Cerpen: Batu Bolemeta
Waktu
itu musim kemarau demikian berat. Para lelaki nyaris putus asa, para perempuan
sama saja. Mereka berjalan jauh untuk sekadar mendapat air yang tak seberapa. Mereka
tidak pernah lupa berdoa. Mereka juga tak sekali-kali malas berusaha. Tapi
nampaknya usaha dan doa-doa mereka tertahan di udara.
Pada
masa yang sama, kudeta terjadi di pusat kota. Junta militer tiba-tiba berkuasa.
Diawali unjuk rasa ribuan massa menuntut penguasa lama hengkang dari istana.
Militer ada di pihak mereka, dan tanpa adu senjata kekuasaan jatuh begitu saja.
Dunia menyebut peristiwa itu kudeta, tapi massa berkata itu daulat rakyat. Setelah
penguasa lama terjungkal dari kursinya, mereka tetap berunjuk rasa, meminta
militer tanpa proyektil menyerahkan kuasa pada rakyat sipil. Militer tampaknya
mengulur waktu, seakan hendak mengatur rencana bagi berkuasanya junta.
Kabar
datang dari Ayikaka, satu-satunya warga desa dari generasinya yang pernah
bekerja di kota. Ayikaka pergi ke kota atas kemauannya sendiri. Dan karena
harus menempuh jarak bermil-mil, dia mesti terampil dan tahan uji. Adat
setempat melarang penduduk pindah ke kota, tetapi karena Ayikaka keras kepala,
para tetua desa memberikan syarat yang jika sanggup dipenuhi baru dia boleh
pergi. Ayikaka harus mencari dan membawa pulang Batu Bolemeta; batu yang di
dalamnya mengandung air.
Cerita
tentang Batu Bolemeta sudah terdengar lebih dari seribu tahun lamanya. Konon pada
masa dewa-dewa masih sering turun ke dunia, di kawasan itu ada sebentang sungai.
Suatu ketika anak perempuan Bolemeta, pemimpin kawasan itu, dikabarkan hilang. Bolemeta
mengerahkan semua pasukannya untuk mencari. Para penduduk juga tak berdiam
diri, mereka berkeliling sampai tepi-tepi kawasan, menjelajah sampai
perbatasan. Tapi putri Bolemeta tak juga ditemukan. Seluruh kawasan sudah disusuri,
kecuali sungai itu. Timbul pikiran dalam diri Bolemeta, mungkin saja putrinya
ada di sana, di dalam sungai itu. Tapi tak mungkin mengerahkan pasukan untuk
menyelam, sungai terlalu luas dan dalam. Dalam keadaan berduka dan hampir putus
asa, Bolemeta pergi ke puncak bukit tertinggi untuk meminta belas-kasih para
dewa. Namun para dewa tak menampakkan muka. Sebagai gantinya kilat
menyambar-nyambar, memercikkan api yang membakar pohonan dan belukar. Bolemeta
jatuh pingsan dan ketika tersadar sebutir batu sudah berada di genggaman. Batu
itu berwarna ungu, permukaannya bening dan di dalamnya seperti ada lubang
kecil.
Segera
Bolemeta kembali ke rumahnya.
Atas
saran penasihat-penasihatnya, Bolemeta membuat pengumuman, bahwa dia akan
mengeringkan air sungai guna mencari putrinya. Pemimpin itu meminta restu penduduk.
Hampir tak ada yang keberatan, demi ketenteraman hati sang pemimpin, apa saja
akan direlakan. Tapi ada satu orang yang menyampaikan kecemasan; jika air sungai
mengering mereka akan susah mengairi ladang dan sawah. Oleh yang lain orang ini
dikecam, dianggap tak menghormati pimpinan. Bolemeta sendiri berjanji, setelah
putrinya ditemukan, dia akan mengembalikan air ke dalam sungai.
Para
penduduk tak bisa memahami bagaimana sungai yang luas dan dalam itu akan
dikeringkan. Ketika menyaksikan pemimpin mereka meletakkan batu ungu di
permukaan air dan pelan-pelan air berpusar dan terisap masuk ke dalam batu,
mereka serentak berlutut, menundukkan kepala mencium tanah seperti orang
menyembah. Mereka percaya, pemimpin mereka telah diberkati para dewa.
Air
sungai baru habis setelah tujuh malam. Setiap orang kemudian meluncur turun,
berjalan di dasar sungai. Mereka terheran-heran, ke mana ikan-ikan, udang,
kepiting, kerang, belut dan buaya? Apakah hewan-hewan itu ikut terisap ke dalam
batu? atau mereka telah pindah karena tahu di sungai itu mereka tak lagi bisa
berumah? Yang jelas, setelah disusuri
berhari-hari, putri Bolemeta tetap tak ditemukan. Kesedihan bercampur amarah
membuat sang pemimpin hilang kendali sekaligus lupa janji. Dilemparnya batu
ungu ke bukit di mana dulu batu itu didapatkan.
Kekuasaan
Bolemeta pelan-pelan runtuh. Kelompok-kelompok warga membuat gaduh, tak lagi
patuh. Masalah-masalah menguak ke permukaan seperti biji menguak tanah. Karena sungai
tak lagi penuh air, kawasan itu berubah kering-kerontang. Di musim penghujan
air hanya sejengkal, dan setiap datang musim kemarau warga jadi risau oleh
derita. Pertengkaran, perkelahian, bahkan perang antar kelompok bisa terjadi
setiap saat. Kawasan yang semula aman-aman saja, berubah jadi berbahaya. Sampai
sekarang, hanya sedikit yang masih bertahan tinggal, dan yang sedikit itu
bertahan dengan alasan menjaga tanah moyang. Mereka yang tetap tinggal adalah
mereka yang percaya bahwa kawasan itu akan kembali sejahtera bila putri
Bolemeta ditemukan.
