Cerpen: Sepasang Pemburu di Mata Ibu
Secepat
anjing pemburu, aku berlari di atas jembatan layang, melewati orang-orang.
Sesekali menoleh ke belakang, sadar tak ada yang mengikuti. Pikirku begitu.
Lantas memutuskan berjalan pelan, hingga kemudian langkahku berhenti tepat saat
melihat pria bertopi hitam tengah menatapku dari bawah jembatan. Sial!
Berjalan
lurus lalu belok ke arah kanan, melangkah di antara toko elektronik yang
berjajar hingga ujung bangunan. Kemudian menuruni anak tangga, menerobos
kerumunan orang-orang yang berkeliling di antara toko pakaian. Aku tak ingin
terlalu menguras tenaga demi menghindarinya.
Namun,
belum sempat aku berpikir, pria itu sudah berdiri di ujung sana. Menatap sambil
tersenyum, seolah berkata:
kutunggu kau di sini.
Lantas aku teringat dengan satu hal setiap kali dia berhasil menemukanku, bahwa dia anjing
pelacak paling mengerikan.
Aku
benar-benar tak berkutik. Berjalan di belakangnya, mengikuti isyarat yang dia
berikan—kami harus mencari tempat yang jauh dari lalu lalang orang.
"Cepat,
berikan!" bentaknya tak sabar. Aku terpojok di antara dinding kamar mandi
yang pesing dan tubuhnya yang beraroma busuk, mengabaikan mandi berhari-hari.
"Apa
maksudnya?" Aku berlagak tak tahu. Dan dia malah menyeringai lebar. Lalu
tanpa izin, merogoh saku celana dan jaketku.
Kali
ini ganti aku yang menyeringai, "Kalau tak bisa kumiliki, jangan harap
bisa mendapatkannya."
"Di
mana kau buang itu?"
"Silakan
cari sendiri. Semoga saja belum hilang." Aku menepis tangannya yang
mencengkeram lenganku lalu berjalan keluar dari kamar mandi.
"Aku
bisa saja melaporkanmu ke polisi."
Langkahku
terhenti, berpikir sejenak lalu berbalik dan tersenyum, "Kekanak-kanakan
sekali."
Dia
mengangkat sebelah alis, "Maka aku harus menemui ibumu." Ucapannya kali ini
membuat mataku terbelalak. Dan dia menambahkan, "Aku harus bilang pada
ibumu, apa yang sudah kau lakukan sepulang sekolah. Penasaran saja, bagaimana
reaksinya kalau tahu putra satu-satunya jadi pencopet."
Sebelum
pria itu menjauh, aku terpaksa memutuskan. "Tunggu. Akan kutemukan dompet
itu untukmu."
***
Aku
mengusap sisa keringat dari berjalan sejauh empat kilometer. Berjalan di
jembatan bambu di atas sungai. Di seberang sana, satu-satunya rumah dengan
dinding kuning yang pudar, di tempat itulah aku dan ibu tinggal.
Sejak
ayah keranjingan judi dan tak pernah pulang, entah bermalam di bar judi atau di
balik sel tahanan, kami tak lagi peduli. Ibu membuangnya dan memilih bertahan
sendiri dengan menjadi penjahit bermodal mesin jahit peninggalan nenek.
"Dari
mana saja, sore begini baru pulang?" Ibu berada di balik mesin jahitnya, menuntaskan
jahitan seragam batik pesanan ibu-ibu PKK.
"Belajar
di rumah teman," bohongku lantas pergi ke dapur. Mengambil segelas air dan
meneguknya. Terbayang pertemuan dengan pria itu siang tadi.
Aku
mencopet bukan sekadar karena perekonomian yang pas-pasan. Lebih dari itu,
entah mengapa, jiwa mencuri begitu melekat. Ada perasaan bahagia usai
melakukannya. Terutama ketika aku sadar, sampai sekarang tak ada polisi yang
bisa menemukanku. Selain lihai mencopet, aku pun lihai menghindar dari kejaran
mereka, tapi sayangnya tidak dari kejaran anjing pelacak itu.
Satu
ide mendadak terlintas. Jika tak mungkin bagiku untuk menjauh, maka menjadi
teman tak sepenuhnya salah. Sebab menghindar pun tak berguna ketika dia bisa
dengan mudah menemukan keberadaanku.
Esok
hari, ketika aku baru saja usai mencopet wanita paruh baya, pria itu kembali
menemuiku. Kali ini aku berusaha membuat kesepakatan dengannya. Bahwa setiap
pendapatan yang aku peroleh, harus dibagi sama rata.
Dia
mengernyit. Seperti tak setuju.
"Kalau
tak mau, maka aku akan berhenti mulai sekarang." Dan itu jelas akan
membuatnya tak mendapatkan apapun. Jika toh ingin mencopet, dia tak selihai
diriku. Polisi akan memborgolnya sebelum dia usai menghabiskan uang curian di
meja judi.
"Baiklah.
