Bukan Kolosal Karmapala: Habis Gelap, Terbitlah Perubahan
Oleh Sukandi Yanto*
Setelah
sepuluh tahun, rezim Almarhum Dadang Wigiarto di Situbondo akhirnya berakhir. Saya
mengenangnya sebagai periode kepemimpinan yang menyeret-nyeret nama Kiai ke
ranah politik. Mari mengingat lagi. Baik periode pertama yang didampingi
Rachmad dengan partai pengusung utama PKNU, Golkar dan partai lainnya, maupun
periode kedua didampingi Yoyok Mulyadi dengan partai pengusung PKB dan beberapa
partai pendukungnya jualannya selalu membawa nama Kiai kharismatik di
Situbondo.
Berapa
banyak mata kita dibuat meratap-ratap ketika melihat banner, pamflet, stiker yang
biasa terpampang gambar kandidat disandingkan dengan kiai? Itulah wajah Situbondo.
Kota yang para politisinya tidak percaya diri tampil dengan apa yang dimiliki
dirinya. Kiai sering dibawa-bawa untuk mendongkak reputasi. Mendulang suara
hanya untuk kepentingan praktis. Hmm~
Mari
melihat lebih jauh. Pada Pilkada 2020 yang lalu, Yoyok mulyadi maju sebagai kandidat
bupati Situbondo didampingi Abu Bakar. Sama, gambar kiai dibawa kemana-mana
sampek miris, fotonya ditempel di tengah jalan raya. Otomatis diinjak dan
dilewati kendaraan yang lewat.
"Duh, gambar kiaiku ada di tengah jalan", pikirku dalam hati. Tapi apalah daya, aku hanya penikmat sandiwara politik yang ada di Situbondo. Mau berkomentar takut kena Tola (Bala'). Diam, malah gregetan. Capek juga, kan?
Simbol
tokoh sering dijadikan branding untuk mendongkrak elektabilitas para politisi.
Coba kalau para politisi yang sering bawa nama kiai itu tampil dengan dirinya
sendiri, misal nih tidak maju lewat partai yang direbut dari Gusdur itu, lewat partai nasionalis misalnya, mungkin
nyaleg saja gak akan ada yang milih. Atau maju jadi kades, gak kira ada yang
milih. Jikapun ada itu karena kasian, mungkin.
Yang
tak kalah aneh, mereka malah bangga saat ada kandidat yang ketika ditanya apa
gagasannya untuk Situbondo, eh malah jawab,"Saya manut apa kata Kiai".
Mendengar
ucapan seperti itu dari kandidat yang katanya sudah melanglang buana di
birokrasi, kayaknya kurang gimana gitu. Kiai selalu dijadikan bemper politik
para aktor yang berkepentingan. Sholawat dijadikan narasi politik untuk
menjadikannya candu di tengah masyarakat.
Coba
diingat apa efek yang dirasakan masyarakat dengan memilih diksi Bumi Sholawat
Nariyah? Kalau tidak dikatakan salah, ini yang dikata oleh orang jakarta sebagai
pencampuradukan urusan agama dengan urusan politik. Sayangnya juga tidak secara
total. Andai dicampuraduk harusnya ada produk hukum yang berbasis syariah. Mirip
mirip aceh gitu. Bahasa anunya, Semi Campuraduk. Hanya berani di wilayah simbol
saja, tidak sampai pada substansi ajaran itu sendiri.
Lagi,
Para tokoh intelektual yang katanya sudah melek literasi, tidak luput
dimanfaatkan untuk diperas otaknya untuk menjadi penyerang dengan narasi-narasi
nyinyir terhadap lawan politiknya. Kakak bisa tengok Front det-ngodethen
Situbondo dan Netipedia atau komunitas lainnya yang secara terselubung arah
narasinya mirip mirip pembelaan gitu. Tak terkecuali para pegiat Gerakan
Situbondo Mencatat yang biasa dikenal GSM. Jangan tersungging loh ya. Wekekek..
Eits,
tahan dulu. Hati boleh panas, tapi otak harus dingin. Kebalik ya.
Loncat
ke pembahasan lain, ini soal birokrasi. Rezim Almarhum Dadang yang hendak
dilanjutkan Yoyok tapi gagal, bukan berarti tidak ada artinya apa-apa bagi para
birokrat. Mereka yang saat pilkada mati-matian mengerahkan tenaganya untuk
memenangkan Yoyok dengan harapan memperoleh jabatan yang dapat menopang karirnya,
hari ini agak deg-degan. Kabarnya, Bung Karna dan Nyi Khoironi yang sudah sah
sebagai bupati terpilih akan melakukan perubahan besar besaran. Birokrasi lawas
akan diganti dengan orang-orang baru dengan semangat merubah Situbondo ke arah
yang lebih maju.
Tapi
kata orang dalam, Bung Karna harus bekerja keras. Soalnya banyak birokrasi yang
sejak 10 tahun terakhir sudah terpolarisasi dengan gaya kerja rezim sebelumnya
yang hidupnya sudah merasa enak, atau mungkin sudah dienakkan, akan sulit
dibedakan antara birokrasi yang bisa dijadikan teman dan lawan.
Kata
orang dalam lagi, birokrasi bisa bermuka dua loh. Ya, itu karna mereka bekas
pendukung nomor dua. Oh kasihaaaan~
Terakhir.
Sebagai masyarakat Situbondo yang rindu akan perubahan, saya yakin bahwa Bung
Karna yang berpengalaman di birokrasi dengan kemampuannya memimpin dinas-dinas
di Bondowoso dan Lumajang bahkan pernah jadi Plt. Bupati Bondowoso, beliau
pasti punya strategi yang jitu untuk menyelesaikan itu semua.
Nyai
Khoironi yang aktif diberbagai organisasi, akan juga mampu membantu Bung Karna
menjalankan roda organisasi birokrasi yang agak ngeri-ngeri sedap. Tinggal,
berani tidak Bung Karna dan Nyi Khoirani mengambil tindakan tegas terhadap
orang orang yang berpotensi menjadi pemghambat pemerintahannya. Yakni mengubah
cara kerja yang berdasarkan kedekatan dengan Panji Lao' menjadi cara kerja
berdasarkan potensi kemampuan birokrasi. Merubah pola pembangunan yang terpaku
pada patron menjadi pembangunan yang berpihak pada rakyat. Serta merubah pola
pikir yang simbolis agamis menjadi pola pikir dengan nilai nilai keagamaan yg
lebih terbuka.
Tapi, era 'gelap' itu sudah tenggelam. Mari kita sambut cahaya. Cahaya perubahan.
Selamat datang, perubahan!
___________________
*) Pegiat
Pemoeda Perobahan
Tidak ada komentar