Cerpen: Kirana dan Ibunya
Ember berwarna
merah muda itu sampai pecah menjadi dua karena dipakai memukul anaknya. Anaknya
sudah tidak kuat bahkan untuk sekadar menangis. Anak itu terduduk di samping
mesin cuci, bersandar pada tembok. Tadi, ketika baru saja dipukuli, ia masih
bisa berteriak dan menangis, “Tolong Kirana, Ya Allah. Ya Allah, tolong Kirana.
Kirana minta tolong, Ya Allah.”
Sekarang ia
ditinggalkan begitu saja. Sementara ibunya yang sedikit kelelahan, pergi ke
kamar untuk tidur siang.
Kirana tahu
kesalahannya. Ia tidak mendapat rangking di sekolah. Hanya tanda strip di
rapornya, dan itu membuat ibunya sungguh geram. Ketika ibunya masuk ke ruang
tamu setelah pulang dari sekolah, dalam tempo cepat, langsung ia berlari ke ruang
tengah tempat Kirana menonton tivi; menampar, lalu menjambak dan menyeretnya,
dari ruang tengah ke arah belakang rumah, melewati halaman belakang yang sudah
di-paving, lalu naik ke undakan
tempat mencuci pakaian. Ibunya yang terbiasa berhemat untuk urusan listrik dan
air, sengaja membiarkan tivi di ruang tengah menyala, di dalamnya sedang ada
adegan Maruko membeli bahan-bahan makanan ke pasar, dengan daftar belanjaan dari
ibunya. Tivi dibiarkan menyala, agar tangisan anaknya bisa disamarkan, sehingga
tidak didengar para tetangga, yang berpotensi menimbulkan pertanyaan dan gosip,
serta kritikan tentang bagaimana menjadi ibu ideal.
Bukan pada Kirana
saja ibunya berlaku begitu kejam, tetapi juga pada adik bungsunya. Namun kali
ini hanya nilai rapor Kirana yang buruk, sedangkan nilai adik bungsunya lumayan
baik, masuk sepuluh besar di kelasnya. Tahun lalu, ketika nilai rapor adik
bungsunya buruk, adiknya itu yang kena siksa. Kabel panjang televisi dijadikan
alat untuk memecut adiknya itu. Kirana yang menyaksikannya tidak tinggal diam,
dipeluknya adiknya dari samping, dan ditaruhnya kakinya sejajar dengan kaki
adiknya, agar adiknya bisa berbagi rasa sakit akibat pecutan dari ibunya. Tidak
hanya sampai di situ, kedua paha adiknya yang masih menangis itu diinjak lalu ibunya
berdiri di atas kedua paha itu.
“Bu, tolong ampuni
adik, Bu. Tolong, Bu,” kata Kirana memohon pada ibunya.
Mereka tiga bersaudara,
tetapi hanya Kirana dan adik bungsunya yang paling sering mendapat siksaan setiap
menerima rapor. Adiknya yang lain sebenarnya juga kerap menerima siksaan, tapi
tidak pernah karena rapor, sebab ia selalu mendapat rangking satu di kelasnya,
bahkan sering mendapat juara umum di sekolahnya. Hal itulah yang lantas membuat
ibunya begitu bangga, dan karena itu bisa memamerkan anaknya yang nomor dua
tersebut ke tetangga, teman-teman arisan, keluarga dekat maupun jauh, langganan
belanja di pasar, maupun langganan di toko miliknya. Intinya, pada semua orang,
kenal atau tidak kenal, yang dijumpainya setiap hari sampai enam bulan ke depan,
sampai penerimaan rapor berikutnya.
