Puisi Mored: Malam Monokrom
Oleh: Heru Mulyanto*
Malam Monokrom
Andainya malam bisa menggantikan siang
Dan siang tak pernah ada...
Andainya senja tak pernah tiba
Dan malam menjadi abadi...
Itu justru malah lebih baik
Hanya lampu, bulan, bintang, dan sepi...
Jikapun senja tak pernah ada, maka Sukab tak akan mencurinya dan mengirimnya pada Alina
Yah, aku juga tak tau mengapa kutulis tulisan ini
Lagi-lagi sampah...
Aku hanya ingat...
Aku hanya ingat seseorang berkata bahwa menulis adalah terapi
Lagi-lagi aku tak tahu maksudnya. Tapi aku tetap menulis
Sinting memang...
Hanya satu hal yang aku ingin menjadi....
Aku ingin terus menggoreng kata sepertinya
Aku ingin menjungkir-balik frasa hingga tampak berharga
Namun, semakin kugoreng kata, semakin tersemburat seruntut kalimat yang mendamprat
Tampak amburadul begitu rupa...
Gegap-gempita pikiran dibuatnya
Menyatu dalam gelap malam
Lalu berubah menjadi putih
Dan kemudian lenyap
Lenyap dalam malam monokrom
–Mahamer
(19 September 2020)
Setelah Gelap
Lembab, dingin, gelap
Syahdu suara Tarhim masjid yang tersisa
Menjelma pengingat diri ini
Yang jauh dari cahaya
Harapan tercurah dari lubuk hati
Rintangan terbentang dari ujung diri
Kerja keras yang tak benar-benar keras
Kemajuan yang tak benar-benar maju
Cukup!!
Gelap Ini adalah gelap terakhir
Hari ini adalah hari terakhir
Malam ini adalah malam terakhir
Hujan ini sebagai pertanda
Rintik perlahan reda, bersama dinginnya udara
Sang surya menghentikan pendarnya bersama langit lembayung
Seakan tuhan membawa lentera dan perlahan pergi seraya berujar
"Sudah cukup untukmu hari ini. Pergilah dan beristirahatlah."
–Mahamer
15 Januari 2020
Desember
Telah menjadi tugasmu menutup suka duka jagad raya
Di bawah dinginmu, seluruh harapan menyemburat
Bagai gerbang menuju misteri dalam semesta
Kau tawarkan tetes-tetes kenangan keluar ingatan
Hujanmu, cerahmu, Semptembermu, seluruhnya akan dikenang
Kupikir aku tak butuh masa depan
Namun, bumi ini tak berujung, matahari menyilaukan
Kubisa hidup sekali lagi
–Mahamer
31 Desember 2019
Hingga
Ada terangnya binar, ada sunyinya gelap
Ada sedih tuk dihibur, ada tawa tuk ditebar
Dalam hati seluruh insan
Nikmati.. nikmati.. nikmati...
Selagi nafas bersedia melewati paru-paru
Selagi jantung tak kehilangan detaknya
Selagi langit masih biru
Selagi ombak masih mendebur
Nikmati.. nikmati.. nikmati...
Hingga tangan tuhan, yang menentukan
Hingga langit tak lagi biru
Hingga kejujuran tak lagi ada...
Hingga matahari menemui bulan
–Mahamer
September
Langit sore itu
Tak ada yang lebih indah
Kendati panas menyorot, namun September
Ku bernyanyi serak,
Karena teriakku memekakkan melebihi apapun
Ku berdansa pincang,
Karena lariku lebih kencang dari siapapun
Kendati sakit, namun September
Tak luntur oleh waktu, tak hanyut oleh zaman
Datangnya membawa nikmat, hasrat, berkat...
Perginya merampas tahta, harta, jiwa...
Kendati pilu, namun September
Andainya September adalah setahun
Mungkin tak akan ada tulisan ini
Mungkin kau tak akan membaca sampah ini
Apa harganya? Melihatnya saja bahkan membuat mual
Kendati demikian, namun September
Tawa ria, suka cita, duka lara
Bagai mengendap di dasarnya
Di dasar September.......
–Mahamer
(7 September 2020)
Sangtuari
Tak perlu buku, tak pula pena
Tak perlu tas, tak pula pensil
Dalam teguh bumi ini
Terkandung guru paling bijak
Belajarlah darinya
Dalam ambang hidup ini
Terhampar sang waktu
Ambillah dirinya
Ialah tuan yang kejam
Namun ialah pula, kawan yang dermawan
–Mahamer
________________
*) Penulis adalah alumni SMASA, penyuka sastra.
Tidak ada komentar