Ulas Buku: Senarai Kritik untuk Sinetron Indonesia
Oleh:
Thomas Utomo
Judul : The Secret of Room 403
Pengarang: Riawani
Elyta
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal : 272 halaman
ISBN
: 978-602-1614-51-8
The Secret of Room
403 merupakan salah satu karya unggulan Riawani Elyta, Ketua Forum Taman Bacaan
Masyarakat (FTBM) Kepulauan Riau. Novel ini menyabet juara Lomba Menulis Novel
Inspiratif (LMNI) 2014 yang diadakan Penerbit Indiva Media Kreasi dan menjadi finalis
Islamic Book Award 2018 kategori
Fiksi Dewasa Terbaik yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Kendati
telah terbit cukup lama, novel ini masih kerap menjadi perbincangan publik. Teranyar,
novel ini menjadi pokok bahasan acara bincang buku yang diselenggarakan Kantor
Bahasa Kepulauan Riau pada awal Februari 2020.
Apa
sesungguhnya keistimewaan novel satu ini?
Secara
garis besar, isi novel menceritakan liku-liku kehidupan Aliff, seorang copywriter atau penulis skenario
sinetron yang mendapat pesanan dari salah satu kandidat presiden untuk
menganggit novel biografis. Novel itu akan digunakan sang kandidat untuk
mengkatrol pamor politiknya, menghadapi ajang pemilihan presiden.
Tak
disangka, perjalanan Aliff dalam menyusun novel pesanan itu, justru membuatnya
terseret pusaran konflik politik, termasuk peristiwa memilukan era 1980-an yang
sampai sekarang belum diusut tuntas.
Ulasan
ini tidak akan membicarakan kepelikan konflik politik yang ada, sebab sudah
dibahas oleh penulis resensi The Secret
of Room 403 lainnya. Ada hal lain yang tidak kalah menarik dibicarakan,
yakni mengenai upaya pengarang menjadikan tokoh Aliff sebagai corong untuk
mengkritik dunia persinetronan Tanah Air.
Kita
telah sama-sama mafhum, sinetron-sinetron yang memenuhi layar televisi Indonesia
sungguh memprihatinkan sekaligus menjengkelkan. Topik-topiknya tidak pernah
beranjak jauh dari soal si miskin namun jelita yang dicintai laki-laki tampan
lagi kaya, anak yang hilang, rebutan pacar, dan seterusnya. Para pemerannya pun
berpatron serupa: tokoh protagonis yang memiliki hati seluas lapangan golf
serta si antagonis berstereotip materialistis, culas, dan kalau marah, matanya
melotot-melotot.
Melalui
Aliff, pengarang mengkritik perihal kerja penulis skenario sinetron kejar
tayang yang melebihi mekanisme mesin pabrik, “... Pasti dari Davesh. Bos
besarku di rumah produksi Shangrilla. Pria ekspatriat penggila kerja yang sudah
mencoret hampir semua hari libur dalam kalendernya. Celakanya, dia juga
‘mengondisikan’ semua anak buahnya untuk memiliki almanak yang sama.” (h. 14)
“Orang-orang
yang berada dalam atmosfer kehidupanku adalah mereka yang kadar gilanya tak
jauh berbeda. Para workaholic sejati.
Mereka menetaskan puluhan ribu kata perhari dari cangkang otaknya, menempeli
belasan post-it di sisi meja dan
halaman buku serta memenuhi kalender mejanya dengan lingkaran-lingkaran merah
penanda deadline.” (h. 17)
Dengan
cara kerja demikian, yang dikejar adalah kuantitas, bukan kualitas. Yang
terpikir adalah bagaimana cara merentangpanjangkan cerita sinetron berating
tinggi agar tetap bisa menjaring penonton sebanyak-banyaknya? Masa bodoh soal
logika cerita!
“Davesh
tidak pernah ambil pusing dengan mutu dialog. Satu-satunya yang dia ambil berat
adalah berapa puluh lembar skenario yang bisa kuselesaikan dalam sehari.” (h.
19).
“Aku
tak punya banyak waktu untuk memikirkan tulisan-tulisan cerdas, apalagi yang
mampu membangkitkan efek menggugah, menyentuh, ataupun memotivasi ... Program
di otakku telah mengalami pergantian perintah. Perintah untuk menghasilkan
tulisan sebanyak mungkin.” (h. 173)
Membaca
novel ini menebalkan keyakinan betapa banyak mudarat yang ditimbulkan tayangan
sinetron picisan. Rutin menonton tayangan tak bermutu tersebut, potensial
menumpulkan logika, menanamkan pola hidup hedonis, mempengaruhi tindak
kekerasan verbal dan fisik, juga memandang biasa perbuatan-perbuatan negatif
yang disuguhkan layar kaca.
Di
sisi lain, novel ini memberi tahu pembaca akan gangguan kesehatan yang kerap dialami
para penulis skenario sinetron akibat jam kerja sedemikian. Bahkan tidak
sedikit dari copywriter yang menemui
ajal, karena kelelahan saat berkutat dengan skenario.
Biodata
Penulis
Thomas Utomo adalah guru di SDN 1
Karangbanjar, Purbalingga.
Selain menggeluti profesi guru, juga
menekuni kegiatan tulis-menulis. Karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi,
dipublikasikan di sejumlah media lokal dan nasional antara lain Annida, Buletin Jejak, Derap Perwira,
Fatawa, Halo Nanda, Koran Jakarta, Kreasi, Nikah, Potret, Radar Banyumas, Sang
Guru, Satelit Post, Serambi Ummah, Story, dan Suara Muhammadiyah.
Buku-bukunya yang telah terbit
adalah Petualangan ke Tiga Negara
(Indiva Media Kreasi, 2018), Cerita dari
Asrama Tentara (Bitread, 2017), Lepas
Rasa (Loka Media, 2017), Aku Bukan
Gay (Loka Media, 2016), Misteri Nenek
Pemuntah Darah (Pro U Media, 2016), Catatan
dari Balik Jendela Sekolah (Elex Media Komputindo, 2015), dan Hikayat Tanah Beraroma Rempah (Pustaka
Puitika, 2015).
Untuk antologi bersama, karyanya hadir
di Kembang Glepang (Dinas Pemuda,
Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas, 2018), Bunga Rampai Pemenang Lomba Karya Tulis Fiksi Peringatan Hari
Pendidikan Nasional (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas,
2017), dan Creative Writing (Sekolah
Kepenulisan STAIN Press, 2013).
Novelnya Petualangan ke Tiga Negara masuk nominasi Buku Islam Terbaik,
Kategori Fiksi Anak pada ajang Islamic
Book Award 2019 yang dihelat Ikatan Penerbit Indonesia. Cerpennya Lelaki Kata-Kata meraih Juara I Lomba
Cerpen Islamic Fair 2018 Tingkat
Barlingmascakeb. Sedang cerpennya berjudul Sesungging
Senyum Maria menjadi Juara I Lomba Karya Tulis Fiksi Peringatan Hari
Pendidikan Nasional 2017 Tingkat Kabupaten Banyumas.
Dapat dihubungi lewat nomor
085802460851 atau surel utomothomas@gmail.com. Dapat pula ditemui di tempat
tinggalnya, Jalan Letnan Kusni nomor 10 RT 2 RW 6, Bancar Badhog Centre, Kelurahan Bancar, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten
Purbalingga kode pos 53316.
Ulas Buku: Senarai Kritik untuk Sinetron Indonesia
Reviewed by takanta
on
Juni 19, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar