Ode untuk Orde Pak Dadang
Oleh Denny Ardiansyah*
“Mengetahui
bahwa Kiai Sepuh marah kepada saya, tentu saya tidak tenang ketika memberikan
sambutan saat itu,” ucap Dadang Wigiarto sembari menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Rasanya hati ini serba salah,” imbuh Dadang
yang menjabat sebagai Bupati Situbondo pertama kali sejak tanggal 6 September
2010.
Peristiwa
yang terjadi sekitar satu bulan setelah ia menjadi Bupati Situbondo memang
masih membekas di ingatan Dadang Wigiarto. Sekitar Oktober 2010, Pemkab Situbondo
melakukan acara pelepasan calon jemaah haji. Bupati Dadang ingin memberikan
nuansa berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnyapada acara serupa. Ia ingin
melayani jemaah dengan jamuan makan prasmanan di Pendopo Kabupaten Situbondo.
Kiai
Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Kiai Sufyan) yang saat itu berada di lokasi acara
segera berbicara kepada Bupati Dadang.
“Apa
Pak Dadang tahu, di antara rombongan (calon jemaah haji) ini ada orang pilihan,"
ucap Dadang berusaha menirukan perkataan Kiai Sufyan kepadanya.
“Orang pilihan itu sudah menyambungkan hatinya
ke Mekkah,” lanjut Dadang.
Dadang
Wigiarto segera mengerti maksud Kiai Sufyan, yaitu rombongan calon jemaah haji
harus segera diberangkatkan. Acara-acara yang menghambat, seperti makan
prasmanan, tidak perlu dilaksanakan oleh Pemkab. Membantu seseorang dalam
menyegerakan ibadah pastinya lebih mulia dibandingkan dengan acara seremoni.
Niat
Dadang memberikan nuansa berbeda dengan menjamu makan prasmanan—kebiasaan
tahun-tahun sebelumnya dengan makan nasi kotak—sekaligus menyenangkan warganya
yang akan menjadi tamu Allah menunjukkan bahwa ia memiliki kepedulian yang
besar terhadap peristiwa-peristiwa keagamaan di wilayahnya. Walau tentu saja,
teguran dari Kiai Sufyan memang benar dalam hal menyegerakan ibadah.
Peristiwa
itu menunjukkan bahwa Dadang memang takzim kepada seorang guru, yaitu Kiai
Sufyan. Dia tidak membantah ucapan Kiai Sufyan yang kesal pada kejadian itu.
Bahkan deg-degan ketika memberikan sambutan karena merasa bersalah kepada Kiai
Sufyan dan calon jemaah haji.
Orde
Dadang Wigiarto menjadi pemimpin di Situbondo merupakan ilustrasi dari
kepemimpinan kultural dan kepemimpinan struktural birokrasi yang tidak saling
meninggalkan. Pondok pesantren, dalam hal ini para kiai, merupakan representasi
kepemimpinan kultural di Situbondo.
Usia
kepemimpinan kultural di suatu daerah tentu saja lebih tua daripada
kepemimpinan struktural sehingga memungkinkan terjadinya konflik antara dua
bentuk kepemimpinan tersebut. Pada diri Dadang Wigiarto, dua bentuk kepemimpinan
itu saling berangkulan menuju satu tujuan: masyarakat yang penuh kebaikan dan
mendapat ampunan Allah.
Kiai
Sufyan yang wafat pada ba’dha Maghrib, Kamis, 5 April 2012, di Mekkah, mungkin
belum sempat melihat sendiri perkembangan kelompok pembacaan selawat nariyah
yang kian marak di Situbondo. Dadang Wigiarto memiliki peran sentral dalam
fenomena perkembangan pembacaan selawat nariyah di Situbondo dalam kurun
2010-2020.
Mulanya,
inisiatif Dadang menggerakkan elemen birokrasi untuk merutinkan pembacaan selawat
nariyah hanya berniat melakukan permintaan Kiai Sufyan agar selawat nariyah
menjadi tradisi.
“Kiai
Sufyan pernah berkata kepada saya. Selawat Nariyah itu sudah ada sejak Kiai
Samsul (Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin). Artinya sudah 100 tahun yang
lalu. Tetapi kenapa tidak menjadi tradisi masyarakat Situbondo?” ucap Dadang.
“Hal
itu, kata Kiai Sufyan, karena pemimpin Situbondo tidak peduli dengan keberadaan
selawat nariyah,” lanjut Dadang.
Dadang
Wigiarto memutar otaknya untuk memenuhi permintaan Kiai Sufyan. Pada masa awal
menjadi Bupati, Dadang mulai menyampaikan ke jajaran yang ada di Pemkab
Situbondo agar mengamalkan pembacaan selawat nariyah. “Hanya ke beberapa orang,
saya sampaikan faedah membaca selawat nariyah. Kemudian ketika rapat formal
dengan saya, saya meminta agar diawali dengan membaca selawat nariyah. Rapat di
lingkungan kantor Pemkab saja,” jelas Dadang.
Menurut
Dadang, mungkin, ciri khas birokrasi yang mengikuti watak pemimpinnya, maka
pembacaan selawat nariyah menjadi masif di lingkungan kerja Pemkab Situbondo.
Bahkan di sekolah-sekolah pun mengawali kegiatan belajar dengan membaca selawat
nariyah mulai menjadi kebiasaan.