***
Ayikaka
menerima syarat para tetua. Dia menempuh perjalanan jauh dan melelahkan untuk
mencari Batu Bolemeta. Dia telah mendaki bukit paling tinggi, kawasan hutan
yang tak pernah dirambah orang, tapi Batu Bolemeta tak berhasil ditemukan.
Merasa telanjur payah, Ayikaka tak sedia pulang dengan hampa tangan. Maka
dikuatkannya pendirian, dia kembali berjalan, bukan untuk pulang, melainkan
untuk melaksanakan rencana pergi ke kota. Apa yang harus dilaluinya ternyata
memang jauh lebih menyiksa. Panas yang memanggang, haus dan lapar,
binatang-binatang liar yang setiap saat mengancam. Untuk menghindari perjumpaan
tak sengaja dengan penduduk, Ayikaka memilih jalur berbeda. Lebih jauh dan
berbahaya, hingga ketika pada akhirnya dia sampai di gerbang kota tubuhnya
sudah tanpa tenaga.
Seorang
saudagar menolongnya, lantas pada saudagar itulah dia bekerja, sebelum kemudian
diterima sebagai tentara. Waktu itu ibukota memang sedang butuh banyak tentara,
karena perang saudara, karena pemberontak berbiak di mana-mana. Ayikaka dapat
posisi yang lumayan tinggi, memimpin satu pasukan kecil untuk menghabisi para
gerilyawan oposisi. Di kalangan rekan-rekannya, Ayikaka dianggap memiliki
mantra, sebab setiap kali akan melaksanakan operasi, ribuan kupu-kupu pasti
datang menghampiri. Seperti pertanda bahwa kemenangan akan berada di tangan
mereka. Ayikaka sendiri percaya pada keajaiban itu dan memanfaatkan kepercayaan
rekan-rekannya untuk memompa mental dan tenaga pasukannya. Alhasil, pasukannya
tak pernah gagal, para pemberontak menyusut jumlahnya dan terdesak di
mana-mana. Sampai kemudian krisis ekonomi terjadi, unjuk rasa dimulai, dan
dalam tubuh militer berhembus kabar santer, kubu tentara terbelah dua.
Ayikaka
loyal pada pemimpin lama, pemimpin yang sudah kehilangan jabatannya. Karena itu
diam-diam dia melepaskan tugas, tak kembali ke markas. Dia pulang ke desa
kelahirannya, kawasan yang makin miskin dan tertinggal.
“Ayikaka
tak kembali dengan tangan hampa,” katanya ketika tetua desa memanggilnya.
Sebagian penduduk berkerumun di luar, penasaran dengan kembalinya Ayikaka.
“Jadi, Ayikaka membawa Batu Bolemeta?” tanya seorang tetua, orang yang bertahun
lalu memberi syarat bagi Ayikaka. Lalu Ayikaka bercerita tentang peristiwa di
ibukota, tentu saja, para tetua tak bisa memahami apa hubungan peristiwa itu
dengan mereka. “Untuk apa semua cerita itu bagi kita? Kami kira Ayikaka pulang
dengan Batu Bolemeta sudah di genggaman,” ucap tetua yang lain dengan suara
bagai angin berpilin-pilin.
“Ayikaka
memang tidak membawa Batu Bolemeta. Tapi Ayikaka datang bersama apa yang lebih
berharga,” jawab Ayikaka. “Apa itu gerangan. Tunjukkanlah pada kami sekarang.”
Ayikaka lalu menunjuk lewat jendela yang terbuka, ke arah barat, dari mana ribuan
kupu-kupu bergerak bagai arak-arakan kabilah. Semua tetua memandang ke arah
barat. Ribuan kupu-kupu itu kian mendekat, semakin dekat sampai kemudian
menutupi pemandangan. Kupu-kupu merubung rumah-rumah, masuk lewat jendela dan
pintu yang terbuka, juga lewat celah-celah atap yang menganga.
“Pertanda
apa ini!”
“Tenang,
tenanglah. Ini pertanda dari dewa. Sebentar lagi, ada yang datang ke sini.
Mereka akan membawa kemakmuran bagi kita!” seru Ayikaka.
Beberapa
saat setelah ribuan kupu-kupu lewat, di luar, orang-orang berlarian sembari berseru-seru.
Ayikaka dan para tetua segera keluar. Mereka melihat barisan kendaraan bergerak
di jalan dusun yang kerontang. Debu naik ke udara seperti sisa-sisa harapan
yang berusaha ditegakkan. Para penduduk masuk rumah dan diam-diam mengintip dari
celah-celah dinding. Barisan kendaraan berhenti di depan rumah tetua. Puluhan
laki-laki turun. Mereka tampak sehat, kuat, dan bertubuh tegap. Di hadapan
Ayikaka mereka memberi hormat dengan meletakkan tangan di kepala. Ayikaka
membalas. Lalu dari salah satu kendaraan, orang terakhir pun turun. Dia
perempuan langsing dengan rambut kuning. Ayikaka mengenalnya sebagai putri
pemimpin yang digulingkan. Perempuan itu mendekat, Ayikaka memberi hormat. Lalu
kepada para tetua, dia berkata, “Ini putri Bolemeta. Sekarang beliau sudah
kembali. Siapkanlah upacara, supaya roh leluhur turut bersuka-cita. Tak lama
lagi kita akan hidup sejahtera!” (*)
Kekalik,
20 April 2019
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan buku puisi terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018).
Tidak ada komentar