Sebuah Kado di Hari Pernikahanmu
Liana yang manis, Liana yang sendu.
Apa kamu masih menyukai senja ? Kamu selalu berkata sangat menyukai
senja padaku, menikmatinya dengan duduk di bawah pohon cemara sambil bercakap-cakap
dan melihat matahari yang perlahan tenggelam ke balik cakrawala.
Dan tahukah kamu dimana aku berada saat ini ? Ya, aku berada di tempat
dimana kita selalu mengahabiskan waktu bersama memandangan langit dengan warna
jingga, burung yang berterbangan di atas cakrawala, pasir hitam yang basah, dan
angin melambai-lambai apapun yang disentuhnya.
Sebagai seorang pelukis tentu aku
sangat menyukai pemandangan semacam ini, aku sangat menikmatinya, dengan sepasang
mataku ku rekam keindahanya lalu ku simpan dalam ingatan, untuk apa Liana ?
Tentu saja untuk aku lukiskan di atas kanvas yang masih kosong jika suatu waktu
kau tak dapat melihat keindahan yang sedemikian.
Liana yang manis, Liana yang sendu. Tapi semuanya telah berubah dan terlihat
sangat berbeda, kamu yang biasanya duduk di sampingku menemaniku melukis hingga
selesai sudah tidak mungkin kita lakukan bersama lagi. Mungkin saat ini kau
tengah duduk di atas sofa empuk bersama laki-laki yang telah kau pilih sebagai
suamimu, kini aku sendiri tanpa ada seorangpun yang menemani.
Akan tetapi tidak masalah bukan ? Jika aku melukis senja ini hanya
untukmu dan karenamu, karena tidak mungkin kau menikmati senja bersamaku lagi,
bisa-bisa suamimu akan cemburu. Tapi apakah itu salah liana ? Jika perbuatan
merampas kekasih orang saja di anggap suatu yang biasa, mengapa yang demikian
tidak. Padahal kita saling mencintai, hanya saja karena orang tuamu yang gila
harta menutup mata untuk laki-laki seperti diriku.
Aku yang hanya seorang pelukis dimana
masa depannya belum tentu pasti, sudah dapat di pastikan mereka lebih memilih
laki-laki dengan harta yang melimpah, mobil mewah dan rumah yang nampak seperti
istana. Padahal kau jijik bukan melihat suamimu itu, jujur saja aku merasa
kasihan padamu. Dan aku harap kau tidak mengira aku tidak sakit hati liana. Tapi
aku ingin berkata padamu bahwa laki-laki memang tidak menangis, tapi yang pasti
hatinya teriris.
Akan aku ceritakan sedikit bagaimana aku melukis senja ini untukmu, dan
yang pasti aku akan mengirim senja ini untukmu, karena aku melukisnya
hanya untukmu bukan untuk orang lain! Aku akan mengirimnya melalui tukang pos atau jasa kirim lain dan semoga kamu menerimanya dalam keadaan yang utuh
sebagaimana saat aku melukisnya untukmu.
***
Sore itu saat keindahan senja tengah berlangsung, aku duduk di bawah
pohon cemara memandangan langit yang berwarna jinga, saat itu tidak ada manusia selain diriku. Dengan dada sesak mengingat kenangan saat bersamamu, aku
mencoba menebarkan pandangan pada ke sekeliling. Terlihat burung yang beterbangan
di atas cakrawala juga ombak yang menggulung-gulung menghempas bibir pantai,
semuanya terlihat indah seakan dunia ini benar-benar nyata.
Lalu dalam kesendirian itu aku teringat sesuatu dan berpikir apa yang
akan aku hadiahkan saat hari pernikahanmu yang tinggal beberapa hari lagi, aku
berpikir apa aku harus menghadiahkanmu boneka lucu yang terbungkus dalam kotak
kado, atau menghadiahkanmu pisau yang setidaknya berguna untuk membantumu dalam
memasak atau jika kamu mau, kamu bisa gunakan untuk membunuh suamimu, tapi tidak
aku tidak akan melakukannya karena aku bukan sejahat itu. Lalu tiba-tiba dalam
kepala terbersit sesuatu, aku kira senja ini sangat cocok untuk hadiah pernikahanmu.
Kemudian aku cepat-cepat mengeluarkan alat lukis yang selalu aku bawa di
dalam ransel kemana pun aku pergi. Aku keluarkan cat yang terdiri dari berbagai
warna beserta kuas dan palet, lalu aku berdirikan spanram di atas pasir,
spanram itu terbuat dari kayu yang cukup kuat untuk sekedar menopang kanvas
yang berukuran 50 kali 60 cm tapi tak cukup kuat untuk menopang rasa sakit
akibat kenangan.
Aku lihat langit yang berwarna
jingga membayangkan bagaimana ketika semua keindahanya berpindah di atas kanvas
yang masih kosong tapa sedikitpun coretan pada permukaanya. Akan tetapi aku
sedikit ragu apakah cat yang aku pakai dapat menyamai keindahan warna aslinya,
aku terdiam sejenak menimbang-nimbang kumungkinan bagus atau tidaknya lalu aku
berfikir begini : Bagaimana jika semua warna yang ada pada keindahannya aku
pakai saja, sehingga aku tak perlu menghabiskan cat yang aku punya. Busyet! Apakah
itu mungkin? Bahkan pelukis seperti Leonardo Da Vinci saja tidak akan melukis
dengan cara seperti itu ia pasti melukis menggunakan cat dan dengan cara
seperti kebanyakan pelukis lakukan.