Tak
berhenti di kalangan birokrasi, Dadang pun melakukan terobosan dengan
mengundang kelompok-kelompok pembacaan selawat nariyah yang tersebar di
desa-desa untuk membaca selawat nariyah hingga khatam sebanyak 4444 kali di
Pendopo Pemkab Situbondo. Dadang Wigiarto membuka pintu Pendopo untuk warganya
melalui kegiatan tersebut. Selawat nariyah bagai api yang melahap habis sekat
antara warga dengan pemimpin; mereka berbaur sebagai murid dari para guru yang
secara turun-temurun mengajarkan selawat nariyah.
Dadang
Wigiarto bagai menjadikan selawat nariyah sebagai jembatan untuk menghubungkan
dua kutub sentral dalam masyarakat Situbondo: kutub kultural dan struktural. “Tetapi,
saya tidak boleh mengeluarkan peraturan tertulis untuk melaksanakan pembacaan
selawat nariyah,” ucap Dadang. Proses mentradisikan selawat nariyah,
sebagaimana pesan para kiai, harus berjalan secara kultural. Selawat nariyah
tidak boleh menjadi simbol yang mewakili entitas apapun, termasuk representasi
kekuasaan. Selawat nariyah hanya boleh menjadi identitas masyarakat Situbondo.
Pernah
suatu kali, Dadang Wigiarto mendapat teguran dari para kiai karena membangun
tugu berbentuk bola dunia dengan tulisan ‘Bumi Sholawat Nariyah’. Para kiai
merasa bahwa rencana pembangunan tugu tersebut merupakan bentuk simbolisasi
terhadap selawat nariyah. Bagi para kiai, bagian paling penting dari selawat
nariyah adalah mengamalkannya, bukan memonumenkannya. Dadang menerima teguran
itu. Pembangunan tugu tetap dilanjutkan karena sudah masuk tahap pengerjaan,
namun hanya bola dunia tanpa ada tulisan apa-apa.
Ketika
pemimpin di daerah lain kesulitan menemukan formula untuk menyelaraskan kutub
kultural dan kutub struktural birokrasi dalam orde pemerintahannya, Dadang
justru nampak mudah mengawinkan tradisi dan birokrasi di Situbondo. Dadang
hanya selalu teringat tiga titipan Kiai Sufyan kepadanya, yakni, masyarakat,
selawat dan guru mengaji. Dadang merasa malu kepada Kiai Sufyan jika tidak bisa
menjaga tiga titipan itu.
Dadang
melalui ordenya di Situbondo tidak hanya memberikan panggung kepada kutub
kultural, lebih jauh melalui selawat nariyah, ia justru bersama publik berada
di atas panggung untuk mengusahakan terwujudnya masyarakat penuh kebaikan dan
mendapat ampunan dari Allah. Bagi Dadang—mengikuti nasihat KiaiSufyan—jika pemimpin
memberikan kepedulian kepada pembacaan selawat nariyah itu sudah bagus, namun lebih bagus lagi kalau pemimpin itu juga mengamalkan hal yang sama.
Kutub
kultural dan kutub struktural birokrasidi Situbondo dalam kurun 2010-2020 tidak
saling mencabik, namun justru berjalan bergandengan baik-baik. Pun tidak saling
meniadakan, tetapi kedua kutub itu sama-sama menghidupkan. Bahkan tidak saling
menunggangi, namun saling mengiringi tumbuh-kembang masyarakat Situbondo.
Menurut penulis, harmonisasi kutub kultural dengan kutub struktural birokrasi
di Situbondo adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada masyarakat
Situbondosejak 2010 hingga 2020 melalui
kerja para kiai dan Pak Dadang.
Kamis,
26 November 2020, Bupati yang begitu takzim kepada para kiai itu wafat pada
pukul 16.31 WIB. Saya yang sedang sibuk menyiapkan tahlilan menjelang 40 hari
wafatnya mertua tiap malam Jumat memang tidak memegang hape sejak bakda Ashar.
Saya
baru tahu, kabar wafatnya Pak Dadang sekitar bakda Magrib melalui pesan di grup
We-A. Sekitar pukul 22.00, saya
memeriksa pembaruan status di kontak We-A dan melihat beberapa orang mengunggah
prosesi salat jenazah untuk Pak Dadang.
Saya
melihat melalui video pendek itu, Kiai Haji Raden Kholil As'ad Syamsul Arifin
(Kiai Kholil) menjadi imam sedangkan peti jenazah Pak Dadang berada di dalam
ambulan. Air mata saya menetes, dalam kesendirian, melihat peristiwa itu. Saya
tidak meratapi wafatnya Pak Dadang.
Malam
itu, air mata saya mengalir untuk sebuah peristiwa ketabahan seorang guru
melepas muridnya ke alam kubur. Ya, Pak Dadang begitu takzim kepada para
kiaiyang ia anggap sebagai gurunya, termasuk kepada Kiai Kholil,pengasuhPonpes
Walisongo. Hati kecil saya berucap, Pak Dadang semoga husnul khotimah. Bahkan
sampai sebelum Pak Dadang dikuburkan, saya masih menyaksikan harmonisnya kutub
kultural dan kutub struktural birokrasi di Situbondo.
*) Peneliti di Politika Research and Consulting. Sarjana Sosiologi dari Universitas Jember. Salah satu peserta program Penggiat Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Tahun Kerja 2021. Menulis sejak tahun 2004. Mempublikasikan karya tulis berupa artikel, esai, cerpen dan puisi di media cetak local dan nasional. Bisa disapa di instagram: @sosiyologi dan twitter: @TeoriSosiologi. Memiliki rumah di dunia maya dengan alamat denniology.blogspot.com
Tidak ada komentar