Cerpen: Panarukan, Sepotong Kenangan
"Tunggu sampai malam melumat senja,
dan kau boleh tidak mengingatku lagi."
***
Jika kau melewati jalan raya pos tepat
di kilometer 1000, kau akan menemukan sebuah pelabuhan bernama panarukan. Seperti
kenangan yang tak lagi diperbincangkan, begitupun dengan pelabuhan panarukan,
ia hanya sebuah pelabuhan paling kesepian di antara ramainya suara ombak.
Kata orang, di pelabuahan panarukan
dulunya merupakan pelabuhan tersibuk. Sebagaimana pelabuhan tentunya sudah
pasti kesibukan tentang bongkar muat barang terjadi sepanjang waktu; pagi,
siang, sore, malam, dan terus begitu seiring jarum jam bergerak dari detik ke
detik menggulung hari yang telah berlalu.
"Singgahlah di pelabuhan panarukan pada
saat senja. Dan jika beruntung, kau akan melihat seorang laki-laki yang duduk tepat di ujung pelabuhan hanya untuk merekonstruksi
kenangan."
Begitulah yang tertulis dalam info travel
tentang tempat-tempat di mana selebrasi perpisahan sering terjadi. Pelabuhan panarukan memang cocok bagi mereka yang
akan melakukan selebrasi perpisahan, pemandangan dengan senja yang
kemerah-merahan, burung yang berterbangan di bawah cakrawala, bau asin laut
bersama desis angin, debur ombak yang menghempas bibir pantai sehingga menciptakan
buih seperti kapas, dan jika kau arahakan pandanganmu ke sebelah barat, kau
akan melihat gunung yang berdiri tegak menjulang, sementara di sebelah timur kau
akan melihat menara yang masih setia mengawasi apa saja yang ada di sekitarnya.
Tetapi semua itu telah berlalu. Saat
ini pelabuhan panarukan tak lagi menjadi dirinya, burung yang berterbangan
sudah tidak menghiasi cakrawala, senja telah kehilangan keindahanya,
kapal-kapal terbengkalai tanpa tuan dan menara pengawas yang tak lagi bermakna,
yang nampak hanyalah kesunyian dalam senja.
"Aku masih menunggumu di ujung
pelabuhan pada setiap senja," kata laki-laki itu. "Tapi kau belum
juga kembali."
Mungkin hanya laki-laki itu satu-satunya
yang setia menikmati senja di pelabuhan panarukan. Setiap senja ia meluangkan
waktunya, duduk di ujung pelabuhan untuk memandang lautan dengan langit yang
kemerah-merahan bersama waktu yang mengantarkan senja pada keheningan malam. Tetapi apa yang membuat
laki-laki itu menunggu seseorang yang belum tentu datang, apa mungkin laki-laki
itu dilahirkan hanya untuk menunggu ketidakpatian? Tidak ada yang tahu.
"Aku masih ingat apa yang terjadi
saat itu."
Laki- laki itu mencoba memutar
ingatannya.
Tiga tahun yang lalu, saat senja dalam
puncak keindahan, saat pelabuhan dalam kesibukan dan lalu-lalang, di ujung
pelabuhan itu terlihat sepasang kekasih sedang bercakap-cakap.
"Setelah senja selesai aku akan
pergi. Dan berjanjilah untuk tidak bersedih terlalu lama," kata perempuan
itu.
"Hei! Apa kau tidak mendengarkanku?"
"Aku benar-benar akan pergi meningalkanmu
di sini, di pelabuhan panarukan dengan senja terindah yang pernah ada."
Laki-laki itu masih saja diam membisu. Mungkin
diam merupakan salah satu cara terbaik untuk menahan luka atau memang ia tak
dapat berkata-kata lagi. Sedangkan waktu masih terus bergerak mengantarkan
senja pada malam yang akan melumat segala keindahnya.
"Jadi kau benar-benar akan pergi?" tanya laki-laki itu.
"Begitulah, aku harap kau bisa
menerimanya."
Kemudian segalanya menjadi hening, tak
ada kata-kata yang terucap dari keduanya, hanya memandang satu sama lain untuk
yang terakhir kalinya.
Kini perempuan itu akan pergi untuk
tidak mengingat semua cerita yang telah mereka rangkai bersama, karena sebentar
lagi perempuan itu akan menikah dengan seorang yang belum pernah ia kenal
sebelumnya.
Dan senja beberapa menit lagi akan
berakhir.
Perempuan itu hanya tersenyum. Kemudian
ia melangkahkan kakinya untuk segera pergi dari pelabuhan panarukan. Tetapi
ketika laki-laki itu memanggil namanya sekali lagi, perempuan itu berhenti
melangkah. Ia tertahan.
"Tunggu sampai malam melumat senja,
dan kau boleh tidak mengingatku lagi."
Tetapi perempuan itu tetap pergi. Ia
tak mau membalikkan badan. Seandainya ia menoleh sedikit saja, maka air mata
pun akan terlihat mengalir di pipinya. Dan laki-laki itu hanya bisa pasrah
melihat kekasihnya pergi, ia memang tidak menangis tapi yang pasti hantinya
teriris.
***
Tiga tahun telah berlalu. Seiring bergulirnya waktu dari
detik ke detik hingga minggu melipat hari, bulan menggulung minggu, panarukan tetap
saja menjadi pelabuhan yang kesepian. Selama itulah laki-laki itu merekontruksi
kenangan dalam setiap senja. Hingga pada suatu senja yang sangat berbeda, senja
yang tidak lagi kemerah-merahan, senja dengan awan kelabu diikuti gerimis yang
mulai membasahi pelabuhan panarukan, dari tempat laki-laki itu duduk, ia
melihat sesuatu yang membuat dadanya berdegub lebih kencang.
Dari kejauhan tampak seorang perempuan
berjalan ke arahnya. Seoranag perempuan yang pernah ia kenal tiga tahun lalu. Saat
melodrama perpisahan terjadi di pelabuhan penarukan, perempuan itu pergi meninggalkannya
dan tak pernah kembali.
Tetapi apa yang membuat perempuan itu
kembali?
Matahari perlahan mulai tenggelam di
batas antara langit dan laut. Perempuan itu mulai mendekat dari kejauhan, semakin
ia mendekat semakin terlihat jelas perutnya yang semakin bertambah besar.
Laki-laki berpikir dan menyimpulkan bahwa perempuan itu telah mengandung.
“Aku datang untukmu,” sapa perempuan
itu.
“Oh, apa kabar?”
Kemudian segalanya menjadi hening.
Ombak menghempas bibir pelabuhan. Angin yang lembab melambai-lambai dan gerimis
berjatuhan, membelai dan membasahi keduanya. Di atas kepala mereka
burung-burung berterbangan di bawah langit senja yang sebentar lagi berakhir, mereka
pun akhirnya hanya saling menatap satu sama lain, dengan tatapan tertahan untuk
menatap ke dalam pikiran masing-masing.
“Bukankah kau telah bersuami?”
laki-laki memembuka percakapan lagi.
Namun perempuan itu hanya mengalihkan
pandangan pada langit, seolah-olah ia memandang langit, tapi ia tidak melihat
langit. Yang ada hanyalah sepasang mata yang mulai lembab oleh air mata, ia membayangkan
suatu peristiwa yang akhir-akhir ini sering membuatnya sering melamun.
“Kau kenapa ?” tanya laki-laki itu
lagi.
Perempuan itu tetap terdiam. Ia
mengelus perutnya.
“Tidak apa-apa, cerita saja.”
“Suamiku.” Dengan suara sedikit
tercekat dalam kerongkongan perempuan itu mulai bicara. “Suamiku hilang, kapal
yang ia nahkodai teggelam karena badai.”
Untuk yang kedua kalinya, segalanya
menjadi hening. Angin laut semakin kencang. Matahari telah tenggelam di antara
batas langit dan bumi. Langit yang kemerahan mulai berganti biru kehitaman. Dan
perempuan itu tak mampu berkata-kata lagi, air matanya mengalir tak tertahan
bersama gerimis yang jatuh dan membasi pelabuhan panarukan. (*)
Situbondo, 04 Agustus 2020
*Untuk perempuan yang kepadanya
pengharapan dialamatkan.
Alex Sandra, lahir di
Situbondo.
Cerpen: Panarukan, Sepotong Kenangan
Reviewed by takanta
on
Agustus 23, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar