Cerpen: Balada Kesibukan
Mata perempuan itu terbuka. Tangannya menarik selimut, lantas mematikan lampu duduk. Dia baru bangun tidur dari malam yang melelahkan sekaligus juga memuaskan baginya. Gemericik air terdengar dari ruang yang tak jauh dengan tempat berbaring perempuan itu. Dia mengedar pandang, dilihatnya dua gelas dan sebotol anggur yang masih sedikit tersisa. Berserak juga kulit apel yang dimakannya kemarin malam, ada juga satu apel yang merah merekah bagai gincu yang menempel di bibir si perempuan semalam. Pagi ini gincu yang menempel pada bibirnya telah memudar.
Si perempuan yang
umurnya sudah tidak muda lagi beranjak dari tempat tidur dengan sedikit malas.
Tangannya cepat mengambil pakaian putih yang menutup bagian tubuhnya tidak
sampai lutut. Dia berdiri, menyibakkan gorden kamar. Jakarta telah pagi,
jalanan padat meski riuh suara kendaraan tidak sampai masuk ke telinganya.
Sembari menatap jalanan, wajahnya mengisyaratkan kegamangan yang ada dalam
hatinya. Seorang lelaki keluar dari kamar mandi, handuk melilit di bagian bawah
tubuhnya. Tanpa sepatah kata yang keluar, lelaki yang tampak muda dan perkasa
itu mendekap tubuh si perempuan dari belakang. Sama-sama—ketika mulut
masing-masing membisu, mata mereka menatap jalanan yang padat. Dalam kebisuan,
si perempuan membalikkan badannya. Bibir mereka bertemu—larut dalam ciuman
serta pelukan yang hangat dan mesra.
Ruang yang serba
putih serupa warna seprai, menghias apa yang ada. Tubuh mereka kembali bergumul
hebat di ranjang, lenguhan berpadu dengan suara yang terus berdesak cepat dan
hebat. Cukup lama, akhirnya jeritan milik perempuan itu datang. Wajah
masing-masing tampak dalam paduan antara lelah, lemas, dan kenikmatan tiada
banding.
Mereka rebah,
bersanding, tidak lagi bergumul. Mata milik masing-masing menatap langit-langit
kamar yang putih serupa gumpalan awan. Mereka juga sibuk dengan pikiran
masing-masing, tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Semua itu
seakan tanda jeda dalam video yang sedang diputar di gawai seorang pemuda. Si
lelaki mengarah pandang ketika perempuan itu beranjak dari ranjang, menuju
kamar mandi. Suara air yang mengalir seakan merdu mengguyur tubuh perempuan
itu. Cukup lama dia di kamar mandi sementara si lelaki masih merebahkan
tubuhnya di ranjang. Perempuan itu keluar dari kamar mandi dengan pakaian
lengkap layaknya pegawai kantoran. Dia juga bergegas mengambil tasnya dan memasukkan
tangannya ke dalam tas, tangannya cepat mengeluarkan amplop berwarna cokelat
dan menaruh benda itu di atas meja, dekat dua gelas kosong dan sebotol wine. Perempuan itu meraih apel merah
merekah yang masih utuh dan memasukkan buah itu ke dalam tasnya. Dengan rambut
hitamnya yang tergerai dan masih basah, dia melangkahkan kakinya yang jenjang meninggalkan
kamar hotel.
***
Lelaki bertubuh
tambun itu memandang ke luar jendela sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.
Gedung-gedung pencakar langit tampak megah menjulang. Pandangan lelaki itu menerawang jauh ke langit biru. Asap yang dia
hembuskan menyerupa gumpalan awan yang putih sempurna. Dua bola matanya terus
saja fokus pada langit yang cerah. Tampak raut wajahnya sumringah menyambut
pagi yang benar-benar sempurna. Suara lenguhan seketika membuyarkan lamunannya.
Si lelaki mengarahkan pandangannya pada perempuan yang rambutnya tampak kusut
dan acak-acakan. Mereka sama-sama beradu pandang dalam diam. Cepat bagai kereta
malam yang berjalan untuk sampai tujuan dengan segera, si lelaki mengembalikan
pandangan menerawang langit. Si perempuan masih saja merebahkan tubuhnya,
tampak kemalasan miliknya menyempurnakan ruang kamar yang putih berhiaskan
bunga lili kuning yang merekah.
