Ulas Buku: (Sekarang) Dungu Lebih Baik
Judul : Mati Ketawa Cara Salafi
Penulis : Juman
Rofarif
Penerbit : Lintera
Hati
Cetaka : Cetakan
Pertama, Juli 2019
Tebal Buku : 115
Halaman
ISBN
: 987-602-7720-91-6
Oleh:
Moh. Nurul Hasan*
Tertawa
adalah sifat manusia yang memiliki orientasi bahagia, lupa (sejenak) perihal masalah
yang sedang dihadapi, atau sekadar ingin tertawa dan menertawakan orang lain,
dengan cara membuat diri kita tampak bodoh atau dungu. Kegiatan seperti ini tentu
tidak sembarang orang bisa melakuakannya. Bisa jadi hanya orang-orang tertentu
saja yang memiliki skill semacam ini. Kita ambil sampel saja grup lawak
legendaris Indonesia, Srimulat, yang memiliki ciri khas untuk membuat audien/penonton
tertawa.
Hal
di atas bisa kita dapatkan dengan membaca buku humor yang menukil dari kitab klasik.
Bisa diterka usia kitab tersebut kisaran 800 tahunan atau berapa milenium-an.
Sebab Juman Rofarif, selaku penulis buku ini, menukilnya dari kitab ulama’
sunni, Ibnu al-Jauzi. Beliau menulis kitab Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin
dan Akhbar al-Adzkiya yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah atau ke 13
Masehi. Bukan hanya itu penulis nukilkan, ada kitab, Ihya Ulumuddin, karya Imam
al-Ghazali, Tadzkirah al-Auliya, karya Fariduddin Attar. Bisa
dibayangkan betapa klasiknya humor yang tertera dalam buku ini, namun tidak
menutup kemungkinan untuk membuat tertawa yang membacanya.
Semisal
kita membaca buku humor nukilan ini, kita akan tertawa, minimal kita akan
tersenyum. Sebab dalam buku ini bukan karena lucu dan unik yang tersaji, justru
sebaliknya, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang kerap terlontar. Sehingga nalar
kita akan beralih pada Filsafat “Kok ada orang model begini?” (Hal.ix) Akan tetapi,
percaya atau tidak, dirasa atau tidak, diteliti atau tidak pula, begitulah
keunikan humor yang tersaji dalam buku “Mati Ketawa Cara Salafi” yang cukup
membuat kita ter-relaxation-kan dengan pertanyaan-pertanyaannya
menggelitik perut.
Andaikan
dikalasifikasikan humor dalam buku bercover merah ini. Seperempat buku ini mengisahkan
orang dungu, yang tentunya lahir dari pikiran tidak mencapai taraf pintar atau
berisi pengetahuan secara mendalam. Karena orang dungu itu bisa dengan mudah
kita kenali dengan enam hal: marah tanpa sebab, memberi kepada orang yang tak
berhak, berbicara tanpa guna, percaya kepada siapa saja, membuka rahasia, dan
tidak dapat membedakan antara lawan dan kawan; menggutarakan sesuatu yang
terbesit dalam benaknya; dan berpikir dia orang paling cerdas. (Hal.4)
Beberapa
ciri orang dungu di atas bisa kita korelasikan dengan ralitas sekarang. Misalnya,
seperti pembagian sembako yang sempat trending topik selama masa pandemi virus korona.
Pada saat itu, banyak orang yang seharusnya lebih pantas mendapat bantuan
sembako, justru dilewati atau tidak mendapat bantuan sembako, parahnya, orang
yang berkecukupan atau ekonominya di atas rata-rata, malah mendapatkan bantuan
sembako yang jika (orang berkecukupan) membelinya dengan harta sendiri sangat
cukup bahkan tidak akan berkibat fatal bagi hartanya. Dan fenomena seperti
telah dilakukan oleh orang dungu berabad-abad lalu.
Bukan
hanya itu. Di era sekarang yang sudah menikmati era globalisasi, berbagai macam
aplikasi sudah banyak memberikan penuturan singkat, padat dan “tidak” berbobot,
kenapa demikian? Sebab vitur yang disajikan mayoritas tidak bersumber pada nash-nash
qat’i. sehingga fatal akibatnya jika dihidangkan pada orang awam. Karena
manusia sekarang memang condong mengambil (semua kebutuhan) secara praktis,
tapi sayang tidak higenis bagi otak dan nalar pikiran.
Inilah
yang sedang terjadi dipanggung politik atau agama di Indonesia saat ini. Banyak
tokoh politikus yang sudah tidak mengenal mana kawan, mana lawan. Sebab seudah
terdoktrin pikirannya sendiri, bahwa dirinya adalah orang paling cerdas. Hal
fatal juga sempat membuat pemuka agama atau dai kondang ikut beraduensi memberikan
penjelansan yang lebih eksplisit dan afdol terkait kekeliruan yang
terlanjur tercipat. Sebab ada ulama (katakanlah ulama besar) berfatwa yang
tidak memiliki dasar kuat. Hal ini bisa masuk dalam karakteristik orang dungu;
bicara tanpa guna (dasar). Parah bukan!
Untuk
menghilangkan sejenak kejemukan problematika yang sedang terhidang, ada baiknya
buku ini dijadikan sebagai teman refreshing untuk melenturkan urat-urat
kepala yang menegang. Bisa pula buku ini dijadikan perbandingan kedunguan
orang-orang sekarang dengan orang-orang Old (zaman dulu). Pasti
kita akan beranggapan bahwa orang jaman dulu lebih baik kedunguannya daripada
kedunguan orang sekarang yang condong menyesatkan. Secara akal sehat, kita bisa
menyimpulkan, bahwa dungu tidak harus dilegitimasikan dari panggung hiburan,
justru sebaliknya,kedunguan bisa menyelamatkan orang agar tidak salah jalan
atau sesat!
*) Pengurus Pepustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa.
Tidak ada komentar