Kumpulan Puisi Diego Alpadani
Belang
Puntung Rabu
Rabu adalah puisi
belang puntung yang digenjot
puntung-puntung
rokok, korek-korek api basah, dan
Mantiko peneguk mineral hingga mabuk. Belang puntung
rabu tidak kesurupan
pada hari rabu yang awannya adalah
dawat-dawat pena
yang terserak begitu saja.
"Mana mineral
itu? Puntung rokok sudah menjadi abu
aku tahu. Oh tidak.
Aku bukan tahu. Aku mencari korek api
untuk membakar
belang puntung rabu. Dan dua hitungan
ke depan sengaja tak
kuhitung. Oh ya. Sudah terhitung
aku mabuk."
Mantiko menyeret
rabu yang belang puntung
dibayangnya menjadi
puisi. Ada titik, koma, dan
baca-baca tertandai.
"Sudah datang.
Silakan kembali. Tolong datang lagi.
wah. Mineral di rabu
belang puntung pada hari rabu
sudah menjadi pemabuk.
Oh, aku sadar." Mantiko
membuang rabu yang
belang puntung pada hari
rabu lalu.
Padang, 2020
Farif
Pembawa Rabu
Farif telah membunuh
rabu dengan artefak-artefak
yang ia punya. Rabu
bukan puisi belang puntung
apalagi bagaikan
tiga unsur yang hidup pada gelas-gelas
penghantar kemalasan
untuk Mantiko, sobat karibnya itu.
"Aku pembunuh
itu. Telah pecah benak rabu
pada hari rabu itu.
Kau masih menanyakan
kebelangpuntungan
rabu, selalu. Mantiko Rabu
nama kuberi
padamu!" Farif menyesak asap
masuk ke tubuh
dalamnya.
Mantiko masih tetap
mabuk mineral tanpa tahu
Farif membacot
hampir menampar muncungnya
penghasil
butiran-butiran carut. Rabu Mantiko dan Farif
masih didebatkan,
didendangkan, dizikirkan
"di mana rabu
belang puntung yang terkatung-katung"
"sudahku bunuh
dan mayatnya kujadikan sebagai bantal"
"jadi kau
datang lagi dari rabu 100 tahun mendatang?" semakin
mabuk mineral
Mantiko.
Padang, 2020
Rabu
Malam
Ternyata aku telah
diminum Mantiko
dibunuh Farif pada
hari rabu malam 237
tahun mendatang.
Sebelum aku terbunuh
Mantiko menjadikan
aku cairan pelepas dahaganya
sesekali dimuntahkan
ke ujung sepatu Farif.
Kebangsatan Farif
menjadi pekat berkali lipat
diingatnya cara
membunuh secara daring. Dari java-java
sampai
program-program entahlah, ada sistem bahasa
atau tanda atau
apalah atau sebenarnya tiada guna. Akhirnya
membacot dan merusak
citra mantiko dengan cara daring
di sosial media,
tepat pada hari rabu sore sebelum membunuhku,
"Tak berotak
setiap M bertemu dengan A disambut N ditunggu T
ada I menunggu K dan
O dua terakhir. Otaknya hanya luapan
liur yang tergodok!
(tiga emotikon marah),"
Banyak yang ngomen
dari kalimat tanya hingga kalimat yang
juga entahlah.
1. Sabar yaaaa!
2. Kamu kenapa?
Siapa Mantiko itu?
3. Hantam s4173k! 4q
di b3l4k4N9.
4. Mau tau cara
menambah tinggiiiii badan 9-69 cm. Hanya
hitungan hari di
usia 25 keatas? Konsul yuk, cek akun ini.
Farif balas satu
persatu sampai hari rabu
enam windu
mendatang.
Padang, 2020
Mantiko
Mencuri Mati
Rabu dini hari
Mantiko membawa mati karena
rabu puisi belang
puntung telah tertinggal atau ditinggal
di jenjang lapuk
empat abad lalu. Di situ, satu dogma
adalah kebenaran dan
kesesatan selebihnya
yang benar-benar
benar hanya satu saja
tidak ada kebenaran
pribadi, jika ada
tentu dibakar pada
kegelapan.
Langkah Mantiko
cepat membawa mati biar tak terlihat
oleh Farif yang
mengintai mati sedari anomali dan analogi
didendangkan,
akhirnya diperdebatkan. Farif telah menunggu
mati, Mantiko
pembawa mati sembunyi-sembunyi ke jenjang
lapuk empat abad
lalu. Bulu-bulu angsa bertanya,
"Kenapa kau
bawa mati?
tak cukup aroma
bengis dan warna pekik
empat abad lalu
menjadi penggalan kepala dan
bara tubuh yang
dipaksa pasrah?"
"Hus. Diam.
Farif menjadi absolut monarki!
mati telah kucuri
dan akan aku simpan dalam peti,
agar tak lagi
berulang kisah lama yang kan jadi tragedi
pedagogi!"
"Puitis sekali!
Kau pencipta puisi?"
"Mampus kau!
Ternyata puisi rabu belang puntung
kau yang
mencuri."
Padang, 2020
Senin
Dipatah
Mantiko mematah
tungkai senin yang selalu liar
tak bisa diam dan
tak mengerti bahasa manusia
rabu yang dikesalkan
Mantiko sudah cukup dipangkunya
sekarang senin
tingkah-bertingah membentuk pola
bintang-bintang
bertebaran.
senin itu patah di
tangan Mantiko yang benar-benar sadar
tidak lagi mabuk
mineral, jarak pengejarannya lebih dari
tak terhitung tak
terbatas. senin sangatlah lihai berjingkrak
bergelantung seperti
beruk di Silaiang yang dikenal dengan
kelokan dan air
terjun. Puluhan tahun cahaya Mantiko mengejar
tepat di ngarai
landai berisi bunian senin dipatah dan ditawa
dengan mineral.
Padang, 2020
Rabu
Belang Puntung Datang
Baru rabu belang
puntung datang pada Mantiko di bundaran
angin yang meliuk
membawa kantuk, selama tujuh windu
Mantiko mabuk
mineral kehilangan rabu belang puntung
selama itu, angin
tak dirasa ada keberadaan walau tak bisa
dilihat indera
pelihat, dingin tak menusuk sumsum, hangat
tak membuat abu di
tengkorak. Mantiko alpa pada rasa
sejak tujuh windu
berlalu rabu belang puntung melenggang.
Rabu belang puntung
datang Mantiko,
ucapku melepas mata
buta dari kata setelah Mantiko memasung
rasa dari rabu tujuh
windu lalu.
Rabu belang puntung
datang membawa ikat pinggang
membawa galon untuk
memiara angin musin datang,
Bisik Farif melepas
telingga pekaknya dari bahasa manusia
sebelum Mantiko
kembali meneguk Mineral menunggu
datangnya rabu
belang puntung pada hari rabu
Sejak tujuh windu
lalu.
SNKLB, 2020
Biodata Penulis:
Diego Alpadani saat
ini tengah menyelesaikan studinya di jurusan Sastra Indonesia Universitas
Andalas. Ia aktif berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif (LPK), Teater Langkah,
dan Lab. Pauh 9.
Puisi: Rabu Malam
Reviewed by Redaksi
on
Juni 07, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar