Wisata Kampung, Kampungan?
Oleh Raisa Izzhaty*
Medio
2014, ketika saya masih berkuliah di Malang, saya begitu penasaran dengan wisata
budaya Kampung Cempluk yang diadakan di Desa Kalisongo setiap tahun. Menariknya
lagi, salah satu founder Kampung
Cempluk ternyata berasal dari kota yang sama dengan saya.
Saat
itu, wisata budaya Kampung Cempluk cukup membuat hati dan perasaan saya menghangat,
sebab mengobati kerinduan saya dengan kehidupan kampung yang minim nilai
individualisme. Semua pengunjung berbaur menjadi satu kesatuan di sana. Wisata
yang jauh dari kata ‘modern’, namun segala sesuatu dipersiapkan dengan
pemikiran luar biasa.
Menjelang
akhir 2014, teman-teman di Situbondo mengajak saya menghadiri Festival Kampung
Langai. Sebuah festival bertajuk pertunjukan budaya yang dikemas dengan apik
dan diadakan di sebuah kampung yang lumayan berada jauh dari hiruk pikuk kota.
Festival
ini membuat saya yang jarang pulang kampung akhirnya tertarik untuk pulang.
Menariknya lagi, festival ini diselenggarakan oleh komunitas anak muda, kalau
kata slogan kampanye, ‘kaum milenial’.
Festival
Kampung Langai seakan membuka semua mata
bahwa potensi besar sumber daya manusia dan sumber daya alam Situbondo terbentang di depan mata kita. Saya
seperti menemukan hidden gem saat
itu. Meski bertajuk ‘kampung’, festival Kampung Langai nyatanya dapat berjalan
sampai bertahun tahun, tidak hanya menampilkan kesenian asli daerah, namun juga
mengemas kesenian daerah dengan kolaborasi apik bersama musisi nasional, dan
bahkan Kampung Langai tahun lalu, menghadirkan musisi internasional.
Sebagaimana
ditulis oleh Gumelar Sastrayudha dalam Concept
Resort and Leisure, pengaplikasian pariwisata harus menyentuh dan
melibatkan masyarakat setempat sehingga mampu menghasilkan dampak sosial,
budaya, dan ekonomi yang baik bagi masyarakat tersebut. Bagi saya, tujuan
pengembangan pariwisata harus dekat dengan masyarakat, bukan hanya bertujuan
untuk pengunjung luar daerah. Pariwisata dengan konsep village tourism salah satunya.
Saya
tinggal di dekat kawasan kampung IPADULI. Barangkali salah satu dari kalian
yang membaca artikel saya pernah berfoto di salah satu replika bangunan
internasional di IPADULI. Ya, kampung yang diinisiasi oleh Ikatan Pemuda
Dawuhan Peduli Lingkungan (Ipaduli) ini memanfaatkan bambu yang dihias
sedemikian rupa menjadi replika menara Eiffel, Rumah Gadang, bahkan Merlion
yang dibangun di atas aliran sungai sehingga sepanjang aliran sungai menjadi
menarik dan bersih.
Bukan
hanya itu, saat malam hari, masyarakat sekitar menggelar dagangan mereka di
sepanjang jalan. Cocok untuk saat-saat pandemi seperti ini, karena hanya
melangkah sedikit ke luar rumah, masyarakat dapat meningkatkan perekonomian
mereka tanpa kekhawatiran yang berlebih.
Kabar terakhir yang saya baca, ecotourism
Situbondo yang juga menggunakan diksi ‘kampung’, Kampung Blekok, mendapatkan
juara pertama dalam East Java Culture And Tourism Award tahun 2019.
Meski sebenarnya diksi ‘kampung’ sebagai branding pariwisata harusnya
tidak menjadi masalah, nyatanya masih ada masyarakat yang mendiskreditkan
wisata ‘kampung’ sebagai sesuatu yang tidak menarik dan tidak layak menjadi
tujuan wisata.
Secara kaidah Bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, memang, diksi ‘kampung’ berkaitan erat dengan ‘kolot’ atau jauh dari
kata modern. Namun, sebagai sebuah instrument pemasaran pariwisata, nyatanya
pariwisata dengan diksi ‘kampung’ di dalamnya mampu juga bersaing di kancah
nasional maupun internasional.
Secara psikologis, Ketika seseorang mengunjungi sebuah
daerah untuk berwisata, yang kerapkali dicari pertama kali adalah sesuatu yang
otentik dari daerah tersebut, bersifat unik, dan tidak dapat ditemui selain di
tempat yang dikunjungi tersebut. Wisata kampung bisa jadi tujuan utama. Sebut
saja, ketika pergi ke Bali, kebanyakan wisatawan akan pergi ke Desa
Penglipuran, di Bangli, sebuah kampung yang telah disulap menjadi kampung
wisata.
Jarang sekali pengunjung yang memilih wisata modern
sebagai tujuan utama. Termasuk ketika tahun 2015 saya berkesempatan menimba
ilmu di Chiang Mai University, Thailand. Saya memilih mengunjungi Baan Khun
Chang Kian, sebuah kampung di pelosok Chiang Mai di mana saya bisa belajar
budaya Thailand di sana. Jadi, siapa bilang, wisata kampung akan menjadi wisata
kampungan?
Sebagai kaum yang mendaku diri ‘milenial’, kita harus
bijak menyikapi perkembangan teknologi. Dewasa ini, teknologi seakan-akan
berkuasa di atas manusia dan manusia tidak lagi berdampingan dengan alam secara
selaras, namun berusaha untuk menguras persediaan alam. Nampaknya, ramalan Heidegger
telah menjadi kenyataan. Padahal, menjadi milenial sangat mungkin untuk menjadi
selaras dengan alam maupun teknologi, tidak harus mengedepankan atau
mengeliminasi salah satu. Termasuk dalam pengembangan pariwisata masa kini.
Kebanyakan selalu berfokus pada masuknya investor dan kemudahan investor dalam menanamkan
modal di daerah tersebut tanpa berusaha untuk mengembangkan apa yang ada dan
mencari nilai lebih yang dapat dikembangkan menjadi sesuatu hal yang inovatif.
Adanya kampung-kampung wisata dalam pengembangan
pariwisata daerah memungkinkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat tanpa
merusak alam. Justru, dengan adanya kampung-kampung wisata, pelaku wisata,
investor, dan pengunjung dapat ikut mengembangkan potensi wisata alami tanpa
melupakan kewajiban untuk berdampingan dengan alam serta kebudayaan sekitar.
Sekali lagi, menjadi milenial tidak harus melupakan
jati diri. Milenial lah bukan hanya dalam jargon, namun pemikiran. Milenial
selaras dengan pemikiran kreatif. Menjadi kreatif bukan berarti melupakan yang
lama dan mengunggulkan yang baru. Namun, mencipta hal baru yang mampu diangkat
dari sesuatu yang dianggap terbelakang atau kuno.
Jadi, masih berani mengatakan wisata kampung sebagai
hal yang kampungan?
_______________
*) Ibu satu anak.
cooocok
BalasHapus