Ulas Buku: Dahulu Mereka dan Puisi
Catatan Kecil, Tentang Kisah Puisi yang Panjang
Judul Buku:
Dahulu Mereka dan Puisi
Penulis:
Bandung Mawardi
Penerbit:
Babon
Tahun
Terbit: 2020
Tebal; 270
Halaman
ISBN:
978-623-7258-71-1
Wiji Thukul ternyata pernah menulis puisi liris. Siapa yang kenal
nama Mira Sato? Barangkali kita hanya mengenal Sjuman Djaya sebagai penulis
buku Chairil Anwar? Dan masih banyak hal lain berkaitan dengan puisi, yang bisa
pembaca dapatkan melalui buku ini.
Bandung Mawardi bisa dikatakan sebagai kutu puisi, manusia yang
rajin merapikan puisi di majalah agar tidak berakhir menjadi bungkus makanan.
Ia menyelami begitu dalam dunia perpuisian Indonesia. Menyelinap dengan kliping
yang ia lakukan begitu teliti. Tak lupa dibubuhkan angka tahun, bahkan ia masih
ingat waktu membeli atau mencari majalah yang berisi puisi.
Buku berjudul “Dahulu: Mereka dan Puisi”, kumpulan tulisan Bandung
Mawardi yang gemuk dan bergizi. Pembaca akan menyerap pengetahuan tentang dunia
puisi dari buku tersebut. Pembaca muda yang belum sempat merasakan aroma magis
majalah Horison, Nova, dan majalah sastra lain pada kurung waktu tahun 90-an
akan merasa haus untuk menelusuri puisi puisi kala itu. Bandung Mawardi
mengajak pembaca untuk nostalgia pada nama nama besar pengisi khazanah
kesusastraan Indonesia dari sudut pandang yang tidak banyak diketahui orang.
Terlihat dari pemilihan kata pada judul , ‘mereka dan puisi’. Buku
ini memang banyak membicarakan perihal puisi. Dan ‘mereka’, bermaksud sebagai
mereka yang pernah mengisi dunia perpuisian, namun belum memiliki nama
mentereng layaknya Sapardi, Joko Pinurbo, Ws Rendra, atau Goenawan Mohammad.
Kendati demikian, Bandung juga berbicara perihal nama nama tersebut. Namun
bukan dari sudut pandang layaknya penulis biografi.
Mereka yang dikenal banyak orang dengan karakter puisi penuh
kritik, namun ternyata pernah menulis puisi laris. Dalam esai berjudul ‘Mabuk
dan Amin’, ia menghadirkan Wiji Thukul. Pada masa 1980-an , puisi Wiji Thukul
belum bergerak di jalan Politik. Puisi itu berjudul ‘mabuk’, hadir menjadi
bacaan enak untuk wanita dan keluarga.
Wiji Thukul kala itu, baru sadar menulis puisi untuk dikirimkan ke
majalah bukan bercap sastra, politik, lelaki, dan hiburan. Bandung Mawardi
menutup esai dengan sedikit kekaguman pada Widji Thukul “Kita memuji
ketulusan Wiji Thukul menggubah puisi dengan pengandaian pembaca berjenis
kelamin perempuan ketimbang lelaki”. Beberapa bait puisi yang mas Bandung
kutip beserta sedikit cerita tentang Wiji, menyiratkan satu hal bahwa dibalik
puisi perlawanan Wiji, ia juga pernah menulis puisi liris.
Dibanding melakukan kritik, yang terkesan sok tahu soal puisi.
Bandung Mawardi lebih memilih jalan Apresiasi. Pada puisi Hartono Andangdjaja
ia memuji kedalaman makna puisi berjudul “Dara jang Kelu”. Puisi bukan hasil
‘pemotretan’ berurusan teknik. Aku sulit sampai ke puisi setara "Dara Jang
Kelu”.
Asiknya, kalimat kritik justru ia utarakan pada puisi gubahan
Sapardi Djoko Damono. Sapardi Djoko Damono merenung: malam bersandar dua
belah mata/melihat segenap tenaga/pada diri pribadi (hal 41).
Bandung merasa bait itu jelek dan mengenaskan dari si penulis diusahakan guna
mendapat tempat di perpuisian Indonesia masa 1960-a. Di akhir esai yang
berjudul ‘puisi terlanjur’, Bandung mengingat peristiwa memalukan yang terjadi
pada dirinya saat esai yang dikirim ke majalah Tempo mendapat
pemberitahuan untuk dibenahi.
Membaca kumpulan esai Bandung ini, berbeda dengan kumpulan esai
Eka Kurniawan berjudul Senyap Lebih Nyaring. Meski sama sama bergizi, nyatanya
Bandung Mawardi lebih memilih puisi lama yang hanya sempat mampang di media,
tanpa pernah dibukukan secara serius. Jika Eka kaya akan bacaan novel luar
negeri, Bandung Mawardi tidak memiliki tandingan untuk urusan mengkliping puisi
yang tidak banyak diketahui orang.
Barangkali buku ini menjadi semacam museum bagi puisi-puisi yang
belum sempat berumah. Petikan, kutipan, rekam jejak puisi yang hanya terbit di
majalah, telah bandung abadikan dalam buku ini.
Betapa mendalam pengetahuan Bandung Mawardi soal puisi, terbukti
di esainya yang berjudul ‘Mira dan Kabut’. Nama Mira mungkin asing bagi kita,
sebab saat ini ia telah berganti nama lain yang terlampau tenar. Kita mungkin
telah mengenal Seno Gumira Adjidarma sebagai penulis prosa handal. Namun belum
pernah mendengar nama Mira Sato. Mira berasal dari Gumira (147). Lengkap
dengan bulan dan tahun, nama Mira Sato pernah ada di Majalah Horison edisi
september 1976 dengan gubahan puisi berjumlah 4.
Pada kata pengantar ia telah menyatakan membuat ulasan ini agar
semua tidak punah tapa memiliki kuburan ditaburi bunga. Di Indonesia puisi
memang memiliki umat fanatik, yang sering tergilas seirama zaman. Dulu ada
majalah bernama Horizon , yang kini hanya bisa dinikmati ceritanya saja. Puisi
telah banyak bertransformasi jadi kutipan pendek di media sosial. Keseriusan
seseorang menjadi penyair, mulai sulit ditemukan akibat tumpah ruahnya penulis
dadakan.
Buku ini menjadi rumah dari ingatan puisi puisi lama. Meski puisi
hanya dikutip beberapa bait saja. Setidaknya rekam jejak puitis itu tidak
berakhir menjadi bungkus makanan. Bagi para penikmat puisi, buku ini hanya
catatan kecil untuk sejarah perpuisian Indonesia yang panjang.
Biodata Penulis
Muhammad Afnani Alifian, Penggerak Taman Baca Gerilya
Literasi yang terpaksa tutup akibat pandemic.
Nomor Telp/WA: 082338868178
Facebook: Dani Alifian
Instagram: @dani_alifian
Twitter: @dani_alifian
Alamat saat ini:Jl Mertojoyo Selatan, Blok C No.18 A,
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang
Ulas Buku: Dahulu Mereka dan Puisi
Reviewed by Redaksi
on
Juni 26, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar