Home
/
Apacapa
/
Erha Pamungkas
/
Haryo Pamungkas
/
Politik
/
Gus Dur: Demokrasi Harus Diperjuangkan
Gus Dur: Demokrasi Harus Diperjuangkan
Oleh : Erha Pamungkas*
12 Agustus 1978 di majalah Tempo, terbit esai Gus Dur berjudul “Demokrasi Haruslah Diperjuangkan”. Esai apik ini menjadi menariki sebab begitu berani, segar, dan tak tanggung mengumumkan keyakinan demokrasi penulisnya.
12 Agustus 1978 di majalah Tempo, terbit esai Gus Dur berjudul “Demokrasi Haruslah Diperjuangkan”. Esai apik ini menjadi menariki sebab begitu berani, segar, dan tak tanggung mengumumkan keyakinan demokrasi penulisnya.
“Di
negeri kita,” demikian nukilan esai itu, “demokrasi belum lagi tegak dengan
kokoh, masih lebih berupa hiasan luar bersifat kosmestika daripada sikap yang
melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya.”
“
... karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesediaan
bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup
di negeri kita.”
Gagasan yang sungguh segar dan bervisi jauh.
Mewujudkan demokrasi yang bukan kosmetika atau bukan prosedural adalah
pekerjaan rumah kita bahkan sampai detik ini. Dalam kenyataannya, meskipun
pemilu relatif berhasil diselenggarakan, namun substansi demokrasinya tidak
sampai bahkan cenderung gagal mengedukasi masyarakat. Demokrasi belum mampu
mengakar dan menjadi ‘sikap yang melandasi pengaturan hidup sesungguhnya'.
Dengan kata lain, pasca reformasi kualitas demokrasi kita belum mengalami
perkembangan apa-apa kecuali meningkatnya partisipasi saat pemilu.
Kurang
lebih 21 tahun setelah esai itu terbit, berdasarkan Sidang Umum (SU) MPR, Gus
Dur resmi menjabat Presiden ke-4 Republik Indonesia. Naiknya Gus Dur dianggap
sebagai satu keberhasilan reformasi sebab lebih 30 tahun lamanya pemilu hanya
menjadi akal-akalan semata. Tetapi upaya demokratisasi tak berhenti sampai di
situ. Tuntutan reformasi yang gamblang adalah menegakkan demokrasi secara utuh
dan pengembalian mandat kepada sipil (supremasi sipil). Dalam perkembangannya
tuntutan itu relatif tidak mudah diimplementasikan sebab muncul beragam
kendala: dinamika hubungan sipil-militer, lemahnya konsolidasi di internal
sipil, budaya politik militeristik yang masih mencengkeram.
Pemerintahan
Gus Dur dihadapkan pada pilihan sulit. Di satu sisi berkewajiban mewujudkan
demokrasi sebagai komitmen reformasi namun di sisi lain harus mengambil risiko
sekecil mungkin dalam menjaga stabilitas politik. Demokrasi hanya mungkin
terwujud apabila masyarakat sipil dijamin haknya untuk berpartisipasi aktif di
ranah politik. Dengan kata lain, dominasi dan hak istimewa militer yang
terbentuk selama lebih 30 tahun mesti dikurangi. Konsekuensinya, sudah pasti
muncul ‘perlawanan’ dari golongan militer konservatif; dan pada titik tertentu
dapat menganggu stabilitas politik.
Di
era Gus Dur inilah, satu era transisi di mana fondasi demokrasi menjadi
pertaruhan. Di mayoritas negara berkembang dengan kasus serupa; di mana militer
pernah mendominasi dan ada upaya perlawanan dengan mengembalikan supremasi
sipil, apabila kompleksitas masalah tidak ditangani secara hati-hati, maka
kemungkinan kudeta atau pengembalian kekuasaan ke tangan militer berpotensi
terjadi. Mesir era Sadat dan konflik berkepanjangan negara-negara Timur Tengah
hingga saat ini dapat menjadi contoh ‘gagalnya’ fondasi demokrasi di era
transisi.
Adapun
terkait konsep supremasi sipil, muncul silang pendapat yang cukup menarik. Di
satu sisi muncul pendapat penerapan supremasi sipil ala barat; di mana militer
seutuhnya merupakan subordinasi pemerintahaan yang sah. Dengan kata lain,
militer adalah ‘alat mati’ seutuhnya. Di sisi lain muncul gagasan ‘moderat’, yakni
supremasi sipil bukan berarti dominasi sipil kepada militer secara mutlak,
melainkan lebih pada keseimbangan peran sipil dan militer dalam rangka
mengelola kepentingan bangsa. Artinya, pengurangan peran sosial-politik militer
dilakukan secara bertahap.
