“Ape salahnye kite jual ntu tanah, Be?”
”Elu mau, bangke
lu digantung di poon kecapi?”
Di halaman samping
masjid, terjadi pertengkaran hebat antara Haji Misar dengan menantunya, babeku.
Enyak, perempuan yang paling kusayang, jatuh pingsan. Orang-orang kampung
berdatangan mencoba melerai. Aku datang ketika seorang tetangga perempuan
dibantu seorang lainnya, membopong enyak menjauh dari arena pertengkaran
sebelum dia siuman.
"Enyaaak!"
Aku lari menerjang kerumunan.
Kebetulan hari itu
aku pulang membawa pikiran kacau dan tubuh penuh luka akibat tawuran. Sebagai
siswa baru SMP, aku tak dapat menolak ajakan kakak-kakak kelas untuk membalas
kelakuan anak-anak sekolah lain yang sudah lama jadi musuh bebuyutan. Hampir
saja aku mati dikeroyok belasan anak dengan batu di genggaman tangan, kalau saja Om Roy
yang entah datang dari mana, menarikku paksa dan membawaku lari ke kantornya
yang lokasinya
tidak jauh dari tempat itu.
Belum sampai aku diserahkan ke orangtuaku, peristiwa itu menghadang.
***
Aku seperti siuman
dari mimpi panjang. Beberapa minggu ini rentetan mimpi tentang masa kecilku
berdatangan. Kurasakan semacam ada panggilan agar aku segera pulang ke kampung
halaman. Om Roy, sebagai orangtuaku di sini pernah mengatakan bahwa akan ada
saatnya nanti aku kembali ke sana.
Om Roy, lengkapnya
Roy Masse. Dia bersama adiknya pernah menjadi anak semang keluarga Mat Tohir,
babeku. Mereka menempati rumah paling ujung, dekat dengan jalan. Ada lima rumah
petak di selatan
empang yang menjadi penyulam kebutuhan keluarga kami sehari-hari.
Om Roy sering
menemaniku menjaring ikan lele atau bermain di tanah kosong sekitar empang. Bersama
anak-anak kecil lainnya, Om Roy turut merasakan serunya main gundu, petak
jongkok, gasing, dan layangan di kala senggang. Bahkan sekali waktu dia rela
dipaksa anak-anak membuatkan gelindingan
dari batang pepaya atau pletokan dari
bambu yang kerap membuatnya berkeringat dan
jari tangan tersayat. Kedekatan Om Roy dengan anak-anak begitu terasa,
apalagi dia juga tak segan ikut membantu
iuran untuk salawatan tiap malam jumat. Meski kami tahu, tak pernah sekalipun
dia hadir menyertai
riuh kegembiraan kami di setiap acara itu.
Aku baru setingkat
SD waktu itu, tetapi
bukan di sekolah
mentereng tempat belajar anak-anak orang kaya. Orang-orang menyebutnya madrasah, masuk
siang, dan
tak mengharuskan siswanya bersepatu ataupun berseragam kalau memang tak punya. Ketika
anak-anak lain pulang sekolah, justru aku baru mentas dari kobakan di sudut kampung dengan hanya pakai kolor. Baru setelah itu
aku berangkat dengan hanya menenteng tas kresek
berisi pulpen dan buku yang jarang sekali kutulisi, selain kusobek satu-satu
untuk pesawat atau peluru pletokan
yang bisa membahagiakanku.
“Kecilmu dulu, Ding, ampun! Nakal kagak
ketulungan.” Cara bicara Om Roy kepadaku seakan mengingatkan perihal kedekatan
kami dulu.
Banyak cerita
tentang masa lalu di kampung kudapatkan dari Om Roy. Termasuk cerita tentang
alasannya merantau ke Jakarta,
mewarnai sebagian kisah hidupku bersamanya. Setelah cukup dewasa baru kutahu bahwa
saat itu Om Roy sedang dalam tugas belajar sambil bekerja dari organisasi
gerejanya di Jakarta, semacam
pendidikan yang kelak mengantarkannya menjadi seperti sekarang. Beruntung dia
termasuk orang yang mudah bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan warga
kampung. Alasan
itulah yang kemudian menjelaskan kenapa dia bisa membawaku ke sini.
Om Roy bilang saat
itu memang tak ada pilihan lain. Keluargaku tercerai-berai tak berselang lama ketika terjadi
kerusuhan antara warga pendatang dengan warga asli, perihal sewa tanah yang membuat
kampungku tak aman ditinggali. Gemuruh pembangunan kota turut memperkeruh
suasana. Banyak ketidakjelasan ganti rugi dan kesepakatan jual-beli yang
berbuntut demonstrasi. Tawuran antar pelajar dan merebaknya kejadian perampokan,
menjadi semacam pelampiasan dari sengkarut persoalan kala itu.
“Ada untungnya
juga, elu ikut aye Ding.”
"Tapi apa
kabarnya enyak, babe, dan engkong, Om?”