Ya walau Aku memang tak dapat melukis sebagus Leonardo da vinci atau Picasso,
akan tetapi aku akan melukis senja ini dengan tidak menggunakan cat, melainkan
menggunkan warna yang ada padanya dan pasti hasilnya akan persis sama, akan aku
gunakan semua warna yang ada padanya dan memindahkannya di atas kanvas ini
hanya untukmu, dan karenamu.
Perlahan aku mulai mengambil warna jingga di langit itu dengan kuas,
menaruhnya di atas palet lalu menggoreskannya di atas permukaan kanvas yang
terasa sedikit kasar. Aku perhatikan dengan teliti bentuk matahari yang bulat seperti
bola terbakar, langit dengan burung yang berkepak dan ombak yang menggulung
menghempas bibir pantai, dan pasir yang basah, aku perhatikan
setiap detailnya agar semua tampak indah dan nyata.
Kemudian aku pindahkan juga warna laut yang biru dengan kilatan cahaya
pada permukaanya karena sinar matahari, juga tak lupa pohon cemara dan burung
yang berterbangan di cakrawala. Hingga lukisan ini benar-benar persis sama dengan
senja yang asli.
Di depan mataku kini lukisan itu selesai, tidak butuh waktu lama untuk
melukisnya karena semua ini tanpak menyenangkan bagiku. Walau ini hanya sebuah
lukisan senja tapi juga merupakan semesta liana, terlihat dalam lukisan itu
langit yang berwarna jingga, ombak yang berkerak menyentuh bibir pantai, juga
bebera burung yang terbang di langit seakan lukisan ini benar-benar
nyata.
Dan taukah kamu Liana? Kini dunia di depan mataku telah berubah, langit,
laut, dan semua keindahanya tidak lagi berwarna, semua yang nampak di depan
mata hanyalah seperti sketsa dalam kertas gambar atau seperti foto tak
berwarna. Semua keindahannya kini telah berpindah di atas sebuah kanvas. Dan
itu bukan hanya terjadi di tempat ini, di seluruh dunia kini senja tak
lagi berwarna orang-orang yang menikmati senja di tempat yang berbeda
kebingungan. Meraka panik melihat dunia yang seperti sketsa.
“Ada apa ini, ada apa ini?”
“KIAMAT! Ini kiamat” Orang-orang berlarian panik, para turis berlari
degan bikininya, pedagang es kelapa muda meninggalkan dagangannya, sirine
ambulan dan polisi meraung-raung semua panik, berita di layar televisi semua
menayangkan tentang senja yang tak lagi berwarna.
“Sodara-sodara senja tak lagi berwarna, cepat selamat diri anda mungkin
ini bencana alam atau sudah akhir dari kehidupan di dunia.”
Setiap kantor pusat bencana alam di seluruh dunia seketika sibuk
meneliti bagaimana senja kehilangan warna, para ilmuan satu-persatu rambut di
kepalanya rontok dan mengeluarkan asap karena sibuk mencari rumus-rumus,
seorang fotografrer sibuk mengarahkan kameranya ke setiap arah memotret momen
yang langka, dan seorang pencuri mengambil kesempatan di tengah kepanikan untuk
mencuri benda berharga yang tak sengaja tertinggal di bibir pantai. Dunia
dilanda kepanikan, mereka tidak tahu bahwa ada seorang pelukis yang melukis
dengan mengambil warna asli senja di suatu tempat di belahan dunia lain. Busyet!!!.......
Tentu aku kaget, aku tidak tau jika dengan menggunakan warna yang ada
padanya akan menghilangkan warna aslinya, astaga! aku kebingungan melihat dunia
yang seperti gambar ini. Tapi apakah sebenarnya dunia memang begini ya? Dimana
semua yang nampak terasa indah dan baik-baik saja di depan mata kita ternyata
hanya kekelaman semata, mungkin di luar sana ada yang tengah meregang nyawa
karena kelaparan atau anak-anak yang mengemis di persimpangan jalan. Bukankah
dunia kita seperti itu Liana.
Tapi bagiku bukan masalah jika keindahan warna senja kini terlihat
seperti gambar. Aku tidak peduli ! Karena aku telah melukis keindahanya di atas
kanvas ini, dan keindahan ini akan aku berikan untukmu agar kau dapat
menikmatinya di ruang tamu bersama suamimu saat pagi, siang, sore, dan malam. Sehingga
kau tak perlu duduk di bawah pohon cemara bersamaku, dan pada akhirnya kau bisa
pura-pura bahagia dengannya.
Akan ku kirimkan lukisan senja ini untukmu melalui tukang pos atau jasa
pengiriman apa saja. Semoga kamu menerimanya dengan keadaan utuh seperti saat aku
melukisnya di suatu tempat dimana kita selalu menghabiskan waktu bersama. Ini adalah
hadiah dariku, orang yang selalu mencintaimu semoga kau menyukainya dan bersama
lukisan ini pula ku lukisan cinta, rindu, dan harapan bisa hidup bersamamu. Jangan menangis ketika kamu membaca ini dan selamat melakukan selebrasi kesedihan Liana. (*)
Situbondo, 09 September 2020
*Tulisan ini terinspirasi dari cerpen SGA: Sepotong
Senja untuk Pacarku.
Alexong, Lahir di Situbondo, 09 September 1999. Kini menetap dimana saja dan
sedang aktif menulis cerpen dan membuat ilustrasi.
Tidak ada komentar