Pertunjukan Teater, Setelah Sekian Lama
Malam
ini, 9 Oktober 2020, saya menjadi penyaksi, tongkat estafet komunitas teater di
Situbondo telah berpindah. Berada di tangan kawan-kawan yang masih segar jiwa
raganya. Kawan-kawan yang lebih panjang dan lebih dalam tarikan napasnya.
Mereka telah mempertunjukkan
kemampuannya, menempa diri dan beradu peran dalam teater. Hasil dari “proses
sendiri” yang saya kira tak jauh beda dengan guru atau abangnya dulu di
seumuran mereka.
Saya
tertegun, takjub. Kawan-kawan ini mentalnya lebih berani. Naskah begitu saja
ditambah-dikurangi, dikira-kira, dicoba-coba, tanpa beban, lalu digayakan
mereka sendiri. Tak peduli ini-itu, bagaimana nanti, yang penting jadi.
Mereka
ini, kawan-kawan komunitas teater “Padepokan Karya”. Jumlah mereka kurang lebih
dua puluh orang dengan latar belakang berbeda: beda kelas, beda sekolah, beda
status (siswa dan alumni yang baru lulus SMA/SMK), beda jenis kelamin, beda
umur, dan mereka mau menanggalkan semua perbedaan itu, hanya untuk berteater.
Teater
yang bukan untuk kompetisi, apalagi mengejar prestasi. Tetapi pertunjukan
teater untuk diapresiasi, dijadikan bahan edukasi, dipertunjukkan untuk
membangkitkan motivasi tentang pentingnya aktualisasi diri.
“Padepokan Karya” adalah komunitas teater luar sekolah dan/atau luar kampus. Komunitas teater mandiri, yang diupayakan dan dihidupi bersama kawan-kawan mereka sendiri.
Kalau
dulu ada Dedy Moerdhaniel yang menjadi pendiri komunitas teater “Ini-Itu”, bisa
dikatakan komunitas teater mandiri pertama di Situbondo. Sekarang ada Kikin,
seorang sutradara perempuan pertama, komunitas teater “Padepokan Karya”, yang
turut mewarnai sejarah teater di Situbondo.
Kikin
dan kawan-kawannya, mempertunjukkan naskah teater “Tujuh Langkah Skakmat” karya
Dedy Moerdhaniel. Kikin dan kawan-kawannya menghidupkan kembali naskah tersebut
dengan citarasa pertunjukan khas hasil penyutradaraan Kikin. Meskipun prosesnya
belum seumur jagung, hanya dua bulan, tetapi mereka begitu percaya diri.
Saya merasa antara Kikin dan Dedy merupakan sutradara yang sama-sama berbakat. Tak hanya itu, keduanya juga piawai dalam merangkul kawan-kawannya untuk mau berkomunitas dan berkarya bersama. Saya kira, bekal mereka sama, sama-sama memiliki tekad yang kuat.
Pertunjukan
teater “Tujuh Langkah Skakmat” karya Dedy Mordhaniel, yang disutradarai oleh
Kikin, yang dihelat di Cafe Suntree benar-benar ala kadarnya. Hampir tidak ada
jarak antara aktor dan penonton. Suasana hangat berkeringat di ruang yang
rapat. Dilengkapi properti yang seadanya. Pencahayaan yang hanya gelap,
temaram, dan terang. Sekat pembatas keluar masuk aktor masih perlu ditata.
Suara-suara musik belum sepenuhnya membangun suasana. Dan banyak lagi hal-hal
yang seharusnya masih bisa didiskusikan untuk persiapan pertunjukan.
Tetapi
saya suka, karena saya menyadari, ini pertunjukan pertama kawan-kawan
“Padepokan Karya”. Selain itu, karena hanya di Cafe Suntree, satu-satunya ruang
pertunjukan yang ada dan tak perlu biaya sewa. Memang ketersediaan ruang
kreatif bagi anak muda di Situbondo belum terlalu menjadi perhatian. Namun,
sebenarnya, yang tak kalah penting, yang diperlukan anak muda Situbondo ialah
seseorang yang mau dan betah menemani proses, menampung ide, menyediakan
kebutuhan, dan merealisasikan itu semua bersama mereka. Syukur saja, di Cafe
Suntree, selain tersedia ruang untuk berkreasi, juga ada sosok Fajri (pemilik
Cafe Suntree) yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan logistiknya
bagi anak-anak muda itu.
Di
malam ini juga, di tengah pertunjukan teater, saya merasa senang karena semakin bertambah anak
muda Situbondo dengan suara-suara kritisnya, mau melawan ketidakadilan, dan melaksanakan
harapan untuk mengubah keadaan sudah diaktualisasikan dalam suatu gairah,
berkarya.
Semoga
panjang umur komunitas teater di Situbondo. Kelak, jika komunitas teater terus
ada, meningkat pengetahuan dan pengalamannya, serta semakin berlipat ganda,
tentu kita semua bisa menikmati pertunjukan teater di tempat pertunjukan yang
selayaknya bersama orang-orang yang kita cintai. []
Tidak ada komentar