Ulas Buku: Cerita-cerita Kemanusiaan Orang-orang Oetimu
Oleh: M Firdaus Rahmatullah
Orang-orang Oetimu
adalah cerita-cerita tentang orang-orang biasa. Tidak ada sosok yang sempurna
dan tanpa cela. Tentang orang-orang yang tidak dikenal di radio, layar
televisi, video streaming, hingga
media sosial terkini. Dan tentang rasa kemanusiaan orang-orang marjinal dan
bahkan dipinggirkan. Barangkali demikian pesan yang ingin disampaikan oleh
Felix.
Cerita
dalam buku ini adalah tentang orang-orang biasa. Tiada yang istimewa. Kecuali
Romo Yosef, seorang pastor yang merupakan refleksi dan simbol keagamaan dan
kemasyarakatan. Di usia muda, ia begitu disegani dan dihormati karena
keberhasilannya mengubah sekolah pinggiran menjadi sekolah unggulan. Serta
tangan dinginnya mendidik anak-anak itu dengan khidmat.
Ada
juga Sersan Ipi, seorang abdi negara yang harus menjalankan tugasnya sebagai
pengayom dan penegak ketertiban kehidupan masyarakat—bahkan sering menjadi guru
yang lain bagi anak-anak di kampungnya. Ibunya lebih memilih mati seusai
melahirkannya, sehingga ia diasuh oleh Am Siki, seorang bekas pejuang yang
lebih memilih menjadi petani biasa dan pendongeng, yang mengajarkan anak-anak
Oetimu pesan-pesan moril lewat cerita-cerita yang dikisahkan setiap turun
hujan.
Selebihnya,
tentang seorang anak perempuan bernama Silvy yang ditinggal ibunya menikah
lagi, lantas menjadi sentral penceritaan adegan birahi dengan Romo Yosef,
Sersan Ipi, dan Linus, sementara ayahnya bagai di balik nasibnya, dari seorang
guru menjadi seorang yang gemar main perempuan dan mabuk-mabukan dan bangkrut.
Silvy
merupakan contoh bagaimana pendidikan itu semestinya dihayati. Membaca,
membaca, dan membaca, dimulai sejak belia, di dalam rumah yang bobrok—secara
bentuk dan batin. Kebiasaan itu membuat cakrawala pengetahuannya tak
terbendung, hingga lulus masuk sekolah asrama terfavorit dan termahal—berkat
kedisiplinan Romo Yosef, bahkan ketika di kelas sering “menyudutkan”
guru-gurunya dengan pertanyaan-pertanyaan atau penjelasan-penjelasan yang telah
ia kuasai terlebih dulu. Hingga akhirnya ia ditempatkan di perpustakaan khusus
milik Romo Yosef untuk memenuhi kehausan ilmu dan pengetahuannya.
Kisah-kisah
dalam buku ini secara tak langsung merupakan kisah-kisah moral yang dituturkan
dengan tanpa menggurui. Cukup tingkah laku tokoh-tokohnya yang ditunjukkan
tanpa kesan dibuat-buat. Dengan demikian, kita bisa sambil belajar memetik
bunga hikmah yang ditanam di dalamnya sehingga dapat kita jadikan bekal dalam
mengarungi hidup dan kehidupan yang kian tak pasti ini.
Am
Siki misalnya. Meski seorang pejuang yang tidak diakui negara, ia tetap
menjalani kehidupannya tanpa pamrih, banyak memberi daripada menerima, ikhlas
mengajarkan anak-anak kampung, dan tak lelah membantu sesama.
Atau
simak pula Sersan Ipi. Meski yatim piatu, ia tetap patuh dan tawaduk kepada Am
Siki, yang sudah dianggapnya ayah kandung, dan rela mengabdi kepada negara
dengan menjadi anggota polisi dan ditempatkan di kampungnya, Oetimu.
Kehidupannya yang bersahaja bersama Am Siki membuatnya menjadi pribadi yang
kuat, mandiri, dan pantang menyerah.
Buku
ini merupakan pemenang pertama dalam sayembara novel yang diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. Tak heran jika novel ini menjadi pemenang
pertama, sebab dalam pertanggungjawaban dewan juri, dikatakan bahwa novel ini
merupakan “sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik.” Tak hanya
itu, narasi-narasi yang dibangun Felix amat lancar (tak ketinggalan bumbu-bumbu
cerita seks yang vulgar)–bahkan tanpa kendala yang berarti–kecuali pada
bagian-bagian tertentu kita mesti mengendurkan daya baca kita, membacanya
pelan-pelan, dan jika perlu diulang supaya dapat memahami apa yang dimaksudkan
dalam teks tersebut (hal. 108).
Patut
kita apresiasi bahwa untuk menanggulangi hal-hal demikian, Felix menambahkan
daftar istilah dan singkatan (hal. v-vi). Banyak singkatan yang bagi pembaca
tentu asing akan istilah-isitilah tersebut. Pun kosakata kedaerahan yang tentu
saja akan sulit dipahami oleh pembaca daerah lain. Dengan demikian para pembaca
tidak kesulitan memahami subjek yang dimaksudkan dalam novelnya.
Tema
dalam cerita ini beragam. Mulai dari hubungan antarmasyarakat yang terjalin
begitu akrab, suasana orang-orang Oetimu dan di perbatasan Timor Timur (kini
Timor Leste), kebobrokan moral pastor dan gereja, pendidikan, keluarga,
kesewenangan dan tindakan represif tentara-tentara Indonesia di pulau Timor,
dan tentu saja asmara yang membara dan tidak beradab. Untuk yang terakhir,
sesuai dengan keterangan pada sampul belakang buku ini, adegan demi adegan syur
dan mesum diceriterakan dengan amat prosedural dan naratif, seolah detil demi
detil tak ingin dilewatkan oleh penulis. Hal ini tentu mengingatkan kita akan
novel-novel karya Freddy S yang booming pada tahun 1980 hingga 1990an.
Di
lain itu, kita tentu dapat menangkap beberapa pesan moril yang ingin
disampaikan penulis melalui tokoh-tokohnya. Salah satunya adalah pendidikan
mampu mengangkat harkat, martabat, dan derajat seseorang (meskipun akhirnya
yang menentukan adalah yang bersangkutan). Pendidikan adalah modal mengarungi
kehidupan yang serba-tak-pasti. Sementara keluarga adalah tempat kita berpayung
dari segala debu duniawi dan guyuran hujan hujat dan materi. Keluarga adalah
tempat tentang segala yang disebut kedamaian.
Singkatnya,
novel ini dapat membuat kita berpikir, kagum, haru, dan birahi dalam tempo
bersamaan. Sebagaimana yang tercantum di sampul belakang buku ini, bahwa novel
ini mengasyikkan, menggambarkan masyarakat Timor Barat dengan segala
kepelikannya, di mana gereja, negara, tentara republik, hingga Soeharto,
berperan besar dalam kehidupan sosial. O ya, juga sopi dan seks. (*)
Judul buku:
Orang-Orang Oetimu
Penulis:
Felix K. Nesi
Penerbit:
Marjin Kiri
Tahun Terbit:
Juli 2019
Tebal:
viii+220 halaman
ISBN:
978-979-1260-89-3
Tentang penulis
M
Firdaus Rahmatullah, penulis lahir dan menempuh pendidikan di Jombang,
menggemari sastra dan kopi, karya-karyanya tersebar di beberapa media massa cetak dan
daring, dan kini mengabdi di SMAN 1 Panarukan.
Email: mufira@gmail.com
Tidak ada komentar