Pilkada Situbondo dalam 'Perang' Musik Anak Muda
Oleh: Panakajaya
Hidayatullah
Pilkada Situbondo sudah semakin dekat. Ruang-ruang publik kini semakin disesaki banner-banner paslon yang sedang berkontestasi di tahun ini. Pembicaraan di warung-warung kopi semakin tidak asyik lagi karena didominasi dengan narasi-narasi politik daerah. Sementara pembicaraan tentang gibah tetangga dan kawan kini jarang saya dengar. Ada yang memuji, tidak sedikit yang menyerang.
Hampir setiap jam,
beranda grup-grup facebook bertema
politik daerah semacam Bursa Calon Bupati
dan Wakil Bupati Situbondo selalu penuh dengan postingan baru. Ada yang
berapi-api memosting kutipan-kutipan para intelektual guna mempromosikan
calonnya, ada juga yang hanya memantik isu-isu banal tentang aib sang paslon,
sementara anggota lainnya saling melempar komentar yang liar dan terkadang
tidak bertanggung jawab.
Saya
tidak begitu tertarik mengikuti diskusi di grup-grup facebook, namun belakangan ada yang membuat saya cukup terkejut,
ketika muncul beberapa karya-karya musik kampamye yang digarap oleh anak-anak
muda.
Sebelum membahas musik anak muda,
saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit mundur ke belakang. Pada gelaran
Pilkada sebelum-sebelumnya, preferensi musik kampanye di Situbondo selalu diramaikan
oleh para seniman (senior) kawakan di Situbondo. Sebut saja Bang Badik, salah
satu pentolan pencipta lagu dangdut Madura dan hits maker di masanya. Bang Badik, si pencipta lagu Sakera dan Cinta 100% adalah seniman yang sering kita lihat mengisi panggung-panggung
politik bahkan sejak tahun 2000-an awal. Sepak terjangnya dimulai ketika itu
didapuk oleh KH. Fawaid As’ad untuk ikut turun ke gelanggang pertarungan politik.
Saya masih ingat lagunya, saat itu cukup fenomenal yaitu berjudul “Dewan Syuro”
dan “PPP” (cari sendiri di youtube dengan kata kunci Lagu Badik PPP), yang
sebetulnya secara musikal mengadaptasi lagu Sakera,
lalu kemudian disesuaikan liriknya untuk kampanye.
Lagunya
booming, diedarkan hampir ke seluruh
penjuru kota lewat cakram VCD dengan video klip yang ciamik, saya dan
kawan-kawan di SD pun waktu itu suka nyanyi lagunya bang Badik. Melodinya mudah
diingat, iramanya rancak, liriknya sangat lokal, bahkan mengutip beberapa
pandangan hidup orang Madura, seperti ini contoh potongan liriknya,
Etembhang pote mata, ta’ bhango’ pote tolang,
tembhang noro’ laenna bengo’ noro’ PPP
Rukun Islam bada lema’, Pancasila bada lema’,
terro dhaddi reng teppa’, tore noro’ se nomer lema’
Secara
lirik, harus saya akui Bang Badik memang benar-benar jago, pemilihan diksinya
efektif, lokal, dan sangat emosional. Ketika Pilkada berakhir nama Bang Badik
cukup diperhitungkan karena sukses membawa kemenangan. Pada gelaran Pilkada
berikutnya Bang Badik tidak absen, ia kembali hadir lewat lagunya berjudul
“Kaula Cinta Situbondo” Silakan cari di
youtube. Tidak hanya Bang Badik, beberapa musisi dan penulis lagu senior di
Situbondo juga banyak yang ikut merasakan barokah
Pilkada. Banyak lagu-lagu baru yang tercipta di masa Pilkada, setidaknya ada
sekitar 10-an lagu bertema politik yang sempat saya dokumentasi untuk gelaran
Pilkada sebelumnya.
Nah, yang menarik pada gelaran Pilkada di Situbondo kali ini, aktor-aktor seni yang berperan sudah berganti. Jika gelaran sebelumnya diisi oleh seniman-seniman kawakan, hari ini panggung musik Pilkada diisi oleh seniman-seniman muda.
