Puisi: Sapardi, Selamat Jalan Menuju Keabadian
Melepas
Sapardi
di sepenggal sisa
kenangan
ada mantra yang tak
cukup diuntaikan
ada ritual basah di
retina yang berkerah
kemarau tak cukup
panas mengeringkan doa
Sapardi yang bijak,
berbaringlah di ranah jiwa
biar kurapal
doa-doa, mengantarmu menuju surga
di sepanjang bidak
waktu
sudah tersesap
lumpur pada sumbu lidahmu
menyekal derita
sakal
lalu luruh dalam
pengantar baitmu
aku damai
melantunkan puisi
pada selembar koran
tua pembungkus nasi
karyamu serupa
badik-badik yang menghantam kemiskinanku
Sapardi, barangkali
kau berkenan jika kususupkan doa
tepat setelah
tanahmu basah lagi
oleh hujan bulan Juni
atau barangkali akan
terus kemarau sampai Tuhan mengembalikan perahu kertasmu
yang pernah singgah
di bandar-bandar besar itu
bagaimanapun musim
bertamu
doaku subur
menyentuhmu.
Doa
Untuk Sapardi
Jika aku boleh
berdoa dan kau perkenankan
akan kuminta pada
Yang Esa:
_Tuhan, barangkali
Engkau bersedia jika jasadnya dilangitkan dan bersemayam dalam bait yang
ditulis sempurna setampak bagaskara di ujung kelopak mata dan jiwanya bangkit
menemani pembaca yang setia merapal serupa mantra,_ Kemudian aku mintakan,
_semoga engkau nyaman di keabadian-Nya._
Jika aku boleh
berdoa dan kauperkenankan
akan kumintakan pada
Yang Kuasa:
_Tuhan, barangkali
Engkau mau menghidupkannya lagi, jika tidak, ia boleh mati tapi jangan pada
baitnya yang dipuisikan penuh arti. Biarkan ia hidup dan kekal abadi._
Jika aku boleh
berdoa dan kauperkenankan
akan kumintakan pada
Yang Perkasa:
_Tuhan, jelmakan ia
serupa bidara yang kutemui malam hari tadi, sebagai pengokoh atma yang juga
nyaris mati._
Jika aku boleh
berdoa dan kauperkenankan
akan kumintakan pada
Yang Karsa:
_Tuhan, aku titipkan
ia di surgamu yang aman. Di bumi, biarkan tetap terkenang sebagai orang yang
rahman._
Pengakuan
Hujan Bulan Juni
ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
ditulisnya sesuatu
yang abadi
dalam buku baka itu
tepat saat hujan
bulan Juni mengakui kebanaran
bahwa butirnya yang
jatuh dan luruh
menyapa daun pohon
berbunga
menetes basah dan
runtuh bijaknya
yang tetap bijak
bukan hujan di bulan juni
tapi dirimu sendiri,
pak
selamat jalan menuju
keabadian~
aku
menemukan sesuatu
di tanganmu aku
mencium semerbak bau kenang, yang menyesap lewat mata, tumbuh di relung jiwa
dan membelukar di dada.
di matamu aku
menemukan sebaris aksara, yang bersemayam pada tungku atma paripurna, menolak
fana, melengkapkan serpihan sejarah.
di kuburmu, aku
menatap nanar sebakti duka, melepas panorama subur lagi rindang. Pada tanah
basah yang memeluk jasadmu, amanlah dalam tidur yang tenang, pak.
Cerita
Tentang Sapardi
"bu, bisakah
ibu ceritakan tantang pahlawan ibu?"
"baiklah nak,
akan ibu ceritakan tentangnya."
lalu ibu bercerita,
tentang seseorang dengan nama yang mekar
seperti bunga
kamboja di halaman yang membakar
bagaimana ia
menerjang masa tua demi sebuah kata
menyuburkan ladang
kosong aksara
ia tulis yang
baginya berharga pun kala manusia lain menghardik sampah
di masa senja ia
tetap cerah
sebinar purnama di
ujung nabastala
tubuh tua dan renta,
keriput dan kerut, merintih dan ronta, malang dan melintang. seharipun tak
kenal payah, hari-harinya subur puisi
bahkan saat kemarau
musim merajai
ibu bercerita, ia
bapak bagi seluruh anak puisi di tanah ibu pertiwi, membesarkan kata menjelma
deretan aksara.
pernah sehari di
bulan juni, ia membungkus air hujan dan dibawanya pulang, ia minumkan pada
anak-anak puisinya agar tidak kehausan. Saat sempurna dipuisikan, ia lepas
anak-anaknya untuk disapa orang-orang.
ada yang mencaci, ia
tak kecil hati
saat anaknya dikata
cantik, maka ia tak pernah berpuas diri.
anak-anaknya adalah
teman, bagi segala yang tidak dan bertuhan.
BIODATA PENULIS
Wilda Zakiah,
merupakan pecinta puisi dan penulis buku Naluri Semesta. Aktif di Komunitas Cakanca
Situbondo.
Puisi: Sapardi, Selamat Jalan Menuju Keabadian
Reviewed by Redaksi
on
Juli 22, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar