Cerpen: Aku Tahu Kau Masih Ingin Hidup Lebih Lama Lagi
Kau
terjaga dengan kepala pengar dan depresi menyuruh kau gantung diri di halaman
belakang rumah. Hujan turun sejak subuh. Udara dingin. Suasana muram semacam
ini, konon banyak berpengaruh terhadap kondisi emosi seseorang. Kau jadi
bertanya-tanya apakah penguin, beruang kutub dan hewan musim dingin lain punya
sifat sedih yang abadi? Sewaktu kecil kau ingin membeli kulkas dan memelihara
sekawanan penguin di dalamnya. Tetapi, masa kecil tinggallah masa kecil, yang
remuk dan mampus dihajar masa tua yang datang belakangan. Setelah ini, apakah
masa tua akan jauh lebih menyebalkan? Berapa umurmu? Ah, usia, hanya sederet
angka tak berguna berisi banyak omong kosong.
Apakah
kematian sama lebih omong kosongnya dengan hidup?
Akhir-akhir
ini kau juga sering bertanya-tanya, dari sekian pilihan yang ada, kenapa
manusia takut memilih untuk mati? Seseorang yang duduk-duduk di beranda pada
suatu sore yang cerah sambil menikmati kopi dan pelukan perempuan dan juga
kenyamanan, barangkali akan merasa ingin hidup lebih lama. Sementara di belahan
hidup yang lain, seseorang yang terpaksa bekerja setiap hari tanpa ada jaminan
ia akan makmur suatu hari kelak, kemungkinan besar berharap cemas punya
keberanian untuk segera meregang nyawa kapan pun ada kesempatan.
Tapi
kau ingin bunuh diri, dan kau mulai mengaitkan seutas tali pada dahan mangga
dan membuat simpul lingkaran di ujungnya seperti yang ada di film-film ketika
seorang narapidana akan dihukum mati. Kau naik ke kursi dan memasukkan kepalamu
ke dalam lubang tali yang seperti donat. Sebelum kau melompat dan tubuhmu
tergantung mirip pakaian lusuh, kaubayangkan ekspresi macam apa yang akan
dilihat orang yang nanti akan menemukanmu mampus. Mungkin kau akan mendelik dan
menggigit lidah dan berak akan berceceran keluar dari duburmu. Kaukira itu
bukan cara yang baik untuk mati. Orang-orang akan mengingat-ingat wajahmu yang
terakhir kali dan bau tahi ketimbang mengenang apa saja yang kaulakukan selama
ini.
Tapi
tentu saja masih ada banyak cara untuk mati, bukan? Ujarmu berkilah.
Kau
pun pergi ke dapur dan membongkar lemari tempat bahan-bahan masakan milik ibumu.
Di bagian paling bawah, kau menemukan racun tikus yang biasanya ia bubuhkan ke
dalam perangkap dari kawat. Kau mengambil beberapa dan menuangkannya ke dalam
teko, menambahkan air dan sirup supaya terasa manis. Kau tidak ingin mati
mendelik karena rasa pahit yang menyengat. Kau ingin tersenyum dengan
menyakinkan bahwa kau bahagia melalukannya. Tapi tentu saja racun itu akan
bereaksi di dalam perutmu. Semanis apa pun wajahmu, nanti akan rusak oleh busa
yang keluar. Kau ingat punya seorang teman yang kalau tidur, mulutnya keluar
busa dan meskipun dia kawanmu, itu tetaplah menjijikkan.
Kau
tidak ingin menenggak racun dan mengeluarkan busa dari mulut.
Tapi,
baiklah. Ini sulit sekali. Meskipun masih banyak pilihan yang ada, ini tetap
sulit.
Kau
belum memikirkan rasanya mati mengubur diri hidup-hidup, menyaksikan tanah
berguguran di atas tubuhmu lalu gelap dan perlahan-lahan kau merasa sesak dan
sesuatu yang lembut keluar lewat kentut. Atau bagaimana jika kau memotong urat nadi
dengan pisau cutter, darah akan keluar dan sebelum kau mati kejang-kejang,
melihat darah-darah itu kau akan pingsan duluan. Atau bagaimana jika kau pergi
ke tempat yang tinggi lalu melompat dari sana, sejenak kau akan merasakan
rasanya terbang seperti burung sebelum kepala atau bagian tubuhmu yang lain
menghajar permukaan yang keras kemudian hancur atau patah disertai bunyi
kreekkk sebelum orang-orang berkumpul dan menganggap tindakanmu bodoh dan
mengunggahnya di media sosial. Atau bagaimana sebaiknya kau bernyanyi
keras-keras sambil menarik gas motor kencang-kencang sampai di perempatan pasar
akan ada sebuah truk gandeng yang akan melindasmu kemudian tubuhmu yang hancur
itu akan seperti adonan bakso.
Kau
butuh suatu hal, suatu kesempatan, suatu cara yang rapi dan bersih dan
mengagumkan untuk dijadikan sebagai ‘hal terakhir yang kaulakukan di dalam
hidup’ tetapi susah sekali menemukannya. Selain itu kau juga belum punya
keberanian.
Maka
kau masuk ke dalam sebuah cerita yang tak selesai ditulis karena penulisnya
mati kesepian di dalam apartemennya dan kau melakukan sesuatu di sana kemudian
menitipkan pertanyaan ini kepada penulisnya:
Bagaimana
rasanya mati bunuh diri, apakah itu menyenangkan? (*)
Mathan, bukan mantan.
Tidak ada komentar