Bocah dari Palung Merah
Oleh: Heru Mulyanto*
Pembaca
yang budiman, kisah
ini berawal dari suatu pagi. Pagi yang indah. Pagi yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pagi dengan
bunga-bunga bougenville di halaman
rumah, berbalut embun yang dingin, disinari cahaya matahari yang menciptakan
perasaan yang jarang manusia rasakan. Tak peduli siapapun kita, punya masalah
apapun, dan bagaimanapun orangnya. Aku yakin, siapapun akan tersimpuh
menyaksikan pagi itu. Pagi yang sangat langka. Sebuah pagi di sebuah Desa
dipinggir rel kereta. Desa ditengah huma gandum yang luas. Rumah-rumah
sederhana beratapkan kayu di tengah kuningnya ladang gandum yang
siap dipanen. Terdapat satu rumah yang berbeda dari rumah-rumah lainnya. Rumah
itu selalu sepi apapun kondisinya. Saat pesta ria, suka cita. Apapun kondisinya!
Seakan-akan, aura gelaplah yang menjadi konstruksi dinding kayu mahoni rumah
tersebut. Kayu demi kayu, paku demi paku. Semuanya terbuat dari kepedihan.
Sampai aku lupa. Itu rumahku sendiri.
Aku
anak petani kaya raya. Ayahku memiliki ladang gandum yang luasnya tak seperti
ladang gandum orang lain. Ibuku adalah putri seorang penguasa di daerahku. Aku
yakin, kalian para pembaca budiman, pasti membayangkan bahwa hidupku cukup
bahagia. Bergelimang harta, menyandang gelar bangsawan. Tapi, aku jamin pikiran
kalian sama sekali salah! Hidupku mungkin dapat digambarkan seperti kondisi kota
St. Petersburg tahun 1800-an. Penuh kemelaratan, sunyi, hanya terdapat gelandangan
tanpa identitas yang berjalan kesana-kemari. Mendung, kejahatan di mana-mana
dan... Ah! sudahlah. Aku tidak bercerita tentang Saint Petersburg. Tapi
begitulah kira-kira gambarannya. Lantas, bagaimana mungkin? Bangsawan yang
miskin? Ini sama tidak mungkinnya dengan gajah yang secara tiba-tiba terlihat
sekecil lalat. Tapi kalian harus percaya.
Aku
ini orang sakit! Aku yakin itu! Namun, aku tak butuh dokter. Dokter dari manapun.
Karena dokter-dokter itu memang tak akan bisa menyembuhkan sakitku. Mau mereka
periksa bagaimanapun juga, yang mereka katakan pastilah hanya:
“Anak
ibu baik-baik saja. Tidak ada satupun cidera atau kelainan pada organ manapun.
Sebaiknya perbanyak istirahat dan jaga pola makan.” Omong kosong!
Karena
mereka memang tak mampu melihat sakit ini. Sakit yang telah aku idap selama
belasan tahun. Bahkan sejak aku berumur 5 tahun. Tanpa sadar, aku sudah ngelantur
terlalu jauh dari jalan cerita. Mari kembali ke inti.
“Bangsawan
yang miskin”. Terdengar seperti lelucon, memang. Tapi hal itu adalah nyata
karena ayahku adalah seorang pejudi dan pemabuk yang pulang dengan menimbulkan
rasa takut bagi seluruh penghuni rumah apabila ia datang. Oh iya... aku lupa bilang
kalau aku ini 5 bersaudara. Menjadi yang tertua bukanlah perkara yang mudah,
wahai para pembaca. Setiap malam, aku mengurung diri di dalam bilikku yang
mungkin agak terlihat seperti kandang babi. Tak lama kemudian, terdengar suara
benda pecah dan kebisingan yang kudengar begitu nyata, merangsek telingaku.
Siapa lagi kalau bukan seorang pemabuk dan seorang wanita lemah di ruang tengah
yang sedang bertengkar disaksikan keempat saudaraku yang masih kecil. Situasi
itu hampir terjadi setiap malam. Entah sampai kapan begini. Astaga... aku lupa
lagi. Aku tinggal di desa kecil sebelah barat Edinburgh. Agak jauh jaraknya.
Anda bisa menempuhnya selama 2 hari dari Edinburgh dengan kereta kuda. Karena
memang tak ada lagi kendaraan yang lebih cepat dan kuat menempuh medan jalanan
tanah yang mengerikan itu. Sampai mana aku tadi? Oh iya... keributan di tengah
malam. Kejadian itu terjadi hampir setiap malam selama setahun. Agak miris dan
sedikit konyol memang.
Suatu
ketika, sebuah kejadian yang tak kalah konyol pun terjadi. Coba tebak. Aku
memakan sabun di toilet rumah dengan pintu terbuka. Akupun tak tahu mengapa
kulakukan itu. Setelah kuingat-ingat lagi, ternyata benar. Karena
ketidakmampuanku melihat ibuku yang sakit setiap harinya karena menerima
hantaman pria mabuk yang datang tiap malam. Aku pun memakan sabun sebesar
kepalan tangan itu dengan sekonyong-konyong. Berharap semua kemalangan ini
segera berakhir.
“Lelaki
itu yang pergi, atau aku saja yang pergi! Pergi dari dunia ini!” Gumamku dalam
pikiran
Aku
bahkan bingung, pantaskah ia kupanggil “ayah”.
Toilet
itu terletak persis di depan dapur, dengan ibuku yang sedang memasak di sana.
Aku memakannya layaknya unta kelaparan yang memakan kaktus dengan lahapnya. Tentu
saja wanita itu berlari dan menamparku. Bermaksud agar aku memuntahkan sabun
dari mulutku.
“Sedang
apa kamu! Apa yang kamu lakukan, bodoh!” Bentaknya dengan wajah dibanjiri air
mata.
Aku
hanya diam saja.
Hari
demi hari, selalu saja begitu. Seperti itulah kondisi yang dapat kalian
bayangkan saat malam tiba. Lain halnya saat fajar menyingsing. Itulah saat yang
paling aku suka dalam hidupku. Saat gelap pergi dan rembulan tenggelam,
digantikan cahaya surya yang berbinar di ufuk barat. Saat embun-embun pagi mulai
terbentuk dan suara tetangga saling bersapaan. Saat burung-burung gereja mulai
berterbangan di atas huma gandum bersama matahari pagi yang cerah. Akupun
mencampakkan diriku di atas rumput halaman rumah, di samping semak bougenville
yang dibalut embun. Pagi terindah yang kusebutkan tadi di awal cerita. Aku
sangat menikmatinya sambil berharap, malam tak pernah tiba. Dan bila kalian
ingin mengetahui apa yang aku lakukan ketika siang hari, aku menjual hasil
panen ke pasar yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari desaku. Itulah
pekerjaanku setiap hari. Aku membawanya dengan sepeda tua yang aku kaitkan
dengan gerobak yang berisi hasil panen dibelakangnya. Dan membawanya ke pasar.
Tidak pantas rasanya, ketika kita melihat seorang pemuda yang sudah cukup
dewasa untuk menjadi seorang perwira, ataupun polisi. Atau mungkin bekerja
sebagai juru taksir di pegadaian pun boleh. Malah menjual gandum di pasar. Agak
aneh rasanya.
Aku
kenal banyak orang saat aku berjualan di kiosku yang sederhana dan bahkan
hampir tak terlihat seperti kios. Aku kenal seorang lelaki paruh baya yang
berprofesi sebagai Inspektur di Edinburgh, Pak Nicholas namanya. Aku juga kenal
seorang wanita dengan tubuh agak tinggi dengan suara yang mirip seperti ibuku,
Nyonya Louisa. Ia lebih senang dipanggi “Bu” karena sebenarnya ia seorang guru
SMA. Mereka sangat ramah dan sering mampir ke kiosku untuk membeli beberapa
Kilo gandum.
