Boneka yang dipegang Keira tampak semakin kusut. Warna yang awalnya putih berubah agak kecokelatan gara-gara tangannya tak dicuci tatkala selesai makan dan bermain. Sepanjang hari ia tak bosan memeluk bonekanya, dan dari pelupuk mata turun air bening. Air mata yang jatuh terserap langsung oleh boneka yang dipeluknya. Entahlah, apa yang sedang ia pikirkan. Barangkali ia sedang meratapi kesedihannya karena tak ada lagi yang sudi mengajaknya bermain. Meskipun Aril, tetangga belakang rumahnya, yang biasa mengajak bermain petak umpet dan permainan kecil lainnya, tak nongol sedikitpun. Semua kebahagiaan yang ia miliki seolah terseret kakanya ke peti tempat terakhir perbaringan.
Biasanya Keira bermain dengan Aril dan kakaknya. Umur di antara mereka tidak sama. Keira dan Aril
terpaut lima tahun dengan kakaknya. Mereka bermain di teras rumah berkeramik biru langit.
Di teras itu akan banyak tercipta tawa, senyum dan tak ada kesedihan menyelinap.
Bisa jadi di teras itu sumber kebahagiaan tercipta. Kalau ada pertikaian,
kakaknya akan menengahi.
Ia mendapatkan boneka itu ketika merayakan ulang tahung yang
ketiga belas, dua minggu yang lalu. Saat itu ia sangat bahagia ketika
Keisha, kakaknya memberikan boneka beruang warna putih. Kebahagiaan bertambah
ketika teman-teman sebayanya memberikan hadiah yang kadang ia suka, meski tidak
semuanya. Tapi apa boleh buat, ia akan menerima semua itu dengan lapang dan
tanda kalau kebahagiaan tidak bisa ditukar dengan apapun. Sekalipun itu hal
yang paling disukainya. Bagi Keira, boneka sang kakak adalah pemberian
istimewa. Sebab sebelum ulang tahunnya, Keisha tidak ada di rumah. Tak
kelihatan batang hidungnya. Tak ada gerak-gerik yang menandakan bahwa Keisha
ada di rumah untuk menemaninya bermain.
Keira tidak tahu pengirim boneka adalah kakaknya. Setelah bertanya pada ibunya,
dengan cepat ibunya menggeleng. Bertanya pada Aril, hampir serupa dengan jawaban ibunya. Setelah
memutuskan bertanya pada bapaknya, secepat kilat ibunya melarang, seolah ada sesuatu yang
diselipkan oleh ibunya. Tapi ia tidak mempersoalkan itu terlalu muluk-muluk. Ia
bahagia karena mendapat boneka dari kakaknya. Walau ada kerinduan amat mendalam
yang ia pendam.
“Bapak tidak bisa diganggu, sedang menyelesaikan proyek
sekolah.” Begitu ibunya berucap katika mata Keira melirik
kamar bapaknya yang pintunya tertutup rapat.
Beberapa bulan terakhir ini, bapaknya jarang berkomunikasi
dengan kelurga, termasuk dirinya. Ia tidak menaruh curiga pada sang bapak. Tapi
ia rindu bermain dengan bapak walau sebentar. Sang bapak akan berkumpul ketika
makan bersama, itupun di waktu malam. Setelah makan, undur diri dan pergi ke
kamar, lalu menutup pintu kamar rapat-rapat. Sampai tak ada celah untuk melihat
aktivitas di dalam.
Suatu hari Keira ingin masuk ke kamar bapaknya. Ia rindu
tempat pertama tidur sebelum pisah ranjang memilih tidur bersama kakaknya. Ketika
tangannya memegang gagang pintu. Dari arah dapur ibunya berteriak lantang.
Sontak Keira mengurungkan niatnya, dan menatap wajah ibunya yang gusar. Dadanya
bergedub kencang. Matanya membeling. Boneka di depan dadanya yang kusut, ia
peluk erat-erat.
“Keira mau ke mana?”
“Mau ngajak main bapak.”
“Kan ibu sudah bilang, bapak sedang sibuk, tidak boleh
diganggu.”
“Tapi Bu....”
Sebelum Keira menyelesaikan kalimatnya. Ibunya sudah menarik
lengan kanannya. Ia tidak tahu ibunya akan membawa ke mana. Keira manut saja, karena takut
tangan ibu membekas kembali di pipi lembutnya. Ia tidak mau kejadian satu
minggu sebelum hari ulang tahunnya terulang kembali. Membayangkan saja ia tidak
mau.
Kabar tentang kakaknya sudah menyebar ke sanak dan kerabat
dekat. Mencari bukan tidak diupayakan, tapi tetap tidak membuahkan hasil.
Ketika Arifah, keponakannya bertanya. Tanggapan ibunya sungguh di luar dugaan.
Keponakannya terhenyak mendengar jawaban yang terlontar dari mulut perempuan
berkepala dua itu.
“Nanti akan pulang sendiri jika sudah bosan bermain di
luar,” tanpa beban kesedihan apapun, ibunya berujar sambil melirik kamar
suaminya.
“Kalau tersesat?” sanggah keponakannya.
“Kan bisa bertanya. Lagian Keisha sudah dewasa.”
Ibunya pamit pergi ke dapur megambil minuman. Keponakannya ikut
melirk pintu yang tertutup rapat. Tahun sebelumnya, pintu itu selalu terbuka
sedikit, tak pernah rapat. Kejanggalan menumpuk di balik pintu itu.
Setelah bibinya keluar dari dapur membawa dua gelas teh,
lalu mempersilakan minum. Dalam hati, keponakannya ingin sekali bertanya pada
bibinya perihal pintu yang tertutup rapat. Tapi ia takut ikut campur urusan
orang lain. Kejanggalan perihal pintu itu semakin bertambah saat keponakannya
tidak melihat betang hidung pamannya. Ia semakin bingung, tapi perasaannya senasib
dengan Keira, tidak begitu mepedulikan.
***
Malam ini, bulan purnama anggun berdiri tegak di antara kawanan bintang yang melongo di
temani kabut-kabut kecil. Keira duduk di balik jendela kamarnya, termangu
menatap indahnya paras langit. Sementara susu hangat yang dibuatkan ibunya,
belum ia teguk sedikitpun. Ia tidak mengubris keberadaan sesuatu di sekitarnya.
Cicak yang menatapnya tajam. Kecoak yang hilir-mudik. Kucing anggora yang
sesekali mengeong. Semua tidak ia pedulikan. Keira memaku pandang pada bulan. Barangkali
ia sedang menggambar wajah kakaknya di antara cahaya bulan.
Keindahan bulan purnama tanpa kehadiran kakaknya, tak
ubahnya bulan sabit tipis tanpa cahaya. Tak ada kesan yang ia tangkap, wajahnya
murung, pikirannya linglung, bisa jadi ia ingin mati gantung karena tidak kuat
menebak teka-teki di balik pintu kamar bapaknya. Lebih parah, ia kehilangan
separuh nyawa. Bagaimana tidak, biasanya di setiap bulan purnama ia akan duduk
bercerita permainan yang bisa dimainkan besok. Dan bercurhat perihal musibah
yang terlanjur lewat. Bila kakaknya bercerita, Keira akan duduk mantap
mendengarkan kisah-kisah yang diutarakan kakaknya itu. Meski sesekali Keira tersenyum dan
cengingisan tatkala cerita jenaka sering kali terlontar.
Di malam itu, semuanya berbeda. Tak ada kakak, tak ada
cerita dan tak ada kebahagiaan yang biasa ia dapatkan di setiap bulan purnama bertandang. Sunyi
tak henti menemani keseharian Keira setelah hari ulang tahunnya lewat tiga
hari. Suara jangkrik yang sesekali terdengar di halaman luar, membuat ia rindu
suara kakaknya. Kedua tangan Keira ia jadikan penyanggah untuk menompang dagu.
Tatapannya kosong, dan belum mendapatkan informasi tentang kakaknya. Hal itulah
yang membuatnya semakin terpuruk, sehingga ia tidak bisa berpikir jernih dan
memilih ingin selalu menunduk.
Mata bolanya membening, hidungnya merah tak ubahnya bersin berkali-kali.
Ia mulai melirik boneka pemberian kakaknya yang tergeletak di atas ranjangnya.
Boneka beruang putih memilkiki tinggi tiga puluh senti tak ia sentuh sedikitpun
di malam itu. Ia berharap boneka itu bisa bicara layaknya sang kakak di bulan
purnama. Dengan begitu, ia bisa bertanya keberadaan kakanya pada boneka itu.
Tapi ia yakin, boneka itu tidak akan bicara jika bukan karena keajaiban. Keira
masih terus menatap bulan itu.
Matanya sangat elok ketika terkena
pancara sinar bulan. Jauh di sana, bintang-bintang berkelipan menyanyikan lagu
kebehagiaan. Sedangkan
Keira ingin mengikuti rimanya, dengan harap bisa mengurai
kesedihannya.
Entah dari mana asalnya, suara burung hantu terdengar pelan.
Pertanda Keira harus tidur, takut-takut besok ada permainan asik dan ia tidak
bisa ikut sebab kelelahan. Keira melangkah gontai menuju ranjang yang sedari tadi
ditempati boneka pemberian kakaknya. Ia menatap langit-langit kamar yang
disesaki serangga-serangga kecil mengelilingi lampu. Sesekali ia melihat foto
kakaknya yang terpajang di dekat lampu tidur. Keira terus menatap kakaknya,
lamat sekali seolah kerinduannya ingin ditumpahkan semuanya. Sebelum ia puas
melihat foto kakaknya, gelap lebih dulu menyergapnya.
“Keira...! Tolong kakak...!” Suara itu terdengar merobek sunyi. Seperti
ada kesedihan bergelayut di kegelapan anta-berantah.
Keira bingung mencari asal suara. Ia tidak tahu harus
mencari ke mana. Ia tolah-toleh tak ada siapa-siapa dan suara kakaknya
terus menggema, berulang-ulang. Meronta, menusuk gendang telinganya. Ia
menunduk, lalu terpdiam menatap tanah yang ia cium. Ingin sekali ia berdiri dan
kembali melihat sekitar. Suara itu menjelma gaya gravitasi, ia kesulitan
berdiri.
“Kakak di mana...!” Lengkingnya menyiris gelap.
Tak ada suara yang merespon, ia kembali berusaha berdiri.
Kali ini usahanya tidak sia-sia. Keira mulai melangkah perlahan dan menerka
asal suara. Setelah kakinya menapaki trotoar, Keira berbalik badan melihat
rumah yang ia tinggali. Dari arah selatan cahaya merah menerobos apa saja yang
menghalangi. Dalam sekejap, rumahnya roboh seperti ada sesuatu dengan cahaya
itu. Ia tehenyak dengan mata melongo.
Tiba-tiba Keira terperanjat bangun dari tidurnya. Napasnya tidak teratur. Ia kepikiran dengan
cahaya yang menimpa rumah dalam mimpinya. Ia menebak, suara yang mengajak dalam
mimpinya adalah suara kakaknya. Kehadirannya ingin memberi petunjuk tentang
keberadaannya. Sebab ketika ia membandingkan dengan mimpi-mimpi sebelumnya.
Mimpi kali ini tampak nyata, teramat nyata. Ia mengambil boneka pemberian
kakaknya dan memeluk seerat mungkin. Pelan-pelan air matanya menuruni kedua
pipinya. Terbesit dalam benaknya, ia teringat kakaknya.
Ia melihat jam yang duduk rapi di bawah lampu tidur: 12.55. Dari luar kamar terdengar suara
perempuan menjerit kuat-kuat. Suaranya terdengar seperti ada kesakitan di
tubuhnya. Dengan tergesa-gesa, Keira berdiri dan melangkah mencari asal suara.
Sebenarnya ia tidak berani keluar kamar waktu tengah malam. Tapi ia yakin suara
tadi adalah suara kakaknya yang ia rindukan. Ia melangkah pelan takut ibu dan
bapaknya terbangun.
Di ruang tamu ia mencium bau kemenyan berkolaborasi dengan
bau anyir yang menyengat. Bulu kuduknya berdiri. Suara itu tidak hilang, namun
memelan, dan ia mendengar suara itu berasal dari kamar bapaknya yang tertutup
rapat. Langkahnya semakin pelan saat kakinya mendekati kamar bapaknya. Saat
sampai, ia mengintip dari lubang kunci. ada bapak dan ibunya. Dalam hati ia
ingin bercerita tentang mimpinya. Tapi dengan keadaan yang mencekam, berlindung
adalah pilihan utama. Ia membuka pintu tanpa perlu mengetuk terlebih dulu.
Seketika jantungnya berdegub kencang, seperti hantaman keras.
Matanya nanar seketika. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tidak bisa bicara,
seolah mulutnya beku dan pikirannya kaku. Ia tidak kuasa melihat kakanya yang
mengapung di atas peti depan ranjang tidur. Bapaknya duduk bersila sambil
komat-kamit dengan tangan yang memeras kemenyan di atas guci berisikan arang.
Dupa tidak luput ditusuk pada ketebung dekat guci. Ibunya tercengang melihatnya berdiri menganga di amban
pintu.
Tetapi apakah ia masih bermimpi? (*)
Annuqayah, 2020
A.
VickySha, santri Pondok Pesantren Annuqayah dan Pengiat literasi
Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj.
Tidak ada komentar