Si lelaki
melangkah kecil, tangannya mengambil gelas cocktail
yang isinya masih sedikit. Segera ia mengangkat gelas tanpa tangkai dan tanpa
kaki yang tinggi itu. Cocktail itu
diteguknya. Dua sedotan berwarna hitam ditatapnya dengan mata yang nanar,
sedotan itu tergeletak di atas meja, setelah lelaki dan perempuan itu saling
berbincang sembari menikmati lampu kota yang menjadi penghias malam. Ingatan
akan rayuannya pada perempuan yang saat ini rebah di atas ranjang menguasai
benak si lelaki. Dia jelas ingat setiap rayuan yang keluar dari mulutnya
sendiri, karena rayuan itu memang khas miliknya dan terus diulangnya di kamar,
di mana saat ini dia berada. Bayangan jerit, lenguh, dan napas yang beradu
cepat semalam datang di pikiran lelaki tambun itu. Ada kenikmatan serta
kepuasan yang dirasakannya semalam, dan dua hal itu masih ada, meski tidak lagi
sempurna.
Rokok ditandaskannya
ke asbak kaca yang dekat gelas. Dia menyat dari duduknya, melangkah kecil
mendekat jendela sembari tangannya membawa gelas di mana cocktail tinggal seperempat
di dalam benda itu. Matanya kembali menerawang langit cerah. Balutan jas dan
rambut klimisnya seakan menggambarkan kesempurnaannya sebagai lelaki. Si
perempuan yang sedari tadi di atas ranjang kini telah beringsut dan melangkah
menuju kamar mandi. Muntahan terdengar dari ruang itu, sementara si lelaki
mengerenyitkan dahinya dan bergumam.
Ramainya jalanan
menjadi pemandangan lain yang dilihat lelaki itu dari jendela hotel yang
kacanya tidak bisa dibuka. Sedang fokusnya dia menatap padatnya jalanan ibu
kota, dia merasakan hangat di tubuhnya, perempuan yang tadi di kamar mandi
ternyata sudah keluar dan melilitkan pelukan di pinggangnya. Si lelaki diam,
tak bergerak kecuali tangannya yang masih menggenggam gelas disodorkan ke
mulutnya sendiri. Suara tegukan dari kerongkongan itu terdengar jelas, bahkan
lebih jelas daripada deru kendaraan yang ada di jalan.
Dalam waktu yang
tidak bisa dikatakan sebentar, perempuan itu terus melilitkan tangannya ke
pinggang si lelaki, dan si lelaki masih saja diam. Dia seakan larut dalam
pikirannya sendiri. Lelaki berambut klimis itu merogoh sakunya, mengambil
ponsel dan menunjukkan layar ponsel ke perempuan itu. Keriangan jelas tergambar
dari raut wajah perempuan itu dan pelukannya semakin erat. Si lelaki
membalikkan badannya, tanpa aba-aba dan sangat cepat, si perempuan melumat
bibir lelaki itu dan mereka saling berpelukan. Si lelaki tiba-tiba melepas
pelukannya, setelan jas dan dasi merahnya sedikit dia benahi, dan pamit pergi.
Tubuh tambunnya meninggalkan kamar itu.
***
Di meja makan
berwarna cokelat, berbagai hidangan tersaji. Buah-buah juga ada di atas meja
itu. Denting sendok yang menemu piring putih lebar menjadi suara yang seakan
menguasai ruang makan itu. Lelaki dan perempuan tampak beradu pandang, saling
melempar senyum. Kehidupan mereka tampak sempurna meski di usia pernikahan
mereka yang sekarang masih belum dikaruniai anak.
“Nanti malam aku
ada meeting dadakan, Mas,” ucap si
perempuan setelah menandaskan minumannya.
“Meeting dengan siapa?” tanya si lelaki.
Dengan nada yang
dibuat-buat perempuan itu mengatakan kalau dia akan bertemu dengan teman lelaki
yang satu kantor dengannya. Suaminya hanya mengucap kata yang seakan memberi
pemakluman untuk isterinya sendiri.
“Kau tidak
cemburu?”
“Aku yakin kau
tahu jawabanku.”
Hening menguasai
ruang makan. Si istri mengeluarkan apel dari dalam tasnya padahal di meja makan
banyak buah tersaji. Sementara si suami bergegas mengecek sebuah pesan yang
masuk ke ponselnya.
Seperti
biasa, 105, begitulah
pesan yang tertera pada layar ponsel. Malam ini, masing-masing dari mereka akan
sibuk. (*)
Ruly
R,
bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Mahasiswa di STKIP PGRI Ponorogo. Novel terbarunya
berjudul Kalah (Rua Aksara, 2020).
Bisa disapa di twitter @ruly_r_ surat-menyurat:
riantiarnoruly@gmail.com Telepon: 0812 2630 4320.
Asik banget
BalasHapus