Ada
satu orang lagi yang kukenal dan aku tak bisa berhenti memikirkannya setiap
saat. Namanya Alexandra. Perempuan cerdas yang sedang menimba ilmu di
Universitas Edinburgh. Aku tak tahu kenapa rasanya aneh sekali setiap kali
memandangnya. Ia berambut pendek sebahu dengan warna pirang kecoklatan. Matanya
biru dengan pakaian yang sederhana. Ia memiliki paras yang anggun dan lembut.
Rumahnya tak jauh dari rumahku. Ia ke Edinburgh setiap hari menaiki kereta kuda
milik ayahnya. Karena ayahnya memang seorang saudagar kaya. Oh Tuhan... aku
benar-benar memujanya. Dia kenal aku. Akupun sering bertemu dengannya dan
mengobrol santai di sore hari di sebuah kedai kopi pinggir stasiun yang tak
jauh dari pasar, sambil memandangi huma yang menguning bersama mentari sore.
Sebenarnya, kami telah saling kenal sejak kecil. Saat semuanya masih baik-baik
saja, saat dunia masih belum menjadi sebangsat ini. Saat aku masih merasakan
kasih sayang murni dari seorang ayah dan ibu. Aku mencintainya. Aku benar-benar
mencintainya Tapi, aku yakin aku ini pengecut. Cukup pengecut untuk sekadar
menyatakan perasaanku padanya. Apakah ia akan menerimaku dengan kondisiku yang
begini? Apa reaksinya nanti? Dan apakah ia juga mencintaiku?
Terkadang
aku merasa begitu rendah. Mengingat aku ini miskin. Membayangkan seorang anak
saudagar kaya yang menikah dengan orang sepertiku. Aku ini apa? Aku hanyalah
kutu! Kutu busuk yang menjijikkan dan tak akan pernah diterima di manapun juga.
Pikiran itu menyambar-nyambar di kepalaku selama beberapa saat.
Hari
itu, aku usai berdagang dari pasar dan pulang dengan membawa beberapa Poundsterling
hasil penjualan gandum. Hari sudah gelap dan ban sepedaku bocor. Perjalanan pulang
memakan waktu lebih lama dari biasanya. Setelah sampai di rumah, aku disambut
dengan suara riuh gaduh dari dalam rumah. Ya, benar sekali. Ayahku telah pulang
mendahuluiku dengan kondisi mabuk seperti biasanya. Entah, roh jahat apa yang
merasukinya kala itu, tetapi kemarahannya pada malam itu jauh lebih mengerikan
dari biasanya. Aku berusaha menenangkan keempat adikku yang salah satunya masih
berumur 7 bulan. Mereka semua menangis meraung-raung. Menangis sejadi-jadinya
melihat kondisi malam itu. Mendadak hujan turun dengan derasnya, disertai bunyi
guruh-gemuruh guntur yang seakan menjadi pertanda buruk malam itu. Dalam 19
tahun hidupku, aku tak pernah merasa setakut itu. Benar-benar tak pernah merasa
setakut itu. Lelaki itu mendadak mendekatiku.
“Mana
uangmu! Jangan bilang, kau keluar rumah seharian dan pulang dengan tangan
kosong!” Ujarnya merebut uang di sakuku sambil mabuk.
“Aku
butuh lebih banyak dari ini, dasar bedebah! Aku tak bisa terus-terusan kalah taruhan
dan ditertawakan orang!
“Cukup!”
Ibuku membentaknya
“Dia
ini anakmu, bangsat! Sadarlah! Tolong sadarlah! Kau tidak bisa terus-terusan
seperti ini, bodoh!
“Apa
kau bilang? Bodoh?” Ayahku memekik
“Iya!