Aku setuju," ujarnya. Lantas kami tersenyum. Senyum yang terasa aneh bagi
kami untuk pertama kalinya. Namun di sisi lain, saat itu pula muncul pertanyaan
dalam benak, bagaimana reaksi ibu kalau tahu aku sudah mengkhianatinya?
Aku
mulai memberanikan diri menaikkan level pekerjaan. Targetku bukan lagi
kakek-kakek dengan tongkat panjang, wanita paruh baya yang naik angkutan, atau
lebih parah lagi, orang dengan dandanan mirip konglomerat, tetapi isi dompetnya
tamat.
Si
anjing pelacak, mencarikan target yang didominasi orang-orang kaya ketinggalan
jaman. Yang lebih suka mengantongi uang tunai di kresek hitam daripada
menggunakan kartu ATM. Entah mengapa, selain hobi berjudi, dia pandai mencari
orang-orang sebagai target yang tepat sasaran. Bahkan aku terkejut ketika tahu,
salah satu mangsa kami seorang pria berpakaian lusuh di tengah keramaian.
Segalanya
berjalan lancar, sampai kami sadar, kalau operasi semacam ini tak bisa terus
dilanjutkan. Kami harus mengubah target dan cara beroperasi. Tentu saja ini
demi kebaikan, agar polisi tak mudah menangkap kami. Kadang-kadang ada jeda
selama dua atau tiga bulan setelah mencuri banyak uang.
***
Menginjak
usia dua puluh lima tahun, aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Aku
tersenyum memandang kantor baru itu. Target anyar sudah menanti. Sebuah
perusahaan pasar modal di tengah kota.
Perlahan
tapi pasti, aku mulai melakukan penipuan besar-besaran. Ah, benar. Taraf
pendidikan bukan hanya mengangkat kelas sosial, tetapi juga bisa meningkatkan
kelas kejahatan.
Kalau
dulu di usia belasan, aku masih bersekolah seperti remaja pada umumnya, aku
cuma bisa menjadi copet jalanan. Atau paling banter perampok kelas menengah.
Namun kini, dengan gelar yang kusandang, setidaknya level pencurianku menatap
era lebih baik.
Begitu
selama bertahun-tahun lamanya. Tak ada yang tahu cara kami saling
berkomunikasi. Aku juga menyembunyikan semua hal dari ibu. Tak pernah sekalipun
menyebut pria itu di depannya. Bahkan ibu mengira, kalau mungkin ayah sudah lenyap
ditelan meja judi.
Hingga
suatu ketika, aku menyadari apa yang sering kuabaikan. Bahwa sebenarnya, tak
ada kejahatan yang sempurna.
Aku
kemudian mulai menapaki jalan kelam saat polisi datang dan menyeretku pergi.
Membuatku mendapatkan pandangan benci dan jijik dari orang-orang. Kemudian
menginterogasiku di ruang dengan cahaya lampu redup remang. Sebenarnya, tak ada
penyesalan dari perbuatan yang sudah kulakukan, bahkan dari sejak dulu. Hanya
menyesal mengetahui kenyataan kalau kini aku di ambang kehancuran.
"Ayahmu
yang bandar judi itu sudah mengakui kalau banyak uang yang dia dapatkan berasal
darimu."
Duh,
pria bodoh sialan!
Bagaimana bisa dia mengakuinya begitu cepat? Memang benar aku mencuri banyak
uang dari perusahaan, lalu memberikan uang itu pada Ayah, untuk digunakan di
sana dan kemudian tumbuh jadi lebih banyak. Ambisiku besar, ingin suatu hari
nanti duduk di balik meja politik. Lalu mengambil lebih banyak uang. Aku bahkan
merasa bahagia memimpikannya setiap malam. Namun sekarang, segalanya perlahan
menjadi pudar.
"Tapi
itu hanya separuh dari apa yang sudah kau curi. Sekarang katakan, di mana sisa
uang itu?"
Aku
berpikir sejenak, atau sebenarnya sedang menggunakan hak untuk tetap diam.
Lebih memilih memandang meja dengan banyak berkas berserakan. Atau mengalihkan
pandangan pada satu cicak besar di dinding lembap.
Dalam
keheningan itu, tiba-tiba pintu terbuka. Wajah ibu muncul dari balik pintu, diikuti dua
petugas polisi yang berusaha menghentikannya.
Aku
bangkit dari kursi. Terpaku di balik meja interogasi.
"Sejak
kapan? Sejak kapan kau bersama dengannya?" Ibu bertanya dengan mata
sembap. Terdengar jelas nada kecewa memenuhi ruangan, juga kepalaku yang nyaris
penuh kebingungan.
Benar.
Aku harus memikirkan jawaban dari pertanyaan ibu, sebelum memikirkan jawaban
untuk pria di hadapanku.
Haruskah
kujawab dengan jujur, bahwa sudah sejak lama kami menjadi sepasang pemburu? (*)
Nur Dik Yah, lahir di Malang, 10 November 1996. Menetap di kota yang sama. Menulis cerpen dan prosa. Instagram @dikyahnur.
Tidak ada komentar