Namaku Marsinah. Ibu memanggilku Sinah
dengan dua “n” di tengah sehingga menimbulkan bunyi dengung. Sementara ayah
selalu memanggilku, Marina tanpa dua “n” di tengah. Nama itu lebih keren dari
nama panggilan ibuku. Tapi aku tidak mengubah namaku menjadi Marina, namaku tetap Marsinah, turunan Jawa.
Sebagai anak keempat, termuda, dan
tercantik di keluarga, aku mendapat perhatian lebih banyak dari orangtuaku. Di
keluagaku, hanya aku yang tidak diperbolehkan memasak, duduk di dapur, atau
menyapu sehingga aku selalu memilih berdiam di kamar sambil membaca komik
kesukaanku. Jika komik itu sudah kubaca semua, aku akan meminta ayah untuk membelinya
di dekat tempat kerjanya setelah pulang kerja. Siklus hidupku begitu damai. Aku
hanya tahu, bahwa hidup ini sangat indah—sangat indah seperti kelopak bunga
lili yang bermekaran. Aku jadi ingin hidup lebih lama dari manusia biasanya.
Aku punya impian besar. Saking besarnya
aku butuh banyak waktu, banyak usia, dan banyak-banyak yang lain sebelum sampai
pada titik itu. Mungkin orangtuaku tidak bisa melihat pencapaianku. Mungkin
mereka sudah berjalan di jembatan surga, tapi, aku ingin mereka melihatnya: melihat
impianku.
Pagi itu banyak ibu-ibu tetangga datang
ke rumah untuk membantu ibu dan kakak perempuanku mempersiapkan acara nanti
malam. Acara yang memperingati Hari Lahir Nabi Muhammad dan sering disebut,
Maulud, dengan “a” dihilangkan. Ibu-ibu yang bergerombol, melingkar di ruang
tengah ramai membicarakan ustaz baru yang mengajar di madrasah. Saat itu aku
sedang di kamar yang berdekatan dengan ruang tengah.
Sementara aku menempelkan telinga di
pintu kayu yang diingin, di luar sana suara-suara terdengar.
“Ustaz itu masih muda, tapi sudah hafal
banyak hadis … kalian harus ikut pengajiannya di musala minggu malam.”
“Tak salah dia mengajar di MD Miftahul
Ulum,” seru yang lainnya sambil mengaduk adonan kue.
“Jangan-jangan Kiai Fathullah mau menjodohkannya
dengan putrinya?”
“Semoga dia jadi menantuku.”
Dan aku pun akhirnya tidur ketika
matahari tepat di ubun-ubun, setelah menamatkan komik.
***
Seseorang tidak bisa melihat matahari
dengan mata telanjang. Begitu juga melihat manusia dari balik baju
kehormatannya. Sulit mengetahui apa manusia itu benar-benar selaras dengan
pakaiannya. Bisa saja pakaian itu hanya menutupi kebobrokan. Atau karena mata
kita, mata manusia yang lemah disilaukan oleh sinar matahari sehingga mata
manusia tidak dapat melihat dengan benar.
Ketika acara di rumah mulai, aku duduk
di samping ibu dan kakak perempuanku. Saudara laki-laki dan ayahku menyambut
tamu yang datang di halaman rumah. Seorang lelaki memakai jubah putih, peci
putih dengan surban melilit di kepalanya, masuk ke dalam rumah sambil
mengucapkan salam. Ibu-ibu yang duduk di dapur segera melongo dan menunjuk ke
lelaki berjubah itu. Dapur mulai ramai dengan ibu-ibu lagi. Aku mengangkat
kepala dan menoleh untuk melihat lebih jelas lelaki yang dibicarakan ibu-ibu di
dapur.
Ustaz Ulum berwajah cerah. Aku tidak
berhenti melihatnya jika ada kesempatan. Ibu terlalu sibuk mengobrol dengan
temannya, sementara kakak perempuanku sedang menyusui anaknya yang menangis.
Aku melihat kesekian kali. Dia membaca yasin dengan sangat lirih, dengan
tekanan sedikit pada huruf qalqalah, yang membuat jantungku berdetak
keras. Aku tidak pernah mendengar seorang membaca yasin sebagus itu.
Acara selesai. Satu demi satu tamu
undangan pulang mengusap mulut, meraba perut, dan sesekali mengentakkan ujung
rokok. Beberapa masih duduk di dalam dan beberapa lagi mengobrol di depan
rumah. Asap rokok membumbung di depan kepala mereka. Sementara ibu-ibu sibuk
membawa piring kotor ke belakang, beberapa buah yang tersisa di piring ditaruh
ke saku masing-masing. Atau sisa makanan ringan, dilempar ke dalam mulutnya
sambil membawa piring itu ke belakang.
Di dalam, ayah mengobrol dengan Ustaz
Ulum dan Kiai Fathullah. Ustaz Ulum duduk di belakang Kiai Fathullah dengan
khidmat. Ayah berkata pada mereka bahwa, aku belum bisa mengaji dengan benar.
Ayah berkata lagi, bahwa dia tersentuh mendengar Ustaz Ulum membaca yasin
dengan baik. Kiai Fathullah memberi pujian, bahwa Ustaz Ulum belajar Al-quran
di Gresik. Ayah kembali berkata, bahwa dia ingin aku bisa ngaji sebagus itu.
Aku mendengar pembicaraan mereka di
kamar agak samar, karena ponakanku menangis sangat keras.
Keesokan harinya ayah berkata bahwa nanti
sore aku harus belajar ngaji dengan Ustaz Ulum. Aku tidak tahu ekspresi wajahku
saat itu. Tapi ayah tersenyum melihatku.
Sorenya Ustaz Ulum benar-benar datang
ke rumah. Dia mengenakan peci putih tanpa surban di kepalanya. Bau parfumnya
tercium sampai kamarku. Ibu mengetuk pintu, dua kali, berulang cepat. Kemudian
aku keluar, ibu menyambut dengan senyum manis dan menuntunku ke ruang tengah.
Oh, betapa aku terpukau melihatnya. Aku
ragu-ragu duduk di rumahku sendiri. Tapi dengan paksaan aku duduk di depan meja
kecil dengan Al-quran di atasnya. Pelajaran mengaji pun berlangsung satu jam. Ibu
dan ayah melihatnya dari kejauhan. Aku tahu karena aku mendengar bisik-bisik
mereka dari kejauhan.
Setelah dapat mengenal tajwid aku
beralih ke pernafasan, dan ini membuatku senang berlama-lama karena di tingkat
ini aku mempelajari tartil atau lagu-lagu untuk mengaji. Pertemuanku dengan
Ustaz Ulum tak dapat dihitung. Mungkin sudah puluhan atau ratusan. Aku sudah
hafal dua tartil dan dengan itu aku sering diundang Kiai Fathullah untuk tartil
di madrasahnya, di acara-acara penting dan besar.
Walau pun sudah dibilang selesai, Ustaz
Ulum terus datang ke rumah dan mulai beganti pelajaran, dari Al-Quran ke Kitab
Gundul—yang membuatku pusing jika melihatnya. Selama ini aku hanya mendengarnya
sambil mengangguk paham dan kadang mencatat jika ada syair bagus yang
dibacanya. Ayah dan ibu mendorongku untuk belajar lebih banyak dari Ustaz Ulum,
dan aku mengiakan karena aku suka berlama-lama dengannya. Dan pelajaran pun
bertambah, dari Kitab Gundul ke Tafsir Quran.
Satu malam dia datang ke rumah untuk
mengajar. Aku membuka pintu dan menyilakan masuk. Saat itu ibu dan ayah sedang
pergi. Di rumah sepi, hanya ada kucing peliharaan yang mondar-mandir mencari
kaki manusia. Aku kembali setelah memakai telekung berbunga merah muda, duduk
di depannya, dan dia berkata dengan lirih, “Malam ini kau sangat
cantik,”—mungkin saat itu pipiku merona mendengar pujiannya. Aku menunduk
menutup wajah. Lalu samar-samar aku mendengarnya berkata lagi, “Aku
mencintaimu, Sina,”—tiba-tiba kepalaku mendongak dan menatap matanya,
menerawang. Dalam hati aku mengiakan perkataanya tadi, tapi aku harus tetap
menerawang matanya—takut-takut ada kebohongan.