Penjudi sepertimu hanyalah sampah! Sebuah kesalahan aku menikahimu. Ternyata
aku salah memilihmu sebagai suamiku. Harusnya aku tak melakukan itu”
Para
pembaca, aku minta maaf jika kalian merasa tak enak mendengar kelanjutan kisah
ini. Masih belum terlambat untuk berhenti membaca tulisan ini dan beralih
membaca karya sastra lainnya. Setidaknya aku telah memperingatkan kalian. Saat
itu, aku berdiri di depan sofa di ruang tengah, menyaksikan peristiwa nahas
itu. Malam pun semakin mencekam dengan guntur yang terus menyambar-nyambar.
Setelah mendengar perkataan ibuku tadi, tanpa basa-basi ayahku langsung
menjambak rambutnya, dan menyeretnya ke dapur. Disana, tergantung sebilah kapak
di samping lemari. Malam itu, menjadi malam yang terkutuk dalam sejarah
hidupku. Adik-adiku terus menangis dan aku hanya bisa menenangkan mereka. Tak
menunggu lebih lama lagi, akupun mengejar ayahku yang menyeret rambut ibuku.
Tidak. Aku salah memanggilnya ayah. Malam itu, ia sepenuhnya menjadi iblis. Aku berlari ke dapur. Namun, aku
tak mendengar suara apa-apa lagi selain rintik hujan dan guntur. Rupanya, aku
terlambat. Lelaki itu telah menancapkan kapak yang tergantung tadi, di kepala
ibuku. Ia pun tewas bahkan sebelum ia menjerit sekalipun. Hujan mendadak reda.
Aku menggigil melihat mayat wanita itu terbaring, bersimbah darah. Ya Tuhan..
aku telah hancur. Aku sayang ibu. Aku sangat menyayanginya. Malam itu, aku
menyesal dengan sangat dalam. Karena ia mati sebelum aku sempat
membahagiakannya. Tubuhku menggigil menyaksikannya. Lelaki itu menghampiriku.
“Jika
kau dan adik-adikmu tidak mau menjadi seperti wanita itu, maka diamlah!” Ia
mengancamku
Aku
kembali ke kamar adik-adikku dan memeluk mereka erat-erat. Aku ingin menangis
dan menjerit. Tapi, aku tak bisa. Entah kenapa tenggorokanku terasa berat. Aku
dan empat adikku pun tertidur. Hingga pagi datang. Pagi itu, semuanya terlihat
seperti tak terjadi apapun. Tak ada noda darah sedikitpun. Kapaknya pun bersih
dan tergantung dengan rapi di tempatnya semula. Adik-adikku tentu saja tak tahu
apa yang terjadi malam hari tadi. Semuanya benar-benar terlihat seperti tak
terjadi apa-apa. Bahkan aku tak tahu dimana lelaki itu membuang, membakar, atau
memusnahkan jasad ibuku. Pikiranku mendadak menjadi aneh. Pikiran ini belum
pernah masuk ke dalam kepalaku sebelumnya. Ia adalah rasa benci yang begitu
nyata. Aku mendadak kehilangan akal. Sempat terlintas sekelebat pikiran.
“Apa
artinya hidupku jika sudah begini? Aku hidup, aku berjuang, aku berlari, dan
aku jatuh untuk membahagiakan wanita itu. Ibuku. Yang sekarang telah tiada. Apa
gunanya hidupku sekarang? Mungkin aku juga harus menyusulnya”
Pikiran
mengerikan itu hanya sebatas kelebatan yang lewat dibenakku. Kemudian, rasa
benci itu kembali lagi di palung hatiku yang terdalam. Rasa benci yang begitu
keras, begitu mengerikan. Sampai tanpa sadar, aku berada di dapur tempat ibuku
terbaring sambil memandangi kapak itu.
“Nyawa,
harus dibayar nyawa. Dan darah, harus dibayar darah pula!”
