“CACAT” DI UU CIPTA KERJA
Oleh Marlutfi Yoandinas*
Mengapa
dalam naskah UU Cipta Kerja masih ada kata “cacat” untuk menyebut penyandang
disabilitas?
Bukankah paradigma “cacat” dalam UU 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat sudah tidak sesuai lagi, sehingga harus diganti UU 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas?
Akankah hal ini semakin menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja memang
malaproses,
karena belum genap
lima tahun UU Penyandang Disabilitas disahkan, tetapi sudah diabaikan oleh para
pembuat, penyusun, dan pengesah UU Cipta Kerja?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas mengemuka dalam diskusi bersama pegiat isu disabilitas. Teman-teman
disabilitas merasa semakin diabaikan, terutama yang saat ini sedang “berjuang
di lapangan”. Berupaya melawan stigma dan memperjuangkan haknya agar bisa hidup
setara dan semartabat sesama Warga Negara Indonesia. Bibit-bibit kesadaran
tentang inklusi disabilitas yang sudah ditanam kepada segenap unsur pemerintah,
swasta, masyarakat, dan keluarga disabilitas, menjadi seolah begitu saja
diabaikan dan tidak diakomodasi dalam naskah UU Cipta Kerja.
Padahal
dalam UU 8/2016 sudah disampaikan bahwa penyebutan “cacat” berarti masih
berparadigma belas kasihan (charity based),
yang memandang disabilitas sebagai masalah sosial sehingga hanya perlu diberi
jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan ditingkatkan
kesejahteraan sosialnya. Paradigma belas kasihan terbukti telah abai terhadap
pemenuhan hak sesama manusia dan dalam penerapannya sudah dianggap gagal.
Jika
paradigma ini yang dijadikan pedoman dalam UU Cipta Kerja, jelas sekali bahwa
UU ini telah mengabaikan Undang-Undang Dasar 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas (CRPD), UU 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas.
Lebih
spesifik, menurut Bahrul Fuad–Komisioner Komnas Perempuan–menilai bahwa UU
Cipta Kerja tidak toleran terhadap penyandang disabilitas terutama pada Pasal
154 A
yang menyatakan “pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan (l)
pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan”. Pasal tersebut bertentangan dengan UU Penyandang Disabilitas Pasal 53
tentang penyediaan kuota tenaga kerja penyandang disabilitas 2% wajib dipenuhi
oleh pemerintah dan BUMN, serta 1% wajib dipenuhi oleh perusahaan swasta
(validnews.id 7/10).
Pertanyaannya
selanjutnya, mengapa para pembuat, penyusun, dan pengesah UU Cipta Kerja begitu
saja mengabaikan UU sebelumnya, yang lebih tinggi. Jika alasannya karena kurang
cermat, tentu UU ini benar-benar bisa menimbulkan celaka. Jika karena tidak melibatkan
tim yang menguasai tentang isu disabilitas, mengapa prosesnya tidak dibuat
partisipatif dan transparan. Jika kemudian mereka menganggap kesalahan ini hal
yang biasa saja, sudah jelas UU Cipta Kerja memang cacat yang sebenar-benarnya.
Maka jika satu kata saja tidak lagi diindahkan, hanya ada satu kata: LAWAN. []
_________________
*) Penulis merupakan Relawan
Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (PPDiS)
**Sumber gambar: Kompas.com
Tidak ada komentar