Ustaz Ulum menyentuh punggung tanganku.
Mataku jatuh di tangannya. Dia mengangkat tanganku dan menempelkannya di
dadadanya. Aku merasakan sebuah detakan yang keras di balik tanganku. Meja
kecil di depanku mulai bergeser dan wajah kami semakin dekat, bahkan napasnya
menghantarku pada kehangatan yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Dia
mengangkat tanganku lagi, menaruh di bahunya. Lalu tangannya mengusap pipiku
yang merona. Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang merayap hatiku. Tapi
naluriku mengatakan agar aku memejamkan mata, dan gigitan kasar di bibirku
terasa sakit. Aku tersadar. Tubuhku sudah setengah telanjang, dan tangannya
mulai menggerayang ke mana-mana, ke inti perempuanku. Mungkinkah ini yang
dinamkan zina? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku jadi teringat pengajiannya
tempo lalu di musala, bahwa dosa terbesar adalah zina. Aku benci ucapannya di
musala. Aku jijik mengingatnya.
Tuhan, kini impian besarku telah
hancur. Seseorang yang kuhormati menari di atas tubuhku. Ampuni aku. Ampuni aku.
Tuhan tahu siapa yang berdosa. Tuhan Maha Adil, Maha Bijaksana.
***
Aku terbangun dengan tubuh telanjang
ketika ibu dan ayahku datang dengan pertanyaan-pertanyaan yang seakan membunuhku.
Aku terdiam. Aku menangis. Aku tahu, aku hancur. Aku tahu, impianku hilang. Ya,
hidup yang sulit akan dimulai sekarang.
Setelah tergagap memberitahu siapa
pelakunya, ayah dengan marah datang ke MD Miftahul Ulum malam-malam, dia
menggedor rumah Kiai Fathullah. Dia menggedor lebih keras dan Kiai Fathullah
keluar dengan perut telanjang dengan bau keringat yang menyengat.
Saat itu ibu menangis terus menerus,
menggoncang bahuku, dan bertanya mengapa, mengapa berulang-ulang. Aku
dipeluknya dan dia menangis lebih keras. Aku tidak kalah lebih keras darinya.
Ayah datang ketika kami sudah tenang. Dia berkata bahwa Ustaz Ulum sudah tidak
di rumah sejak pagi, dia izin pulang ke rumahnya karena urusan mendesak. Lalu
ayah bertanya dengan wajah tidak percaya, siapa sebenarnya yang melakukan itu
padaku. Aku marah karena ayah tidak percaya.
“Ada meja dan Kitab Kuning yang menjadi
saksi,”
“Tapi di mana mereka sekarang, Marina?”
Aku terkejut. Dua benda itu sudah tak
ada. Pasti Ustaz Ulum, maksudku Ulum yang memindahkannya. Aku mendesak ayah
agar memenjarakan Ulum ke penjara, tapi ayah malah menamparku, tubuhku oleng
dan terjatuh.
“Dasar bodoh. Itu sama saja dengan
bunuh diri,” katanya geram. “Siapa yang melakukannya, Marina, siapa? Cepar,
jawab!”
Aku tidak menjawab, percuma
mengatakannya, karena ayahku sudah sekeras batu, sementara ibu sedingin es—yang
kapan saja bisa meleleh dan hanyut dibawa arus.
Aku pergi meninggalkan rumah tanpa alas
kaki, tanpa selembar uang, dengan dada robek, dengan rabut awut-awutan dan
kepalaku pusing. Impian besar yang ingin kulihatkan pada mereka, berubah
menjadi tongkat sihir yang mengutuk mereka menjadi sekeras batu dan sedingin
es. (*)
Jakasampurna, 09-09-2020
Fahrul Rozi, lahir di Sampang. Saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun daring.
Tidak ada komentar