Aku
ambil kapak itu. Kubawanya ke kamarku. Hingga sore tiba. Aku menunggu lelaki
itu dengan sabar, sebelum melancarkan tujuanku. Mentari pun terbenam. Dari
kejauhan terdengar langkah kaki yang tak asing. Benar saja. Ia telah tiba. Aku
tetap di kamarku, menunggu saat yang tepat. Ia berjalan masuk rumah dan ke
dapur sambil membawa botol minuman yang masih di bawanya dari luar rumah. Iblis
yang ada padanya tadi malam, mungkin telah berpindah ke dalam diriku. Aku
mendekatinya dari belakang. Semakin jelas tubuhnya terlihat, semakin kuat
kebencianku. Ia menghadap ke arah lemari di dapur. Ku hantamkan bagian punggung
kapak itu ke kepalanya, hampir sama seperti ia melukai ibuku. Ia kemudian tersungkur.
Ku hantamkan lagi satu kali. Ia pun tak bergerak. Aku melihat ke arah dinding
rumahku yang berlubang terkikis usia. Lubangnya besar sekali. Cukup untuk
menyembunyikan mayat ini. Tanpa pikir panjang langsung kumasukkan jasad itu ke
dalamnya. Lalu kutimbun dengan semen yang bahannya mirip dengan tembok itu.
Adik-adikku? Apakah mereka melihatnya? Dengan pertolongan Tuhan, mereka
tertidur pulas dan tak tahu apa yang kulakukan ini. Untuk enam hari, aku memang
tenang dan merasa aman karena aku yakin kejahatanku ini tak akan terbongkar.
Aku bahkan tak menganggap ini sebagai sebuah kejahatan. Aku hanya membalaskan
dendam ibuku. Namun, di hari ke tujuh, semuanya mulai runyam.
Dengan
tak disangka-sangka, segerombol polisi datang menyatroni rumahku. Mereka tampak
menyelidiki suatu kasus. Kasus apalagi kalau bukan kasus kematian ibuku. Di
antara mereka, datang pula Alexandra yang dari jauh sudah penasaran dengan
keramaian di depan rumahku. Ketua tim investigasi, yaitu Pak Nicholas,
mengabarkan kalau mayat ibuku ditemukan di pinggir sungai tak jauh dari desa.
Karena itulah mereka mendatangi rumahku. Seluruh bagian rumah disisir, tanpa
terkecuali. Setelah sekitar tiga puluh menit, mereka tak menemukan kejanggalan
apapun. Aku merasa lega. Polisi-polisi itupun berjalan menuju pintu keluar,
Tetapi,
sesuatu yang aneh pun terjadi. Suara rintihan tiba-tiba terdengar dari dalam
dinding itu. Sebuah suara yang sangat asing. Tak pernah kudengar sebelumnya.
Rintihan yang sayup-sayup itu mendadak berubah menjadi jeritan. Jeritan yang
sangat mengganggu telinga. Bukan! Itu bukan jeritan. Itu adalah lolongan.
Lolongan dari alam lain. Semua orang nampak ketakutan. Dan dengan kekuasan
Tuhan, dinding itu roboh. Terkulai jasad lelaki itu membusuk dengan darah merah
kecoklatan. Di samping tubuhnya tampak berdiri sosok hitam dengan satu mata
merah memandangiku. Meraung dengan benci ke arahku.
Kejadian
di hari itu, menghantarkanku ke tiang gantungan di belakang rumah. Sebuah tiang
dengan tali untuk menggantung jemuran. Namun, tali itu kugunakan untuk
menggantung leherku. Aku tak dapat lari ke manapun selain ke tiang itu.
Pembaca
yang budiman, saat kalian membaca tulisan ini, mungkin aku telah menjadi abadi.
Dan kalian adalah saksi nahasnya peristiwa ini. Saksi kejadian yang tak
menguntungkan ini. (*)
Situbondo, 03 Oktober
2020
(Tulisan ini terinspirasi dari novel sastrawan Rusia, Fyodor Dostoyevsky: Kejahatan dan Hukuman)
_________________
*) Penulis lahir di Demak, 07 Januari 2002. Alumni SMAN 1 Situbondo, pegiat
Rumah Sastra SMASA.
Tidak ada komentar