Sejauh yang saya amati ada dua
seniman yang menonjol dan mencuri perhatian saya yakni Ali Gardy dan Max
Windra. Keduanya adalah seniman muda generasi 90-an yang lahir dan dibesarkan
di Situbondo. Ali Gardy adalah seniman yang mengawali karir musiknya lewat jalur
musik (kreasi) tradisional, tak hanya jago bermain musik ia juga cakap dalam
menciptakan instrumen musik etnik. Di dunia musik tradisional, namanya cukup
diperhitungkan. Setidaknya ia pernah bermain satu panggung dengan Dewa Bujana
dan mengisi panggung-panggung festival internasional seperti di Melaka dan
Malaysia. Sementara Max Windra adalah musisi yang mengawali karir musiknya di
band. Sejak SMA dia sudah banyak mengantongi prestasi musik dengan menjuarai
pelbagai festival band tingkat regional. Max seorang praktisi dan akademisi
lulusan perguruan tinggi seni. Saat kuliah ia sempat melanglang buana di jantung
industri musik nasional. Yap. Jakarta.
Pada gelaran Pilkada tahun ini, Ali
Gardi dan Max secara terbuka memutuskan untuk turun ke gelanggang dan
berpartisipasi aktif dalam berkampanye politik. Satu keputusan yang patut
diacungi jempol. Bagaimana tidak, keterlibatan anak muda terlebih seniman muda
adalah perihal yang langka dan jarang kita temui di Situbondo. Kebanyakan anak
muda yang saya temui masih ogah-ogahan
ikut-ikutan kampanye. Jangankan untuk kampanye, untuk nyoblos saja mereka enggan.
Sebagai
seniman, mereka layak diapresiasi karena akan menjadi teladan bagi kawan-kawan
di generasinya supaya tidak alergi dan
“buta politik”. Saya pikir sosialisasi yang paling efektif untuk meningkatkan
kesadaran anak muda untuk memilih ya dengan cara-cara seperti ini.
Sejauh ini, Ali dan Max sudah
membuahkan beberapa karya lagu bertema politik, Ali di kubu Mulya-Abadi
sedangkan Max di kubu Karunia. Sudah dua lagu yang ditulis oleh Ali yaitu
berjudul “Kami Ji Yoyok” dan “Kita Mulya Abadi”. Lagu yang pertama bernuansa
musik EDM, sedangkan lagu yang kedua bertema musik Rap. Di sisi lain, Max baru
saja me-launching lagunya untuk Bung
Karna berjudul “Jingle Perubahan”. Ada hal yang menarik sebetulnya dari
lagu-lagu mereka. Ali lebih tertarik membuat konsep lagunya terdengar “estetik”
dengan menggunakan idiom-idiom musikal yang mbois
dan khas anak muda urban, seperti
menggunakan nuansa EDM, Rap, dan narasi yang berbobot.
Tentu saja ini sangat menarik dan merupakan hal baru bagi masyarakat Situbondo karena Ali mampu memberikan warna lain sekaligus memberikan edukasi musikal kepada masyarakat. Saya yakin Ali pasti sudah matang mempertimbangkan konsepnya. Apakah lagu dengan konsep demikian bisa diterima oleh masyarakat?
Max, dengan pengalaman berkecimpung di indusri musik nasional dan berkutat di skena musik urban justru keluar dari “zona nyaman”nya dengan mengusung konsep ndangdut ndagel. Lagu yang dikemas dengan irama dangdut, tanpa menghilangkan rasa anak muda-nya, menggunakan bahasa sederhana dan sedikit bumbu-bumbu sindiran humor. Efektifkah lagu ndangdut ndagel menyampaikan pesan-pesan politik kepada masyarakat Situbondo?
Biarkan masyarakat yang menilai, yang
jelas proses kreatif Ali dan Max patut diapresiasi, mereka berani keluar dari
zona nyamannya. Ali yang sehari-hari berkutat di ranah musik kreasi tradisi
berani mengusung warna musik anak muda urban, sementara max sebaliknya.
Keterlibatan Ali dan Max dalam konstelasi politik Pilkada membawa angin segar bagi perkembangan musik di Situbondo, bahwa anak muda tidak buta politik. Anak muda juga punya kesadaran berpolitik. Semangatnya patut kita contoh. Cara-cara kerja kreatif semacam ini perlu dilakukan supaya generasi muda tidak hanya terjebak pada stereotip-stereotip tertentu yang justru saling memecah belah. Bukankah kita sataretanan ? Satu Situbondoan? Sehat selalu bro Ali dan Max. Oiya, kapan kita ngopi?
____________________
*) Penulis merupakan penulis buku "Dangdut Madura Situbondoan" dan Dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Unej
Tidak ada komentar