Setiap kali
pertanyaan itu kulontarkan, Om Roy selalu bungkam. Ada setumpuk beban terlihat
dari cara dia menghela napas setelahnya. Sedang aku pun seringkali tak melanjutkan
rasa ingin tahuku tentang hal
itu. Aku telah cukup bersyukur bisa mencapai keberuntunganku hingga sekarang. Tak ada gunanya pula siapapun
bertanya apa keyakinanku sekarang, setelah sekian tahun tinggal bersama keluarga Om Roy.
Karena bertahan untuk tidak
tenggelam dalam kerinduan atas kampung halaman saja, sudah cukup menjadi
alasanku hidup hingga sekarang. Justru menemukan saat yang tepat untuk mentas
dari kerinduan itulah yang menurutku penting. Terlebih setelah mimpi-mimpi
berulang kali datang, membuatku semakin tak punya pilihan. Sehingga baru terasa
sudah sekian lama hidupku dalam pengasuhan Om Roy. Sekarang telah kuraih
cita-cita menjadi sarjana dan bekerja pula, seperti pesan engkong.
“Uding! Elu boleh
nakal tapi kudu pinter. Kagak cuman maen golok aje kayak babe elu tu!” kata
engkong.
Pikirku tak ada
alasan lagi menunda kepulangan ini. Meskipun lagi-lagi belum jelas ke mana
kerinduan ini bakal kutujukan. Enyak, babe, apalagi engkong, hanya dapat
kujangkau kenangannya di hari terakhir kusaksikan
mereka bersengketa. Saat angin laut mengantarkan kepulangan para nelayan
Banggai kembali
menemui keluarganya, pagi sekali kuberanikan diri berpamitan
ke Om Roy.
“Apa sudah kamu pikir masak-masak keputusanmu
itu?”
”Sudah om.”
”Mau pulang ke
mana?”
Pertanyaan yang
membuatku terdiam dan tak menentu, sebelum kemudian kusampaikan soal mimpi
tentang babe, kerinduan kepada enyak dan harapan membahagiakan engkong. Aku
beruntung, untuk ketiga alasan ini dia sangat bisa memahami keputusanku.
Sehingga kepulanganku kali ini, menjadi langkah yang diberkati.
***
Sampai di Terminal
Klender, gamang kakiku menapaki kembali rimba suasana kota yang telah lama ku tinggalkan
pada sore yang paling tak kusuka. Tatkala orang-orang berebut bayangan dunia,
menelanjangi kerakusannya atas hidup yang seolah berakhir hari ini saja. Sejuta nyeri kutahan sekuat mungkin agar
kepulangan ini mampu bersanding dengan takdir apapun yang bakal kuhadapi.
Menyempitnya trotoar, bergegasnya lampu merah dan serak-tumpukan sampah di
pinggir jalan serta selokan, menusuk ingatan bahwa di kota ini aku pernah
dilahirkan.
“Kiri, Bang!”
Kudaratkan kaki dengan lekas seraya menyodorkan beberapa lembar receh pada
sopir. Setidaknya itu cukup memberi jeda atas gurat dan sayatan yang terasa makin mendera. Bising
lalu-lalang dan terik yang menyengat
sama sekali tak sanggup menandingi perih di batinku. Sengaja kupilih mikrolet
agar rasa nyeri itu semakin bersahabat, menyusul detak kesadaran yang meronta
bahwa kerinduan ini tak jelas ke mana tujuannya.
Kampung ini banyak
berubah. Deretan ruko, spanduk dan neonbox yang belum dinyalakan, memenuhi
etalase di kepala. Beberapa hisapan kretek mengantarkan pandanganku pada
langgar kecil yang seingatku dulu seperti terhimpit pepohonan, entah rambutan,
nangka, kecapi, atau durian. Berkebalikan dengan yang kusaksikan sekarang.
Langgar yang bertambah luas dengan tambahan serambi kecil di depannya, terdesak
oleh jalan yang melebar beraspal dengan rumah-rumah berbaris angkuh memperkosa
jarak pandang. Aku seperti kehilangan jejak ruang tumbuh di masa lalu, terkecuali langgar itu. Rumah babe,
rumah engkong, deretan rumah petak dan sekitaran empang tempatku bermain tak ada
lagi jejaknya. Batinku tertimpa rindu kepada mereka, juga bau oli dari
pangkalan mikrolet dan aroma asap bakaran dempul kayu dari pabrik mebel milik tetangga.
Azan Asar baru saja lewat setengah jam lalu, ketika kuputuskan mengangkat kaki
ke pintu mikrolet berlagu kenangan tadi. Kupikir tak ada salahnya menuruti
kerinduan meruangi Langgar Haji Misar, engkongku ini.
“Mau wudu ya Bang?
Tuh, di sana!” Seseorang yang sama sekali tak kukenal dengan angkuh menunjukkan
ke mana aku harus mengawali. Seseorang yang
lain terlihat sedang duduk bersila di ruangan dalam.
Bilasan demi
bilasan mengajakku beranjak dari masa lalu ke mimpi didatangi babe, beberapa
minggu lalu. Berpeci kumal dengan gulungan sarung tebal di perutnya, dia
memandangku dengan tatapan yang sukar kutafsirkan. Persis seperti saat dia
mengawasi tingkahku belajar ngaji waktu kecil, di beranda rumah engkong. Ditambah
sebilah golok terselip dipinggang, kuingat wajah babe kala itu begitu
menyeramkan. Setiap sore, anak-anak kampung seusiaku mendaras juz ‘amma
dibimbing Bang Rojak, seorang Madura yang sehari-harinya mengajar SLB tidak
jauh dari kampung ini. Orangnya sabar, tak seperti babe yang pelit senyum.
Konon kata orang,
tidak ada yang tak kenal babe, jawara paling ditakuti seantero kota, bukan
hanya di pasar atau terminal saja. Berkat bantuan anak buahnya, dia
himpun para jawara agar terjamin hidup dan keluarganya. Akan tetapi satu rangkaian
peristiwa telah mengubah
segalanya. Ketika musim berganti, terjangan angin memorak-porandakan benih yang belum lama disemai babe.
Perkumpulannya kocar-kacir, termasuk keluarga dan keturunan mereka. Cengkeraman
wabah ketakutan membuat cekam hari demi hari. Orang-orang seperti kami semakin
minggir tersingkir, seolah
mengamini himpitan belantara beton yang menghalangi sinar mentari sampai ke
dapur-dapur pengap kami. Cerai berai menjadi lauk sehari-hari kala itu.
Persaudaraan dan wasiat para moyang mirip nasi kenduri yang diperebutkan
anak-anak kencur karena gurihnya.
Selesai salam, telinga
dan pikiranku berkelana sendiri, bahwa rupanya langgar ini sudah menjadi
masjid. Hal itu kudengar dari pembicaraan dua orang di serambi yang juga
menyinggung soal tiga nisan yang entah letaknya di mana. Seketika ada ledakan memenuhi
dada. Nisan siapa pula yang sedang mereka bincangkan? Lalu dalam beberapa
untaian wirid, segera kuselesaikan diri dan beranjak mendekat ke mereka.
"Waduh, sodara
jauh nih rupanye?” Lelaki yang terlihat lebih tua mengulurkan tangannya
menyalami. Kubalas dengan senyum dan juga menyalami mereka berdua.
“Iya Ki, emang
dari jauh. Aye Uding, Saepudin, cucu Haji Misar, anak semata wayang Babe Tohir.”
Seraya mataku berkaca-kaca.
Belum selesai kujelaskan,
laki-laki itu terkaget lalu
menghamburkan pelukan, menyiramiku dengan butiran keteduhan beserta sederet
kenangan yang makin membuatku tak keruan.
“Aye Rojak, Ding!
Masak Elu kagak inget ame kumis aye?” Ia seperti menghibur, entah diriku atau
dirinya, lelaki tua itu menepuk-nepuk punggungku hingga kedua tubuh kami terguncang.
Luapan kegembiraan
tumpah dalam tangis dan pelukan, meskipun sebetulnya tak mampu gantikan bekal
kerinduan yang kubawa sebelumnya. Erat rangkulan Bang Rojak seolah berusaha
membagi beban yang selama ini ditanggungnya. Dia sebut langgar dan sedikit sisa
tanah keluarga yang terus saja terdesak. Keluarga enyak, keluarga babe, tak ada
satupun yang mau mengurusi.
“Kenape dengan
mereka, Bang?”
Seperti gemuruh kedatangan
kereta, dia katakan bahwa enyak telah meninggal, tapi bukan karena pertengkaran
Haji Misar dan Mat Tohir. Enyak bukan hanya tak kuat menyaksikan kedua orang
itu hampir saja baku bunuh di depan langgar yang belum lama dibangun engkong
sebagai tabungan hidupnya
mendatang. Tetapi juga karena hutang babe yang bejibun
dan tanah warisanlah jalan keluar satu-satunya. Babe kepalang hina, mengorbankan
harta keluarga.
Di akhir kisahnya,
Bang Rojak bilang bahwa enyak mati setelah menyaksikan lemparan batu
dari tanganku tepat mengenai kepala belakang babe. Seisi kampung terbelah,
mirip kampungku dan kampung sebelah yang teriris jalan tol. Engkong jatuh
pasrah harta dunianya berpindah, kecuali langgar ini yang sampai kapan pun dia
temani. Hingga kemudian seorang laki-laki memungutku yang kebingungan belum
tahu apa-apa soal hukum dan pengadilan.
“Aye jadi lega
sekarang Ding!” Bang Rojak menambahkan.
Banjir di pelupuk
mata, mengalirkan tatapanku ke segenap bagian Langgar Haji Misar, lalu terantuk
pada jajaran tiga nisan yang menyembul dari kerumunan ingatan. (*)
Ian Hasan, Kelahiran Ponorogo, saat ini
bergiat di Sanggar
Pamongan Karanganyar, selain
terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata.
Tidak ada komentar