnya
adanya bahasa persatuan, bahasa Indonesia, adalah cara politis yang
masih gagal terealisasikan di desa sekalipun telah diumumkan oleh Sumpah Pemuda
pada tanggal 2 Oktober 1928. Lantas, selama tujuh puluh lima tahun ini
Indonesia dikatakan merdeka? Merdeka dengan kebodohannya, merdeka dengan
kejumudannya, merdeka dengan kekumuhannya, sampai pada akhirnya dikatakan atau
tidak dikatakan, desa tetaplah dengan citranya sebagai sarang kebodohan, tempat
dimana kejumudan tumbuh subur dengan kekumuhan yang tidak bisa diidamkan bahwa
ia akan indah seperti tanah surga.
Inilah
kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa, dengan tetap mensejahterakan
nilai-nilai- keniscayaan yang membuat nasionalisme bangsa itu sendiri menjadi
hal-hal yang tidak akan dihargai, bagaimana darah dan tanah telah menjadi satu
arwah, serta bagaimana ribuan air mata menetes membentuk lautan tak pernah
dipedulikan oleh mereka, orang-orang desa, sebagai kesaksian sebuah sejarah. Dan
inilah yang membuat orang-orang desa bukan lagi merdeka, namun meldeka.
Catatan :
*: Adalah cara tradisional yang digunakan orang-orang
desa
khusunya Kawasan Madura untuk memulihkan rasa nyeri di badan atau pun segala macam
penyakit yang menimpanya.
*: Inilah memoar kehidupan yang saya alami di rumah kakek selama berada di Mapper, Proppo. Mereka dengan citranya sebagai orang desa masih lekat dengan keyakinannya bahwa dengan sumpah serapah yang nenek moyang mereka rapalkan ada hal yang akan diikuti oleh mereka dan akan diajarkan secara turun-menurun.
*: Inilah memoar kehidupan yang saya alami di rumah kakek selama berada di Mapper, Proppo. Mereka dengan citranya sebagai orang desa masih lekat dengan keyakinannya bahwa dengan sumpah serapah yang nenek moyang mereka rapalkan ada hal yang akan diikuti oleh mereka dan akan diajarkan secara turun-menurun.
Sehingga tidak nihil apabila nasionalisme mereka, sebagai
orang desa, lebih merupakan sebuah keniscayaan yang kita tidak sadari.
*: Jenjang pendidikan paling tinggi yang dialami oleh
masyarakat sekitar kampung nenekku adalah jenjang SLTP, yang selepas itu mereka
akan segera menikah sehingga apa-apa yang mereka dapatkan tak pernah mereka
praktikkan.
BIODATA PENULIS
Faizis Sururi. Kaduara Timur, Pragaan, Sumenep. Santri
Pondok Pesantren Nurul Jadid. Facebook: FA IZ.
Mored: Orang-Orang Desa yang Meldeka
Reviewed by takanta
on
Juni 17, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar