Untuk Gadis
Kubaca sejak─sajakku
yang pula kau baca,
jari kecil
bergerak, gerangan menangiskah tertawa?
ada perjurit
di barak, sungguh jalang puan tak bisa tentang,
memoarnya
dirusak, namun luka lama pun makin riang.
Gadis kecil,
bernyali kecil, sudah besar rupanya dia!
pulang ke
kolong langit, berbekal senyum dibalik duka,
di kering
suka, di ambang pilu, kupikir senyum sebiru langit itukah?
jangan
mengalir, sungai yang tandus, arus membawamu, lalu tinggallah.
Kubaca sejak─sajakku
yang pula kau baca,
mendayuh,
mendayuh, di hari kemudian hilang dan karam,
Gadis Suci
sudah ubah rupanya, menolak mengalir, menolak temaram.
Gadis kecil,
bernyali kecil, sudah besar rupanya dia!
berangkat ke
kolong langit, melawan senja, mengalahkan malam,
sedang
perjurit, ia mati suri, jungkir balik, sungguh suram
Senja Si Ratu Malam
Apa aku
benar-benar kehilangan di hari itu?
matahari
merah yang terik, hangat sepertimu;
aku─wijaya
kusuma─yang menengadah
langit biru,
malam tertiup angin, yang tutup kala
subuh berdebu.
Menerima duka
dan suka, senyummu mengabur luka;
kala hari dan
jarum jam berayun, aku ingin lebih lama,
tertutup
selimut abu, kala pintu dan patung sepi;
dibalik
senyummu, kulihat ada sesuatu yang ditangisi.
Lagi,
kumelihat mimpi yang sama,
hujan yang
tak berhenti itu,
akan
menghapus jejakmu pada akhirnya.
Wijaya kusuma
dan surya tak dapat bertemu,
meski
berhibernasi di senja yang sama,
di saat yang
menang adalah ragu.
Untukmu yang
hidup di hari ini,
hari esok
sedang menanti
Di Rumah Aja Dulu
Aku sudah kepalang mabuk malam itu,
tersingkir kelewat jalang, ditertawakan tiang lampu;
melirik lewat palang, daun pintu kian membiru,
pula dalam sembahyang, hadirkah Tuhan dalam pangkumu?
Ini kali orang gila, gemar sangat mencuci tangan,
lupa simpati sama tetangga, langit hitam membisikkan
kelaparan!
kala penyamun sedang berpesta, kucing hitam terbujur
kedinginan,
oh, kini mengaku mereka, si fakir dalam ranjang pesakitan.
Tiba di sebuah pintu, khotbah —di rumah aja dulu! setan!
aku mengutuk sesiapa punya atap dan dipan, makin hari makin
kelam,
tanpa minta ampun atas segala dosa, kiranya ke mana mereka
terbenam?
Tiada sesiapa lagi, sendiri berjalan dalam kengerian dan
kesepian,
kutanya negara, mereka memberi jawaban suram,
kutanya agama, apakah sama antara sultan dan gulam?
DO(K)SA
Jalan kosong kita berdua;
kita melirik kanan─kiri,
kita? Di mana kita?!
setelah semua dosa,
kubenamkan atas palapa,
dosa kali ini adalah dosa yang paling─
kusuka.
IMAN
Bila kau tanya kenyataan; kenyataan apa yang kau tanya?
apakah ada kenyataan yang bukan kita?
bila kau tanya perkataan; kata mana lagi yang tak
tertuliskan?
ini kali bukan berita lagi! kita terbutakan.
Larutkah kita dalam perbedaan yang dipaksakan?
kupikir Marah Roesli punya Siti Nurbaya sudah berakhir,
dinding yang begitu jelas, iman dalam kecintaan,
nyanyian akan Tuhan bergema di Jumat dan Minggu.
Andai saja tidak ada -Nya,
akankah kau dan aku,
menjadi sebaris puisi yang indah.
Andai saja tidak ada andai,
pada tiap doa yang bergaung di langit,
Oh, -Nya, izinkan aku bahagia!
Tidak ada komentar