Adalah
menarik keputusan Gus Dur (yang dikenal kritis dan pro demokrasi semasa ORBA)
untuk mengurangi peran sosial-politik dan penegakan supremasi sipil secara
bertahap. Penulis melihat ini sebagai salah satu upaya untuk menjauhkan militer
dari peran sosial-politik tanpa menjatuhkan martabat militer sebagai satu
institusi. Meskipun keputusan ini memiliki risiko politik tersendiri. Terbukti
kemudian, kekuatan politik militer pulalah yang ikut melengserkan Gus Dur.
Selain
itu, penulis menemukan suatu sikap politik yang laik diteladani (dan dipegang
sebagai prinsip) dari Gus Dur dalam menghadapi upaya pelengserannya.
Dalam
buku Gus Dur Militer dan Politik, A. Malik Haramain membuat analisis menarik
perihal posisi politik Gus Dur menjelang dikeluarkannya Maklumat (atau yang
lebih populer disebut Dekrit) yang secara politis hendak digunakan untuk
mencegah Sidang Istimewa MPR. Secara garis besar, ada 3 kekuatan politik yang
harus dihadapi Gus Dur saat itu: kekuatan Poros Tengah yang berbalik
menentangnya (direpresentasikan oleh parlemen), militer, dan kekuatan lama
(Golkar). Hubungan Gus Dur dan Megawati
juga tak lagi harmonis. Hubungan dengan militer, yang semula mendukungnya,
semenjak Gus Dur memutasi petinggi TNI dan oleh para petinggi TNI dianggap
agenda politis belaka--dan meintervensi militer terlalu jauh, membelokkan
dukungan kepada parlemen.
Manuver
dan konspirasi kekuatan-kekuatan itu yang kemudian membuat posisi Gus Dur
melemah. Puncaknya, adalah ketika militer mendukung Sidang Istimewa MPR dan
menolak (Maklumat) Dekrit Presiden. Isu korupsi buloggate dan bruneigate
yang dituduhkan kepada Gus Dur juga terang hanyalah permainan politik semata.
Sebab Jaksa Agung sudah menyatakan Gus Dur tidak terlibat, namun proses
hukumnya yang terkesan dipaksakan terus berjalan.
Ada
satu pilihan, demikian penuturan Mahfud MD, dalam satu wawancara di YouTube,
untuk menyelamatkan posisi Gus Dur. Dengan merombak kabinet dan memberikan
posisi menteri-menteri kepada partai politik yang menentangnya. Tapi Gus Dur
menolak kompromi semacam itu. Sebab, bagi Gus Dur, demokrasi bukanlah pasar
tempat jual-beli (kompromi). Adalah sangat dapat diteladani bahwa Gus Dur tetap
teguh dengan prinsip demokrasinya ketimbang mempertahankan posisi presiden.
Penulis menganggap ini laik dijadikan teladan sebab pertama, mayoritas elite
politik kita hari ini sudah tak segan dengan praktik jual-beli (kompromi). Dan
masih belum terlihat satu upaya serius untuk mendorong transformasi demokrasi
prosedural menjadi substansial oleh elite politik.
Juga,
ini yang secara pribadi begitu menarik perhatian penulis. 12 Agustus 1978, Gus
Dur telah mengumumkan keyakinan dan prinsip demokrasinya dalam esai “Demokrasi
Haruslah Diperjuangkan”. Dan kelak, ketika situasi memberi pilihan kepada
seorang penulis untuk mempertahankan keyakinannya atau tidak (dalam konteks ini
mempertahankan posisi presiden versus prinsip demokrasi), Gus Dur tetap pada
apa yang pernah diyakininya 21 tahun silam:
Bahwa,
“Di
negeri kita demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh masih berupa hiasan luar
bersifat kosmetika daripada sikap yang melandasi pengaturan hidup yang
sesungguhnya.”
Dan,
“Karenanya,
dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesediaan bersama untuk
memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri
kita.”
Sebab domikrasi bukanlah mantan. Maka,
untuk itulah,
Gus Dur: Demokrasi Harus Diperjuangkan
Reviewed by Redaksi
on
Agustus 03, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar