Puisi: Celurit yang Tergantung
Sumahya
Di ruang
hatimu
Kutemukan
hujan lihai mencipta kata-kata untuk kita
Untuk puisi,
untuk matahari yang gagal meminang pagi
Dan kita
adalah bocah-bocah kecil yang senang menanam gigil
Dan waktu
akan memetik kita sebagai kemuning daun pohon mati
Yogyakarta,
2020
Di
Sebuah Cafe
Di sebuah
cafe
Sebuah buku
rindu sedang mengaji rindu dalam rindu
Suaranya
terdengar bising menjerit asing
Satu persatu
abjad-abjad liar gugur sebelum tugur
Ingkari janji
suci seorang penyair:
Anak kata harus
hidup sebagai pengutuk mata
Selebihnya,
mereka kutemukan melompat-lompat
Hendak melarikan
diri dari sekatan sunyi
Karena
berdiam adalah cara lain dari bunuh diri
Wajah kian
pucat memikul gelisah
Ditebar
cahaya karena Lelah
Yogyakarta,
2020
Celurit
yang Tergantung
Entah dari
mana mereka datang
Barangkali
setelah jembatan itu terbentang
Mereka
diam-diam merangkak dengan girang
Ke sebuah
sendang mata nenekku
yang tak
kunjung usai meneteki ladang
Pertama
engkau datang dengan paruh kemeja bersulam uang
Di baliknya
tersimpan taring pedang amat tajam
Tertuju pada
pelepah jantung
Tempat biasa
kita bernaung
Sungguh mahir
engkau bicara
Sampai kita
lupa pada segenggam nasib yang tergantung asri
Di setiap
lambaian kemuning padi
Atau pada
nasib sapi-sapi yang merunduk nyaris mati
celurit sudah
tak ada taring lagi
Ah, kita mau
makan apa?
Yogyakarta,
2020
Malam
Ini
Malam ini
Kenangan buram
seribu abad
Kembali
tandang membawa jejak
Reruntuhan
kasih dan cinta kita
Luka sebagai
tanda
Ujung jalan
menggapai duka
Potongan-potongan
cerita
Tersusun rapi
Lalu,
lahirlah bunyi
Karena sunyi
Adalah ruang
kerja puisi
Karena kata
Setia menjahit
doa kita
Yogyakarta,
2020
Pengamen
Perempuan
Wajahnya
Bulan telah
sempurna menjadi purnama
Kunang-kunang
memandang telanjang
Cahayanya
berguguran di dasar gelap
dan aku telah
menyelesaikan petualang rindu
pada tubuhnya
yang redup
Yogyakarta,
2020
Kepada
Nelayan
Bila datang
nyanyian angin selatan
Gong ditabuh
permulaan pesta para nelayan
Musim telentang dalam nyawa jala
Bising cerita
para petualang bianglala
Tak kala
gemuruh ombak membusur mata keruh
Kami
tancapkan tekad perahu sekeras batu
Merajut
sejarah melempar sauh seasin tubuh
Demi sari
kembang yang terpikul bahu
Silau
cakrawala menasihati waktu renta
Saat kemarau
melambai mesra bercengkrama
2020
Tentang
Penulis:
Mohammad
Cholis lahir di Kampung Telenteyan, Longos, Gapura, Sumenep, pernah nyantri di
PP. Annuqayah daerah Lubangsa Raya, sekarang tinggal di Asrama Garawiksa
Yogyakarta.
Tidak ada komentar