Puisi: Payung Hitam 13 Tahun
Penghabisan kali itu, kau datang,
membawakan lilin putih, berpakaian hitam
dua belas, dua belas, tiga belaskah berdentang?
kala dunia berpesta; moga hujan Jakarta tentram.
Dua kosong kosong tujuh,
tiga belas tahun; seorang Ibu mengusap peluh,
seorang yatim mencari Ayah,
seorang janda bertanya di
manakah mirah?
Oh, Jakarta yang gelisah,
satu sembilan sembilan delapan,
di manakah kau sembunyikan jejak jenazah?
apakah cukup panjang, kau punya kain kafan?
Oh, senyum yang kuharap tak berubah,
semoga kelak kau tak diamankan,
semoga tertelan buburmu yang basah,
semoga tertelan, airmu yang sopan.
Sebab,
hari ini atau lusa, mungkin selamanya
Biaya
Pendidikan: Jaminan (Tidak) Kembali
Kala malam kuberjaga, berkeliling, dan bertanya;
kenapa siswa dan orang tua mendadak gila?
aku pikir Bapak-Ibu menjabat bersikap gagah,
nyatanya membuat mahasiswa kian marah.
Jutaan mamak turun ke jalan mencari “Bapak”,
katanya jarak bikin sekolah susah,
jutaan “Bapak” berkata “alamak!”
ketika mencoba petak umpet soal sekolah tinggi-rendah.
Bulan milik kita semua berkata;
“apakah Bapak-Ibu itu main gila?”
aku terperangah, lalu kumarah;
“bukan main gilanya! sudahi gundah.”
Kukira apa, para mahasiswa menyinyir,
ternyata, pembuat kebijakan hanya bisa nyengir,
mereka hanya bertanya hak, tak perlulah kau usir,
mereka hanya bertanya hak, hai orang tua yang kikir!
Tiba di perempatan, kulirik iklan di videotron;
“biaya pendidikan, bila masalah lanjut, jaminan
(tidak) kembali,”
Wah, kelewat mampus aku
Baju
Ketat Idaman Mertua
Bapak-Ibu, ada kabar apa hari ini?
anakmu patah hati, lebam tangan, dan juga kaki,
sudah pujaan hati direbut, peluang menafkahi diangkut,
kupikir pajak kita tunaikan supaya kita bisa aman
menyebut.
Bapak-Ibu, kenapa di Negara kita seperti ini?
teman sebaya yang berbaju ketat, malah pamer
sana-sini,
kala kudorong gerobak ke Senayan,
kulirik teman sebaya menjelma pelayan setan.
Bapak-Ibu, hari ini kubeli ponsel pintar,
teman sebaya muncul dengan gagah, dengan baju
ketatnya,
mengirim pesan “bolehkah malam ini aku mampir?”
kutolak, disanggah “aku ini idaman mertua.”
Parade Pecandu Massal
Aku sungguh tidak
paham, mengapa aku mulai menulis ini,
di ujung suatu
malam, di ruangan gelap bercat putih dan sepi,
kala semua cahaya
temaram, langit-langit dan jam menertawai,
kubakar sebatang
rokok gudang garam, disertai tawa menyayat hati.
Ketika borjuis kecil
terlelap, aku melawan kantuk sesekali menguap,
terkadang lapar dan
kalap, tak terpikir kalau tetiba nyawaku lenyap,
aksara semu bertinta
gelap, suara bergema dalam ruang senyap,
kudengar cicak ogah
merayap, melihatku yang duduk meratap.
Apa yang mereka
ketahui kesedihan?
tetapi kesedihanku
yang tak dapat terpahamkan,
apa yang mereka
ketahui perihal kerinduan?
tetapi rinduku yang
tak dapat diprosakan.
Apa yang mereka
ketahui tentang kelaparan?
tetapi laparku yang
haus melebihi badan,
apa yang mereka
ketahui tentang dosa dan penebusan?
tetapi dosaku yang
membuatku hina di mata Tuhan.
Ketika semua Dewa di kepala manusia
menyeru,
meminta pada manusia
untuk setara dan satu,
apakah Adam dan Eve
mengajarkan untuk saling membisu?
pada sesiapapun anak
cucu yang bicara asih tetapi palsu
Di Pesanggrahan
Di Pesanggrahan,
satu tabula rasa
terlalu dini
mengenal duka
di jejalan ramai
kota
dibenamkannya suka
di remang cahaya
berimajinasi
dengan bahana
berjalan modal nyali
di antara fakta dan
doxa
segera setelah tak
suci
tenggelam semua zina
kini ia sadar
bahwa semua orang
adalah hina.
Penulis:
Muhammad Husni kelahiran Gresik, 16 September 2000. sedang
mempelajari Ilmu Sejarah di salah satu Kampus di Depok ini memiliki hobi
membaca dan menonton. Anggota Kolektif Literasi Makara UI (Kolim UI). Dapat dihubungi
melalui email di muhammad.husni81@ui.ac.id/husni.ar.id@gmail.com, @husniipedia
(Instagram) dan 0882-1311-9724 (No.HP)
Puisi: Payung Hitam 13 Tahun
Reviewed by takanta
on
Juli 26, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar