Puisi: Kisah dalam Buku dan Puisi Lainnya
Puisi Joe Hasan
Di Sofa Hijau
seperti pelangi yang kosong
tanpa warna
hari-hari berlanjut begitu saja
mengikuti alur musim pandemi
beberapa orang peduli
beberapa lagi memanfaatkan gaji
dan bantuan-bantuan yang masuk
sebagai pengganjal nasib
di sofa hijau itu
saksi kekosongan yang terus berjalan setiap malam
menyaksikan kebejatan di tivi
itulah pembicaraan setiap saat
lalu kita?
sudah seberapa baik mengontrol hati menghindari gunjing
di sofa hijau itu kumulai jahit bibir dan perasaan
untuk tidak memperkeruh hari-harimu
nikmati apa yang kau dengar dan lihat
aku menutup diri sekarang
berusaha tak menambah dosa
dengan mencatatnya sendiri setiap ingin
aku hanya ingin tidak menjadi begitu kodong
ketika senja usiaku
kau?
bagaimana cara kau mengenangnya?
dengan menatap hampa?
(Bau-Bau, Januari 2021)
Halaman
ini
masih halaman pertama
aku
membacanya lekat-lekat
petir
di dalamnya tak bersahabat
ia
pamit berangkat kerja
di
halaman kedua
lalu
semuanya hening
tinggal
debu dan daun kering
yang
belum sempat disapu
waktu
itu panas terik
kau
menangis di atas meja makan
air
matamu di museumkan
(Surabaya, Februari 2018)
Kapuas
di
sungai kapuas
bantulah
aku menyatukan pikiran-pikiran konyol ini
dalam
amplop nafasmu masih berjga-jaga
aku
ingat betul kejadian itu
bagaimana
lekuk pipimu menahan tawa
bagaimana
melambai tertiup angin pinggir dermaga
kau
berlindung di bawah payung
dan
kita bercakap di tengah lautan
menyeberangi
sungai
awal
perkenalan yang sungguh menawan
cinta
memang tak perlu pelajaran
alam
ini adalah kuncinya
yang
begitu pandai menggerakkan hati
hingga
ke dermaga Surabaya
tuhan
memandang gelisah rindu
tak
luput menyediakan obat
saat
itu kita menyadari
tak
ada janji tuhan yang ingkar
meski
terlambat
kau
kembali meniti kapuas
apakah
kau benar menjemput rindu?
matamu
yang sungai
mengalir
padat dalam urat nadiku
mengeja
satu persatu suaramu
“hati-hati
abang”
itulah
pesan terakhir kita bertemu
kini
kau sungguh mengobati risau
aku
buru-buru melepas tali
menyambut
senyum yang memenuhi dada
bagaimana
kau melakukannya
begitu
bersejarahkah kapuas ini
kita
bersenggama cepat lewat ingatan
ternyata
benar
sebuah
panggilan dari dermaga
kau
berdiri sendiri
di
atas punggung kangen
(Bau-Bau,
Oktober 2020)
Kisah
Dalam Buku
pada
buku yang sudah setengah berjalan
aku
mengingat lelaki putih
berkencan
dengan lupa pada suatu siang
dan
bagaimana buku itu melukis kisah
cinta
insan saling menolak gairah
malam
tunduk perlahan
jiwa-jiwa
sepi mulai meronta
meja
judi memenangi taruhan
lalu
kau pulang membawa bau
membawa
malang yang lupa pulang
malu
kini tak bertuan
aku
lalai sudah dengan segala kelakuan
terlalu
lincah kau memohon
aku
buta oleh ketampanan
kita
berakhir diujung air mata
tanpa
harus bertanya mengapa
buku
bosan terbuka
menolak
tuk ditintai
bagaimanakah
nasib sebuah cerita
hanya
bergantung pada terkaan
aku
memilih pulang tidak denganmu
ringan
kau mendua di pinggir jalan
balik-balik
minta kasihan
rasaku
telah pudar
setelah
semalam kita bersenggama
dengan
kekuatan penuh
dan
paginya kita mendekap ruang
tanpa
kopi terhidang di meja
(Bau-Bau, Agustus 2020)
Luka
yang Baru
memang
selalu ada yang baru
tapi
bukan hati
melainkan
luka
dan
kau tak jera
kumohon
jangan
lakukan lagi
pada
selangkangan yang baru
(Surabaya,
Maret 2019)
Penulis:
Joe
Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Kini berdomisili di Surabaya, Jawa
Timur. Pecinta Olahraga Taekwondo. Beberapa
puisinya pernah dimuat di media lokal dan nasional.
Tidak ada komentar