Ibunya sebenarnya
tidak hanya membanggakan anaknya yang kedua itu, tetapi juga turut membanggakan
keponakannya yang kuliah di luar negeri kepada tetangganya, membanggakan anak
tetangganya yang sekolah dokter kepada tempat langganan belanjanya di pasar,
membanggakan anak mantan karyawannya yang mendapat beasiswa S2 pada orang-orang
yang berbelanja di tokonya, membanggakan anak seorang sahabatnya yang diterima
akademi militer pada tetangganya, dan membanggakan anak siapa pun pada siapa pun
seolah ia selalu punya hubungan dengan orang-orang cerdas. Sehingga ketika ada
anaknya yang dianggap bodoh di sekolah, ia sungguh malu dan berang, sebab ia
merasa sudah capek-capek kerja tetapi menganggap anak-anaknya malah tidak
serius belajar.
Hari-hari ketika
ibunya marah karena hal lain adalah hari-hari ketika mereka bermain Barbie di
siang hari saat ibunya tidur. Ibunya berada di rumah karena ayah mereka yang
menjaga toko, dan memang ibunya selalu menyempatkan diri untuk tidur siang.
Pernah suatu saat, Barbie yang dimainkan Kirana beradegan sedang berkenalan
dengan Barbie yang dimainkan adiknya yang pintar di sekolah, sementara Barbie
dari adik bungsunya sedang asyik mandi.
“Halo, namaku Luna,”
kata Kirana.
“Halo, namaku
Sasi,” kata adiknya. Kedua Barbie itu pun mengulurkan tangan, dan tepat ketika
itu dress kedua Barbie itu jatuh,
mereka pun berteriak bersama, tertawa bersama. Dress kedua Barbie itu dibuat oleh Kirana, ia hanya mampu membuat dress tanpa bahu dan lengan, seperti
kemben. Dan ternyata dress itu
longgar, sehingga tangan Barbie yang semula bisa menahannya tidak berfungsi
dengan baik dan membuat dress itu
jatuh ketika Barbie mengangkat tangan. Si ibu mendengar suara tawa, dan langsung
keluar dari dalam kamar. Ketiga kakak beradik itu pun sontak kaget oleh suara
pintu yang dibuka tiba-tiba, dan lebih kaget lagi ketika melihat ibunya dengan mata
merah karena belum puas tidur, membawa ikat pinggang kulit berwarna hitam milik
ayah mereka lalu memecut ketiga anak itu membabi buta.
Adik-adik Kirana
menangis, tetapi Kirana kini tersenyum dingin. Ia masih membayangkan Barbie
yang tiba-tiba telanjang bersama itu, dan dengan segera menerima rasa sakit sebagai
hal yang biasa, sudah diduga dan lalu akhirnya ia terima, karena memang sudah
sering berulang dengan pola yang sama.
Ternyata, ibunya
yang memang merasa sering terganggu dengan permainan Barbie tersebut tidak berhenti sampai di sana. Ia mengambil
semua peralatan bermain mereka, termasuk Barbie-Barbie, dan membawanya ke
halaman belakang. Lalu ia mengambil pisau paling besar dan paling tajam yang ia
punya. Satu persatu boneka itu dipotong-potongnya, “Kirana dan kalian semua,
sekali lagi kalian ribut seperti tadi, kalian akan saya potong-potong seperti
ini!” Setelah merasa puas memotong-motong boneka, ia pun mengambil minyak tanah
yang biasanya ia pakai untuk membunuh semut, lalu dituang seperlunya, lantas membakar
potongan Barbie dan peralatan bermain lainnya. Lalu ia berkata, “Ini kan yang
kalian mau! Kerjanya bikin susah saja! Tidak pernah dapat rangking di sekolah,
kerjanya hanya bermain saja! Tidak membanggakan!”
Boneka-boneka yang
dibeli oleh ayah mereka itu pun lenyap sudah.
Pernah di musim
hujan, ketika begitu banyak nyamuk, adik bungsunya menangis sepanjang malam
karena demam. Ibunya menjadi uring-uringan dan marah. Ibunya sangat sensitif
pada nyamuk, pada suara apa pun yang mengganggu tidur, sehingga ia pun membakar
lima obat nyamuk sekaligus dan menaruhnya di pojok-pojok ruangan. Adik
bungsunya itu sudah disuruh ibunya untuk diam dan tidur, tetapi tangisnya tidak
juga reda dan ia tidak ingin tidur. Lalu karena begitu marah sebab mengantuk tetapi
tidak bisa tidur, si ibu pun mengambil salah satu obat nyamuk yang menyala itu dan
menyundut paha-paha ketiga anaknya bergantian sambil memarahi mereka semua.
Akhirnya, karena kelelahan disiksa, anaknya yang terakhir itu pun bisa
tertidur.
Ibunya selalu
menutupi apa yang dilakukan pada anak-anaknya di depan suaminya. Bila semalam ia
menyundut paha anak-anaknya, di pagi hari ia akan memakaikan celana panjang pada
ketiganya. Jaga-jaga suaminya akan pulang dari toko mereka yang jaraknya memang
jauh dari rumah. Bila ia melakukan hal lain yang tidak berbekas pada tubuh
anak-anaknya, kecuali wajah-wajah yang nampak kusut, ia akan memasak lauk yang
enak-enak; hati sapi bakar atau sate kambing, lalu menyuapi mereka bertiga
sampai kekenyangan. Kirana sebenarnya tidak suka daging, apa lagi saat itu
banyak giginya yang goyang sebab akan tumbuh gigi baru, gigi susu yang akan
digantikan gigi tetap. Jadi ketika makan daging yang keras, giginya yang goyang
akan bertambah sakit.
Ketika Kirana
sudah SMP, kekerasan tidak lenyap dari kehidupannya, tetapi berubah bentuk.
Pernah ketika ia pulang terlambat dari sekolah, karena ada pengumuman tentang
ekstra kurikuler hidroponik yang diikutinya, ia langsung disambut dengan makian,
“Mau jadi apa kamu pulang sore sekali! Kamu mau jadi pelacur?!”
“Tadi saya ada pengumuman
dari guru, Bu. Tentang kegiatan menanam di sekolah.”
“Oh, kamu mau macam-macam sama gurumu!” kata ibunya
dengan wajah merah.
“Lihat sana apa yang saya temukan dari dalam kamarmu,” bentaknya
lagi sambil menunjuk kran di depan rumah. Kebetulan, saat itu pamannya, adik
ibunya, datang dari kampung. Di kran itu, ia lihat celana dalam-celana dalam
dengan bekas menstruasi dihambur-hamburkan oleh ibunya. “Kan kamu sudah saya
bilang, kalau pakaianmu ada yang kotor langsung dicuci. Ingat kamu! Kebersihan itu
sebagian dari iman!”
Pamannya yang
menyaksikan itu semua hanya tertunduk, lalu berpaling ke arah lain. Dengan
wajah dingin Kirana pun mulai mencuci, “Lama sekali saya setinggi, sebesar, dan
sekuat dia,” katanya dalam hati.
***
Puluhan tahun berlalu
sejak tahun-tahun yang kejam bagi Kirana dan adik-adiknya. Kirana kini tetap
tinggal di rumah, sementara adik-adiknya telah berumah tangga dan hidup dengan
suaminya masing-masing di kota yang berbeda. Sesekali mereka mengabari Kirana, sebaliknya ibunya setiap hari menelepon
mereka. Tidak ada hari tanpa menelepon anak-anaknya. Setiap selesai menelepon,
ibunya selalu bercerita pada Kirana tentang isi pembicaraan mereka.
“Memang tidak
sia-sia saya didik mereka dengan cara militer, mereka tidak ada yang
mengecewakan saya. Yang satu bersuami dokter, yang satu bersuami PNS,” kata
ibunya, mengulang informasi-informasi usang seakan Kirana adalah orang asing
yang perlu mengetahuinya. Lalu ia
beralih memandang ke arah Kirana, “Kamu juga, kamu harus menikah. Tidak
boleh tidak. Nanti kalau suamimu macam-macam langsung tendang saja, usir dari
rumah!”
