Puisi: kusisiri kota ini dengan puisi
kusisiri kota ini dengan puisi
kusisiri kota
ini dengan puisi
sampai ke
laut hanya berbatas samudra hindi
mencari
sisa-sisa masa lalu yang mesti dibanggakan
atau kenangan
yang kelak diceritakan
tapi ada yang
hilang terbawa angin atau sengaja dihilangkan
bagai
suara-suara aktivis yang mesti dibungkam-hilangkan
dan
menyisakan getir kenyataan
menghubungkanku dengan
sungai-sungai di panarukan.
di pinggir
jembatan, kulihat seseorang melepas kekasihnya
disaksikan
lengang kali sampeyan penuh bebatuan purba
mungkin
demikian definisi perpisahan zaman ke zaman
menyisakan
ketabahan dan tangis yang ditahan-tahan
sekali lagi
kusisiri kota ini
dengan puisi
kucari-cari
dirimu yang lari
dan
bersembunyi dalam puisi ini
panarukan
aku
kehilanganmu dalam sejengkal jarak
jejak-jejak
yang kautinggalkan bagai keheningan
yang
menyeberang ke batas waktu nan lunak
meski di
pelabuhan ini, namamu tak kunjung kulupakan
aku hanya
menghitung namamu dengan kalkulator
setiap angka
yang muncul melambangkan waktu gelap dan terang
meski di
pantai ini sumur-sumur warga tohor
sebagaimana
doa yang dikidungkan seorang wali tanpa pelantang
betapa
langkah kakiku mengentak kerinduan sepanjang pantai
sebab syamsu
berjalan ke barat dengan gontai.
kita ada
jauh di atas
bukit ringgit
ada sebuah
rumah
berdinding
umpama
di tempat
yang tak tercatat di dalam peta itu
kita gegas
menemu awan
dan pura-pura
tak tahu
pelan-pelan
mendekat ke peraduan
tapi lihat, kita
bahagia dari jemu warna-warni
bagai
terlahir kembali
dari pena
sahibul hikayat
di atas
kertas hikmat
sebab di
pinggir bukit itu
alir sungai
sampeyan membasuh namamu
dan batu-batu
purba kukuh berjiwa
menyimpan
rindu nun purba.
jangan letih
memelukku
sepenuh
rengkuh
: kita ada.
jalan
jalan itu
kering dan berbisik
angin
tertatih lirih berbaur pasir
sampai di
ujung jembatan
jembatan
sampeyan
semalam
kauributkan almanak yang ritmis
berjalan
bagai memanggul berbeban-beban
kira-kira
sepanjang pikiran
merunut jalan
pulang
meski sisa
kehangatan memeluk di belakang
tak kautemu
ranum rumah yang kaukenal.
ada yang
kaucari di seluruh panarukan
kenangan yang
tinggal di kota tinggal.
di atas jembatan sampeyan
di atas
jembatan sampeyan, lengang,
seorang perempuan
mengeja alir sungai
yang
disisipkan di antara rima dan irama
sajak, yang
tak bermakna
perempuan itu
cemas
menanti
kekasih tak datang lekas
dan tak
mengerti, mengapa mengeja
alir sungai
yang disisipkan di antara rima dan irama
tapi ia
mengerti tentang arya gajah
seorang prabu
situbanda
dan cintanya
kepada lelaki itu
bahkan tiada
sesuatu pun yang tahu
semua ini
seolah dicatat di atas cakrawala
sementara
alir sungai itu memuara
menuju
pelabuhan panarukan
dan menemu
kapal-kapal yang ditambatkan
meskipun
terdengar ombak yang tak asing
lebih dari
sekadar angin yang sering,
memanggil-manggil
dari pulau madura
Tentang penulis:
M Firdaus Rahmatullah lahir dan menempuh pendidikan di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di beberapa media cetak dan daring. Buku tunggalnya Cerita-Cerita yang Patut Kau Percaya (2019). Tahun 2015 mengikuti Workshop Cerpen KOMPAS di Bali. Kini, mengabdi di SMAN 1 Panarukan.
Tidak ada komentar