Membaca Tantangan Pesantren Menghadapi Era Teknologi
Oleh: Alvina Fatimatuzzahroh*
Indonesia, negeri beragama yang tersohor di seluruh dunia. Berbagai macam agama dianut masyarakat Indonesia sesuai
kepercayaan masing masing. Namun, agama yang paling dominan dianut seantero
Indonesia adalah agama Islam. Tidak lepas dari ulur tangan para ulama’, Islam
terlahir di tengah masyarakat Indonesia dengan tanpa merusak adat
istiadat yang telah berkembang. Ulama’ berhasil menyusupkan ilmu agama Islam
kepada masyarakat, hingga agama dan adat istiadat saling terkait erat sampai
kini. Seiring perkembangan agama Islam, para ulama’ semakin berinovasi dalam
menyebarluaskan ajaran-ajaran agama, salah satunya dengan mendirikan pondok
pesantren. Pondok pesantren dijadikan wadah bagi masyarakat khususnya para
remaja, untuk memperdalam ilmu tentang Islam. Pondok pesantren tidak hanya
memperhatikan kuantitas ilmu saja, namun juga kualitas dari anak didik
(santri). Dalam kesehariannya, santri akan dibiasakan dengan kegiatan-kegiatan yang
menunjang pengetahuannya dan menumbuhkan karakter yang berakhlak.
Seiring berkembangnya zaman, pesantren dihadapkan dengan
tantangan yang tidak ringan. Era millenial yang kini berkembang tak bisa
dipungkiri adanya. Zaman yang serba mudah dan cepat dapat dengan mudah membuat
terlena pada teknologi. Hal ini merupakan ujian tersendiri bagi pesantren dalam
mempertahankan budaya dan tradisinya. Tentunya, perkembangan IT ini memiliki
dampak positif dan juga negatif tergantung dalam penggunaannya. Dampak negatif
IT terjadi akibat penyalahgunaannya, namun di sisi lain IT dapat menjadi sumber informasi dan sarana komunikasi
yang cukup efektif untuk digunakan. Santri tidak dapat dijauhkan dengan
perkembangan ini, tapi justru santri juga harus ‘melek’ terhadap teknologi yang
tentunya harus dengan bimbingan dan pengawasan khusus.
Dalam konteks pesantren, telah diketahui berbagai ragam
jenis pesantren, salah satunya adalah pondok pesantren salaf. Pondok pesantren
salaf dikenal sebagai pesantren dengan metode pendidikan klasikalnya,
pendidikan dengan kajian kitab kuningnya. Bisa diartikan bahwa keseharian di
pesantren ini jauh dari apa yang mengandung teknologi modern. Sesuatu yang
nampaknya bertentangan dengan perkembangan zaman sekarang. Namun realitanya,
peminat dari kalangan remaja terhadap pesantren-pesantren salaf makin hari
bukan kian berkurang, tetapi pesantren salaf makin eksis dan terus berkembang. Pergeseran
budaya pondok pesantren salaf yang terjadi di era sekarang ini tentu saja ada,
namun tidak menyurutkan semangat para ulama’ dan guru dalam berinovasi dan
dekat pada teknologi. Berbagai macam upaya dilakukan agar eksistensi budaya
pesantren tetap melekat pada karakter setiap santri. Pendalaman kitab kuning
yang menjadi ciri khas pondok pesantren, tentu tidak bisa dihilangkan dalam
proses belajar mengajar. Namun, santri juga tidak boleh buta teknologi yang
akan menyebabkan ketertinggalan informasi di era yang semakin berkembang ini.
Sampai sekarang, istiqomah dalam mengaji terus
diupayakan oleh pondok salaf, karena memang kemajuan bagi pondok salaf itu
mengaji kitab dan juga mati dan hidupnya pondok modern itu masih ada kaitannya
dengan pondok salaf. Namun bukan berarti para santri tidak mengembangkan
kreatifitas dan juga berinovasi dalam pembelajarannya. Santri dikenal dengan
ciri khasnya yang suka khidmah (mengabdikan diri) tidak terbatas ruang dan
waktu. Karena itu pondok pesantren menyediakan fasilitas demi terus
berkembangnya kreatifitas santri dalam belajar. Media digital yang kini menjadi
media baru yang memberikan alternatif bagi pembuat konten untuk menyebarkan
informasi secara cepat, efektif, luas dan tidak terbatas. Santri harus bisa
memahami peta media baru yang tengah ramai digunakan banyak orang untuk unjuk
kreativitas. Sebagai santri milenial harus memahami pola media baru yang ada
dan langsung mengambil peran, tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga
membuat informasi atau konten-konten yang syarat akan ilmu pengetahuan, ilmu
hikmah dan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
Di zaman yang serba ada dan canggih ini, dapat dijadikan
sarana santri untuk berkhidmah dalam media digital. Kini, pengembangan imu-ilmu
kepesantrenan tidak hanya bisa dinikmati santri yang ada di pondok saja, tetapi
bisa tersebar keberbagai penjuru melalui media digital. Hal ini turut mendukung
adanya konten-konten yang berwawasan dan lebih bermanfaat. Melalui video atau pun
artikel ngaji kepesantrenan yang dikemas secara menarik, dapat membangkitkan
semangat para penikmat dunia kepesantrenan sekaligus sebagai syiar dakwah yang
dapat diakses dengan mudah. Para ulama’, guru maupun santri di tengah tantangan
zaman seperti ini, harus mampu menciptakan hal baru dan semakin berinovasi
dalam menyebarkan ilmu kepesantrenan, agar bisa mengimbangi perkembangan zaman.
*)
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tidak ada komentar