Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo
Oleh: Denny Ardiansyah*
Lampu-lampu
jalan telah menyala ketika kami melewati salah satu batas wilayah Kabupaten
Bondowoso dengan Kabupaten Situbondo, yaitu Jembatan Kali Bagor yang membentang
di atas Sungai Sampean. Jalanan yang cukup ramai selepas Magrib membuat kami baru
tiba di Alun-Alun Situbondo 30 menit kemudian. Penjelajahan praktik pembacaan selawat
nariyah di Situbondo langsung kami mulai malam itu juga.
Praktik
pembacaan selawat nariyah yang masif dan sistematis bagai magnet yang menarik
kami untuk datang ke Situbondo. Sejak Dadang Wigiarto menjadi Bupati Situbondo
pada tahun 2010, praktik pembacaan selawat nariyah marak di kegiatan struktural
birokrasi Situbondo. Setiap hari, kegiatan formal kedinasan—mulai dari apel
pagi hingga rapat koordinasi—harus dimulai dengan pembacaan selawat nariyah. Fenomena
tersebut menjadikan selawat nariyah bukan lagi praktik kultural, namun telah melebur
ke dalam praktik struktural birokrasi.
Ketika
melintasi Alun-Alun Situbondo, nuansa nahdliyin
sangat terasa dengan terdengarnya kumandang mars Situbondo yang mengadopsi irama
dari lagu Hubbul Wathon Minal Iman. Suasana
kabupaten yang ‘sangat NU’ tentu saja tak lepas dari eksistensi puluhan pondok
pesantren (ponpes) di Situbondo yang didirikan dan dikelola oleh kalangan nahdliyin.
Kiai
Haji Zaini Sonhaji, pengasuh Ponpes Is’aful Mubtadi’in dan Ketua Tanfidziyah NU
Situbondo, memperlihatkan kepada kami sebuah manuskrip bertuliskan huruf arab
pegon keluaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Manuskrip berjumlah dua
halaman itu memuat penjelasan dari PBNU mengenai selawat nariyah sebagai
‘amalan penting’. Kondisi politik yang tidak menentu adalah salah satu sebab
penerbitan manuskrip tersebut. Praktik membaca selawat nariyah menjadi sarana permohonan
kepada Allah agar menghindarkan masyarakat dari keburukan yang mungkin muncul
dari ketidakstabilan iklim politik. Sayang sekali, manuskrip itu tidak memuat tarikh
penerbitan. Walakin, manuskrip tersebut merupakan bukti otentik bahwa PBNU
telah memasyarakatkan praktik pembacaan selawat nariyah jauh hari sebelum praktik
tersebut menjadi ciri khas peringatan Hari Santri tiap tanggal 22 Oktober.
Praktik
pembacaan selawat nariyah pada kegiatan formal kedinasan di lingkungan Pemkab
Situbondo yang sudah berjalan selama sepuluh tahun ternyata masih berbentuk
imbauan lisan saja. Bupati Dadang Wigiarto, yang akan menyelesaikan masa bakti
di periode kedua pada tahun 2021, tidak pernah berkeinginan menaikkan status
imbauan tersebut menjadi aturan tertulis.
Permintaan
Kiai Haji Ahmad Sufyan Miftahul Arifin kepada Bupati Dadang merupakan salah satu
pijakan dalam mencangkokkan praktik pembacaan selawat nariyah pada kegiatan
formal kedinasan di Pemkab Situbondo. Kiai Sufyan meminta kepada Dadang
Wigiarto agar selawat nariyah menjadi tradisi yang makin berkembang di
Situbondo. Alhasil, satu minggu setelah resmi menjadi bupati, Dadang Wigiarto
mulai mengimbau agar aparat sipil negara sebelum memulai kegiatan dinas
sebaiknya membaca selawat nariyah berjemaah sebanyak tiga kali.
Kiai
Haji Zaki Abdullah, Rais Syuriah PCNU Situbondo, mengatakan bahwa usaha Kiai
Sufyan memasyarakatkan teks selawat nariyah telah berjalan sejak tahun 1980-an.
Kiai Sufyan mendatangi berbagai sudut di Situbondo untuk membentuk kelompok
pembacaan selawat nariyah. Bagi Kiai Sufyan jumlah anggota kelompok pembacaan
selawat nariyah cukup lima sampai sepuluh orang saja, yang terpenting adalah terbentuk
banyak kelompok pembaca selawat nariyah di masyarakat Situbondo.
Kiai
Sufyan, ketika mengajarkan teks selawat nariyah, senantiasa juga menjelaskan
bahwa amalan tersebut harus didahului dengan lima niat yang utama, yaitu mengharap tambahnya iman dan cinta kepada
Allah dan Nabi Muhammad, mudah
mengikuti ajaran dan tuntunan agama, mendapatkan
akhir yang baik dalam semua urusan, selamatnya
bangsa dan negara dari segala macam keburukan, tercapainya cita-cita kebaikan bagi seluruh umat. Hingga kini, tiap
kali ada pembacaan selawat nariyah secara berjemaah, pemimpin majelis selalu
mengucapkan lima niat tersebut dan dilanjutkan dengan keterangan bahwa niat
ke-enam dan seterusnya merupakan niat yang bersifat pribadi.
Praktik
pembacaan selawat nariyah secara berkelompok, bagi Kiai Sufyan, juga bagian
dari metode berkomunikasi dengan masyarakat. Sembari berkeliling menginisiasi
dan mensosialisasikan teks selawat nariyah, Kiai Sufyan juga mendengarkan
keluhan dan mengusahakan solusi untuk masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Selawat
nariyah dan Kiai Sufyan memang memiliki tempat spesial di batin masyarakat
Situbondo.
Mencari
kelompok pembaca selawat nariyah bukanlah hal yang sulit di Situbondo. Hampir
di semua desa memiliki satu atau dua kelompok pembaca selawat nariyah. Mereka
berkumpul membaca selawat nariyah pada satu malam tiap minggu. Siapa pun boleh
hadir di acara tersebut. Setelah pemimpin majelis membuka dengan bacaan lima
niat selawat nariyah, kemudian tiap orang mengambil plastik kecil berisi biji pohon
asam (Tamarindus Indica).
Jumlah
biji dalam tiap plastik merupakan jumlah bacaan selawat nariyah yang harus
dilafalkan tiap orang. Satu plastik berisi 11 atau 22 biji sehingga jumlah
total selawat nariyah yang dibaca pada acara tersebut adalah 4444 kali. Selesai
pembacaan selawat nariyah, orang-orang akan berbincang, biasanya seputar
kejadian sehari-hari. Ada semacam aturan tidak tertulis yang dipegang oleh tiap
kelompok pembacaan selawat nariyah, yaitu mereka tidak diperkenankan berbicara
masalah politik pada acara tersebut.
Biji
pohon saga (Adenanthera Pavonina) juga
sering digunakan sebagai alat bantu hitung dalam pembacaan selawat nariyah
secara berjemaah. Kelompok pembacaan selawat nariyah dari daerah lain kerap
memesan biji pohon saga atau pohon asam yang sudah dikemas dalam plastik kepada
kenalan mereka di Situbondo. Menurut Kiai Haji Zainul Khofi (Ra Khofi),
pengasuh Ponpes Al Imdad cum
penasehat kelompok selawat Lakar Tera’, penggunaan biji sebagai alat bantu
hitung terkait dengan harapan agar pembacaan selawat nariyah dapat tumbuh di
semua tempat.
Biji asam yang dibungkus plastik-plastik kecil sebagai alat bantu hitung
dalam praktik pembacaan selawat nariyah. (Foto: Denny Ardiansyah) |
Kenapa
tidak menggunakan kerikil? “Batu
merupakan pondasi sebuah bangunan dan pondasi agama ini ada di surat Al Ikhlas.
Maka menghitung pembacaan surat Al Ikhlas yang paling layak menggunakan batu,”
terang Ra Khofi.
Selawat
nariyah mampu melepaskan dirinya dari sekadar teks, melebur sebagai medium
komunikasi antar warga, persamaan identitas tiap golongan dan lebih dari itu menjadi
medium penjaga kondusifitas sosial di Situbondo. Kiai Sufyan, berdasarkan
cerita Kiai Zaki, sering berujar bahwa pembacaan selawat nariyah yang menjadi
tradisi merupakan—dalam bahasa Madura—bhâ’
tambhâ’na dhukana Pangeran (penghalang murka Allah). Praktik pembacaan
selawat nariyah di Situbondo menggambarkan kekuatan struktural birokrasi dan
kultural religi yang tidak saling meninggalkan, namun justru mampu saling
mengisi.(*)
*) Penulis adalah peneliti di Politika Research and Consulting. Sarjana Sosiologi dari
Universitas Jember. Salah satu peserta program Penggiat Budaya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Tahun Kerja 2021.
Menulis sejak tahun 2004. Mempublikasikan karya tulis berupa artikel, esai,
cerpen dan puisi di media cetak lokal dan nasional. Memiliki rumah di dunia
maya dengan alamat denniology.blogspot.com
Bisa
disapa di Instagram: @sosiyologi dan Twitter: @TeoriSosiologi
Tidak ada komentar