“Ibu saja yang
menikah, sepertinya Ibu lebih butuh suami.”
“Ah, saya tidak
mau menghabiskan sisa umur saya mengurusi laki-laki, apalagi kalau dia begitu
tua, pekerjaan itu jadi berlipat-lipat memuakkannya.”
“Sama. Saya juga
berpikir begitu.”
“Tidak, tidak
boleh, Kamu tidak boleh trauma pada ayahmu yang selingkuh dan meninggalkan kita
itu. Pokoknya kamu harus menikah!”
“Oke, saya pergi
ke toko dulu. Hari ini kan tanggal satu. Saya harus memberi gaji.”
Kirana pergi dari
rumah lebih pagi, dengan alasan akan menghitung gaji karyawan. Tetapi
sebenarnya ia hanya malas mendengar “prestasi-prestasi” ibunya yang memuakkan.
Seolah-olah ibunya itu yang dokter, PNS, istri dokter, atau istri PNS. Padahal
ia sungguh tahu bahwa kedua adiknya melayani telepon ibunya karena kasihan dan
maklum dengan ibunya yang kesepian dan tak bersuami, yang menganggap bersuami
adalah prestasi, apalagi bila bersuami sampai mati alias tidak bercerai.
Selain karena
tidak menemukan seseorang yang dicintainya dan membalas cintanya, memang sulit
sekali ada yang seperti itu, ia juga
takut nanti suaminya akan terganggu dengan perlakuan dan omongan ibunya. Karena
memang ia sudah berniat akan tinggal di rumah yang ia tinggali sejak kecil dan
melanjutkan usaha toko ibunya yang didapat dari pembagian harta bersama ketika
mereka bercerai. Ia juga takut menjadi tidak fokus karena mengurusi hubungan
antara suaminya dan ibunya. Pasti ibunya akan membandingkan suaminya dengan
suami adik-adiknya, suami tetangganya, suami sepupu-sepupunya, dan lalu
akhirnya menemukan persamaan-persamaan keburukan suaminya dengan ayahnya, bekas
suami ibunya.
Sebenarnya ia ingin
sekali berkata, “Iya ibu, saya trauma. Oleh laki-laki, oleh suami bernama istri. Oleh ibu.”
Ah, tetapi bahkan
ia mengurungkan niat mengatakan hal tersebut. Baginya, lebih mudah memafkan dan
menganggap ibunya sebagai anak kecil abadi. Seseorang yang karena sewaktu kecil
dan remaja tidak mendapatkan apa-apa yang ia mau, akhirnya berlaku kejam pada
orang-orang yang mendapatkan hal tersebut. Ia menganggap anak-anaknya tidak
akan tersakiti, karena anak-anaknya lebih kuat dari dirinya, karena
anak-anaknya mendapatkan apa-apa yang tidak pernah ia dapatkan.
Ibunya sering
bercerita betapa ia ingin sekali kuliah seperti anak-anaknya atau saudaranya
yang lelaki. Atau bagaimana ia diusir dari rumah bibinya karena tidak pernah
lagi membawa beras dari kampung untuk diberikan pada tuan rumah ketika ia
bersekolah di kota. Atau bagaimana ia sengaja menaruh tulang ayam di depan
pintu kos agar ketika temannya datang ia dikira selalu makan ayam setiap hari.
Atau bagaimana ia bekerja sebagai pelayan restoran dan lalu ketika diantar
bosnya selalu minta turun di tempat tetangga-tetangganya sedang berkumpul. Memang
sejak muda ibunya yang miskin selalu ingin menjadi orang kaya, berpendidikan,
berprestasi, dan terpandang, bagian dari masyarakat yang beradab. (*)
Gili
Trawangan-Gunung Sari-Gang Metro, 20-28 Maret 2020
Bulan
Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah
memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di Detik, Cendananews, dan Baca Petra.
Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen: Kirana dan Ibunya
Reviewed by takanta
on
Juli 05, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar