Takdir dan Hal yang Tiada
Oleh:
Indra Andrianto
Sebagian
besar masyarakat Indonesia mungkin sudah pernah mendengar istilah materialisme.
Ntah dalam hal mengetahui istilahnya saja atau mungkin memahami secara mendalam
tentang segala aspek hingga tetek bengek, yang terkandung dalam paham
(materialisme). Dilingkup akademik misalnya,
terdapat buku-buku yang dilabeli (buku kiri) beredar, yang lambat laun,
kini semakin digandrungi oleh kalangan Mahasiswa.
Dampaknya,
tentu akan membuat mereka semakin mengenal tokoh-tokoh yang mempopulerkan dan
membahas secara gamblang tentang konsepsi (materialisme) pada tataran tukang
ilmiah, dengan dibuktikan data-data kajian-kajian empiris.
Namun
disisi lain, ada juga yang menyaplirkan pemahaman materialisme, bahkan sebagian
dari mereka sangat anti dengan paham yang bernama (materialisme). Kemudian,
terjadilah kesalapahaman yang muncul,
terkesan seakan-akan (materialisme) itu bagian dari paham yang puncaknya
adalah anti pada Tuhan (immaterial).
"Karena
Tuhan bukan perihal yang bisa diimaterialkan, dalam artian “Tuhan tidak Logis”,
karena tidak nampak oleh panca atau penglihatan yang masuk akal sehingga
diragukan sebuah kebenarannya."
Dalam
kaitan perihal di atas, jika dikaitkan dengan konteks, masyarakat awam yang
menilai bahwa hal yang demikian bahaya untuk dipelajari, padahal belajar dengan
meyakini adalah dua suku kata yang sangat berbeda.
Paham
(materialisme) meyakini tentang suatu
kebenaran jika kebenaran tersebut nampak, atau bisa direalitaskan secara kasat
mata, yang dapat dirasakan oleh (panca indera) secara langsung. Di sini yang
menjadi duduk perkara untuk didiskusikan bersama-sama, baik secara subjektif
penulis ataupun sumbangsih pendapat dari pembacanya agar tetap hidup khazanah
berpikir sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk yang lainnya.
Secara
harfiah kata materialisme berasal dari kata “materi” dan “isme”. Feurbach dan
Epicorus, memahami (materi) sebagai “Benda” atau segala sesuatu yang tampak.
Sedangkan “Isme”, penekananya lebih pada pengusung paham atau pandangan.
Secara
umum (materialisme) merupakan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu
yang mengatasi alam indera (kenyataan) dengan mengesampingkan sesuatu diluar
alam indera (tidak nyata).
Jadi,
ketika membahas konsep materialisme, jangan selalu dibenturkan dengan wujud Tuhan, setan, surga,
neraka, dan mengenai takdir yang akan
kita banyak urai dalam tulisan ini, tentunya para tokoh (materialis) belum bisa
menyakini tentang suatu kebenarannya.
"Apabila
suatu kebenaran tersebut tidak nampak oleh mata atau bersifat (immateri) atau
tidak beruwujud. Dari beberapa hal yang sudah disebutkan tadi. Di sini letak
permasalahan, sehingga sebagian awam menjadi anomali terhadap
materialisme."
Ntah,
ketakutan yang bermacam-macam dari berbagai miringnya tafsir tentang
(materialisme). Bisa jadi, sebagian awam takut akan materialisme, karena
mendekati kata "matre" kali ya..!!."
Padahal,
konteksnya berbeda dengan "matre" yang kini telah bergeser menjadi
istilah kekinian, karena penekanannya adalah (benda) atau ada juga yang
menafsirkan materilisme itu “Hedon” orang yang takut sakit atau takut susah. Namun selalu ingin merasakan bahagia.
Alhasil
(materialisme) kini, imbasnya menjadi makna yang bias keluar dari definisi sang
konsep gagasan Epicorus sebagai filsuf pertama yang mencetuskan paham materialisme,
pada masa Yunani kuno, lebih vulgar lagi konsep (materialisme) pada waktu itu,
jika dikaitkan dengan paham Komunis.
Apalagi,
jika dibenturkan dengan kultur masyarakat Indonesia dengan segelumit perjalanan
sejarahnya tentu akan mendapat cemohan habis-habisan dari masyarakat Indonesia,
apalagi bangsa Indonesia punya sejarah kurang harmonis dengan hal-hal yang
berbau (Komunisme) pada tahun 1965.
Beberapa
hari lalu, si Penulis sempat berdiskusi disebuah angkringan kopi dengan seorang
redaktur media ternama di Bali, tema yang diangkat secara subjektif sungguh
menarik, tentang bagaimana sih, pemikir (materialisme) berbicara mengenai
sebuah takdir dalam kehidupan manusia.
Secara
pemilahan objek pemikir (materialis) tentunya takdir merupakan kebenaran yang
secara kenyataanya, belum dapat diketahui bentuk dan fisiknya secara materil
(nyata). Dalam artian kebenarannya dapat mengisi ruang dan waktu dalam suatu
kesatuan realitas fisik.
Jika
dilarikan kedalam kajian suatu agama, secara umum tentu takdir merupakan suatu
kebenaran yang dapat dikatakan kebenaran mutlaq yang pasti datang menghampiri
perjalanan hidup manusia dan itu pasti terjadi. Quraish Shibab dalam celotehnya
juga pernah menyampaikan dengan jelas
bahwa semua umat muslim, percaya akan takdir, dalam sudut al-Quran pun
Takdir berasal dari kata Qadr “kadar” atau “ukuran” dan “batas”.
“Dia
menciptakan segala sesuatu, lalu dia menetapkan atas takdirnya (ketetapan) yang
sempurna-sempurnanya (Qs 25 : 2)”.
Bahkan
rumput hijau pun akan terbakar jika sudah kehendak takdir-Nya. Namun para
pemikir materialisme, belum dapat bisa menerima tentang kebenaran yang
disampaikan dalam keterangan ini dan bahkan mereka akan saling lempar
argumentasi tentang logika berpikirnya.
Para
pemikir materialisme akan mencari kebenaran yang lebih bertitik tumpu pada
kajian ilmu pengetahuan, bukan keyakinan tanpa melihat wujud atau fisiknya
(keyakinan). Tentu dalam hal ini para para pemikir materialisme akan cenderung
melogikakan tentang perkara takdir tersebut.
Namun
perlu digaris bawahi, bukan menyalahkan, tapi
yang menjadi tolak ukur adalah terdapat beberapa pustaka lebih, bukan
hanya satu rujukan yang melihat (pada suatu kebenaran). Sepertinya jika
dikaitkan antara (materialisme), dengan filsafat (positivisme) milik August
Comte, tentunya sangat nyambung.
Pengusung
paham materialisme, biasanya melihat suatu kebenaran melalui hal-hal yang
berupa logika, analogi, contoh, dalam bentuk wujud (nyata). Berbeda dengan para
pengusung paham idealism yang melihat suatu kebenaran bisa melalui
keterangan-keterangan (semisal melalui ayat-ayat suci), perantara akal, dan
data-data kajian.
Lebih
ilmiah lagi, jika melihat sisi cara pendekatan pengusung paham materialis,
biasanya melalui pendekatan kebenaran korespondensi, dapat dikatakan
“Benar", apabila sesuai dengan "kenyataan” semisal karena rem blong,
seorang pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan yang berujung pada
kematiannya.
Jika
dilarikan pada hal takdir, tentu sebagian orang meyakini dan menjadi ketetapan
bahwa kematian orang tersebut dengan cara mengalami kecelakaan merupakan takdir
dari pencipta-Nya.
Karena,
dalam tataran yang demikian, semua orang mengenal agama, dan pengusung paham
idealisme-pun, meyakini dan menerima hal tersebut. Namun bagi pengusung paham
materialisme-pun, tidak akan membenarkan bahwa inseden tersebut merupakan
ketetapan takdir dari sang pencipta.
Melainkan
peran pengusung materialisme, lebih melihat pada daya analisis (kecelakaan)
yang menimpa orang tersebut, disebabkan karena remnya yang blong. Selain remnya
blong, ternyata jalannya penuh lubang. Sehingga menyebabkan kecelakaan yang
berujung pada (kematian).
Hal
di atas, akan menjadi nyata setelah ditelusuri kebenarannya tanpa ada sangkut
pautnya dengan takdir atau ketetapan sang pencipta. Semua hal di bumi pasti
bisa dianalisa sebab akibatnya dengan memisahkan nilai-nilai yang sifatnya
berkaitan dengan hal yang tidak nampak.
Analogi
selanjutnya, semisal “karena tidak
diikat dengan baik, seorang Kakek kehilangan seekor kambing”. Jika dilarikan
pada takdir, tentu ada benarnya bahwa sudah takdirnya kakek tersebut kehilangan
kambingnya.
Namun
pengusung paham materialisme-pun, tidak membenarkan hal tersebut. Pasti tumpuan
kebenaran di dalamnya, fokus pada konteks bahwa kambing yang tidak diikat dan
masuk akal jika hilang, jika kakek mengikat dengan baik tentu tidak akan
terjadi kambing yang hilang.
Jadi,
jika ditarik benang merahnya, maka tidak ada sangkut pautnya dengan takdir,
akan tetapi si Kakek yang lalai sebagai penyebabnya. Jadi dapat kita garis
bawahi, bahwa pengusung paham materialisme-pun, mengedepankan kebenaran
(materil) daripada (immateril) sebagai rujukan melihat suatu kebenaran yang
sebenarnya.
*)
Indra Andrianto penulis buku "Kumpulan Opini: #merawatingat"yang
terbit tahun 2018 di Pataba Press, Blora. Penulis lahir di Bondowoso pada bulan
Maret 1995. Penulis merupakan demisioner ketua umum Komisariat FIS HMI Cabang
Singaraja (2015-2016) dan penulis alumni Universitas Pendidikan Ganesha yang
saat ini sedang menjalani profesi guru di sekolah internasional (JB School),
Badung-Bali.
Tidak ada komentar