Alasan Kenapa Perempuan Dipilih Sebagai Tunggu Tubang dalam Tradisi Adat Semende
Oleh: Muhammad Hajril*
Semende
merupakan daerah yang berada di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera
Selatan. Daerah
Ini memiliki 3 pembagian daerah kecamatan yaitu (1) Kecamatan Semende Darat
Laut (2) Semende Darat Ulu (3) Semende
Darat Tengah. Daerah
Ini merupakan daerah dataran tinggi dan dilalui oleh perbukitan (Bukit Barisan). Nama semende sendiri
berasal dari dua kata yaitu seme = sama dan ende = harga,menurut logat Semende same rege
yaitu betine(perempuan) tidak mem-beki dan
bujang (laki-laki) tidak dibeli. Bahasa Sehari-hari masyarakat Semende
adalah bahasa Semende
dengan kata-katanya yang berakhiran *E*, misalnya kenapa = ngape. Ada banyak hal yang
menarik dari wilayah ini selain dari keindahan alamnya yang sangat mempesona, kultur dari daearah
ini pun terbilang sangat beragam dan menarik. Salah Satunya adalah
tradisi tunggu tubang.
Tradisi
tunggu tubang adalah sebuah status yang diberikan kepada anak perempuan
tertua atau yang lahir pertama dalam keluarga. Apabila dalam
keluarga tunggu tubang tidak memiliki anak perempuan, maka istri dari anak
laki-laki pertama
yang akan diberikan status sebagai tunggu tubang, dengan melakukan
ritual adat ngangkit anak terlebih dahulu, sebagai tanda bahwa
menantunya itu telah diberikan amanah untuk menjadi tunggu tubang dan
menyanggupi amanah sebagai tunggu tubang.Status tunggu tubang
mulai diberlakkan ketika anak itu memasuki bahtera rumah tangga.
Adapun
keluarga yang tunggu tubang yang tidak memiliki anak, maka status tunggu
tubang akan diberikan kepada keponakan perempuan yang berasal dari adik
atau kakak perempuan tunggu tubang.Selain itu, bagi tunggu tubang
yang tidak sanggup memenuhi kewajibanya, maka akan di musyawarahkan dalam
keluarga siapa yang akana menggantikanya.
Menurut
tradisi tunggu tubang ini, seluruh
kekayaan keluarga yang terdiri dari rumah, sawah, kebun, tanah dsb, diberikan
kepada anak perempuan tertua dalam keluarga, begitu seterusnya dari generasi ke
generasi. Harta Pusaka yang telah turun-temurun (bejulat) kepada anak, cucu, cicit
(piut) dan seterusnya sebagai ahli waris, dalam hal ini disebut tunggu
tubang. Akan
tetapi, mereka
hanya memiliki hak mengelola dan menunggu, dan tidak memiliki
hak untuk menjual. Masyarakat Semende menggunakan
sistem matrilineal dalam sistem kekerabatnya karena perempuan menjadi hal utama dalam
kehidupan.
Adapun
filosofi dari harta benda yang diberikan adalah, harta berupa rumah yang
didapatkan oleh tunggu tubang memiliki makna nantinya rumah itu dijadikan tempat
berkumpul bagi sanak famili, jadi sekalipun mereka sudah pergi merantau ke kota
nantinya mereka memiliki rumah di desa untuk pulang. Adapun sawah, kebun yang diberikan
memilki makan untuk menjamu keluarga besar yang pulang ke desa.
Ada alasan dibalik dipilihnya perempuan sebagai tunggu
tubang,bukan semata mata karena marginalisasi perempuan akan tetapi secara
filosofisnya masyrakat Semende menganggap bahwa “perempuan lebih mampu menjaga,
merawat, dan bertanggung jawab atas amanah orang tua termasuk mengurus
saudaranya, serta perempuan dianggap lebih telaten dalam mengurus orang tua
jika nanti sudah berusia lanjut.”
Karena
keistimewaan yang diberikan kepada tunggu tubang, maka bagi laki laki
yang ingin menikahinya pun harus mengeluarkan mahar yang cukup besar.Tradisi
ini disebut parbiye. Mengikut adat biasanya maharnya berupa emas, seekor
kerbau, saput abang (selimut merah), dan alat rumah tangga,dan apabila
pihak laki-laki tidak menyanggupinya makan dihitung sebagai hutang.
Disamping
hak-hak yang diberikan, tunggu tubang juga memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakan. Kewajiban
pokoknya adalah menjaga harta pusaka, kewajiban lainya seperti menjaga dan
mengurus orang tua, menghormati
meraje,
mematuhi perintahnya, dan
mematahui peraturan adat seperti terus mendiami dusun/desa tempatnya berada. Yang dikatakan meraje
adalah saudara laki-laki dari ibu tunggu tubang, tugasnya untuk
mengawasi tunggu tubang, ia akan menegur tunggu tubang
apabila ia melakukan kesalahan. Meraje
bisa berupa paman (mamang meraje) uwak, dan kakek (nining
dan meraje).
Tunggu
tubang memiliki tugas dan larangan yang
harus ia hindari seperti, menjual harta benda, menelantarkan saudara-saudra sekandung
yang belum berkeluarga karena ia berposisi sebagai pengganti orang tua, membuka
rahasia keluarga dan masih banyak yang lainya.
Kewajiban
tunggu tubang digambarkan oleh 5 lambang adat Semende seperti foto di atas. 5 lambang
tersebut yaitu: balau/kujur/tombak, lambang ini
mencermninkan kejujuran, jadi
kejujuran menjiwai kepribadian warga masyarakat Semende, kapak/kampak, alat ini biasanya digunakan untuk
menebang dan membelah kayu, mata
kapak terdiri dari dua sisi kanan dan kiri. Lambang ini mengandung makna bahwa dua pihak
keluarga dari pihak perempuan dan laki-laki harus diberlakukan sama dalam
membina jurai (hubungan). Jadi tunggu tubang
umumnya berlaku adil dalam membina dan mengayomi keluarga jale/jala. Jala
adalah alat untuk menangkap ikan, jala terdiri dari 3 bagian yaitu
pusat, daun
dan rantai jala-jala
dapat ditarik sehingga rantai atau batujala akan terkumpul mengandung makna
persatuan keluarga atau jurai tidak terpecah jika di-komandei oleh
meraje. Tebat/kolam, tebat atau kolam merupakan kebanggan tunggu
tubang kolam
berisi air dan ikan dipelihara oleh tunggu tubang. Selain
sebagai cadangan lauk pauk tebat atau kolam bermakna tunggu tubang harus
tetap sabar walau ada gejolak, biar ada angin dan badai namun air
kolam tetap tenang seolah tidak ada persoalan. Guci berfungsi
sebagai tempat menyimpan
makanan persediaan untuk menjamu bila nanti ada meraje dan apit jurai
yang menginap.
Dapat dilihat dari
penjelasan di atas bahwa tugas dan kewajiban tunggu tubang sangatlah berat
sehingga banyak sekali anak perempuan tunggu tubang yang tidak
menyanggupinya. []
*) Muhammad Hajril Mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hajrilmuhammad7@gmail.com
KEREN TULISANYA
BalasHapus