Napas Nusantara Rythm dan Petualangan Musikal Ali Gardy
Oleh Panakajaya Hidayatullah*
Intro
Senin,
8 Maret 2021 barangkali adalah momen paling monumental bagi Ali Gardy dan
kawan-kawan seniman di Situbondo. Bukan hanya karena tanggal ini berdekatan
dengan Hari Musik Nasional, tetapi ada rekam jejak peristiwa pertunjukan yang
harus dicatat dalam sejarah seni pertunjukan di Situbondo. Ali Gardy dan
kawan-kawannya yang tergabung dalam Nusantara Rythm menggelar konser launching dua album perdananya sekaligus,
bertajuk Nusantara Rythm dan Pertigaan.
Sejauh
pengamatan saya selama tinggal dan
dibesarkan di Situbondo, belum pernah ada konser pertunjukan tunggal (seniman
lokal) yang mengemas pagelarannya dengan standar pertunjukan konser musik yang
rapi dengan kaidah-kaidah estetika pertunjukan “musik seni”. Terpaksa saya
harus membedakan terminologi musik populer dan musik seni untuk mendudukkan
konteks pagelaran Ali semalam. Ihwal sederhana yang membedakan dua terminologi
ini adalah bagaimana musik itu diproduksi, dipresentasikan, dan dimaknai oleh
para pendengar.
Musik
populer memiliki kecenderungan pada bentuk yang sederhana, gampang dicerna, dan
tak butuh perenungan mendalam untuk dinikmati karena tujuannya hanyalah memuaskan
selera pasar. Namun musik seni jauh melampaui itu semua. Konser Nusantara
Rythm semalam mewakili apa yang telah saya uraikan.
Verse: Memaknai Realitas melalui
Pengalaman Musikal
Konser
yang berdurasi kurang lebih sekitar dua jam itu, tak hanya menghibur saja tapi
juga memberikan refleksi atas kehidupan alam dan sosial yang sedang kita
jalani.
Ada
banyak cara manusia memaknai pengalamannya yakni melalui sains (ilmu), agama,
filsafat, dan seni. Kenyataan pertama dan paling dasar dari kehidupan adalah
kehidupan yang dialami, dihayati, dirasakan dan diimajinasikan pada tingkat
pra-reflektif dan pra-teoritis.
Seni
menawarkan suatu pengalaman yang ‘konkret’ sekaligus membedakan dari dunia yang
diabstraksi oleh sains (ilmu), dunia yang diidealisasi oleh moralitas, maupun
dunia dogmatis ala agama.
Ali
dan kawan-kawan telah mewujudkannya melalui repertoar berjudul mesem. Mesem didedikasikan untuk
sahabat-sahabat penyandang disabilitas. Repertoar ini dibawakan dengan bentuk
instrumental. Tak ada satupun lirik yang dibunyikan.Menurut saya, Ali dan mesem telah berhasil membawa emosi
penonton mengalami sebuah pengalaman kemanusiaan, melampaui kode-kode bahasa
yang termediasi oleh makna, namun tak terkesan menggurui.
Sebagian besar repertoar yang dibawakan oleh Ali semalam, hendak mempertemukan pengalaman-pengalaman intim penonton yang bersifat personal dengan situasi realitas kehidupan saat ini. Jika tak percaya, coba anda dengar lagu Nyabâna Hodo, Africa Van Java dan Dying Forest.
Chorus: Tradisi sebagai Titik
Pijak
Karya-karya
Ali dalam album Napas Nusantara Rythm memang
bukan karya yang lahir dari imajianasi yang turun dari langit. Ali lahir dan
hidup di lingkungan sosial-budaya masyarkat Situbondo yang tentu saja ia tak
bisa lepas dari kode-kode kultural yang sudah menubuh dalam diri dan alam
pikirnya.
Karya-karya
Ali memiliki titik pijak pada unsur tradisi yang ada di Situbondo. Ali telah
berhasil mempraktikkan fungsi dari seni tradisi sebagaimana yang diungkapkan
oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa, yakni salah satu fungsi penting dalam seni
tradisi ialah sebagai sumber penciptaan seni baru (modern).
Hampir semua repertoar yang ada di album Napas Nusantara Rythm mengambil tema tentang kebudayaan di Situbondo dengan judul yang pastinya tidak jauh dari telinga masyarakat Situbondo sebut saja Panarukan, Patemon, Africa Van Java, Balumbung sebagai representasi sebuah wilayah di Situbondo; Nyabâna Hodo, dan Ojhung sebagai representasi ritual tradisi di Situbondo; dan Aghutta sebagai representasi aktifitas permainan anak-anak di Situbondo.
Interlude: Membaca Gaya
Musikal Ali & Nusantara Rythm
Secara
musikal, karya-karya Ali punya gaya dan karakter yang unik. Di antara kalangan
musisi dan seniman di Situbondo, karya-karya dan cara bermusik Ali memang
paling nyentrik. Barangkali ini juga
strategi merawat eksistensinya. Dulu, saya mengenal Ali sebagai musisi yang bebas, tidak tertib dengan struktur,
bentuk, dan kaidah musik tradisi maupun Barat, bahkan seringkali bermain
improvisatoris.
Di
albumnya yang baru, nampaknya Ali sudah mulai memikirkan bentuk dan struktur
(asumsi saya mungkin karena direkam jadi butuh kerapian hehe), kendati
rekamannya bentuknya rapi, tapi naluri bermain musiknya yang bebas dan liar tak bisa ia hindari dan bantah. Keliaran ini yang menurut saya
menjadikan ciri khas gaya bermain musik Ali. Keberanian menabrak pakem-pakem dan kaidah musik tradisi inilah yang membuat karya-karya Ali
cukup kaya, dan dinamis dengan penggarapan eksplorasi bunyi. Meminjam kata-kata
para etnomusikolog, Ali sedang berusaha “melepaskan
instrumen musik tradisi dari beban kulturnya”.
Anda
bisa melihat bagaimana cara Ali bermain sapek
pada lagu mesem, permainan hadrah pada lagu Panarukan, dan berbagai
gaya permainan suling di beberapa lagu.
Komposisi-komposisi
musik Ali, sebagian besar memanfaatkan kekayaan bunyi musik tradisional yang
sebenarnya tak hanya dari nusantara, tetapi juga lingkup World Music.
Ali
memiliki kecerdikan dan kelihaian dalam meramu pelbagai unsur bunyi yang
beragam.Tak hanya meramu bunyinya, ia juga merangkai puzzle-puzzle gaya, laras dan irama musiknya sehingga terkesan
mengajak para pendengarnya berkeliling dunia melalui pengalaman mendengar
bebunyian.
Ali
dapat dikatakan sedang menerapkan pola creative
indexing yakni menyatukan beberapa idiom-idiom musik dari pelbagai daerah
untuk dijadikan satu sajian musik, dan diharapkan dapat membentuk
imajinasi-imajinasi musikal yang harapannya dapat dimaknai sebagai perjalanan
budaya dalam pengalaman inderawi pendengarnya.
Dalam
repertoar lagu Panarukan-Patemon misalnya, Ali banyak bermain dengan tema
bergaya tuti (unisono) pentatonik,
lalu melanjutkannya dengan pola iringan gamelan Baliberpola repetitif, bermain
di laras madenda (Sunda), dan dan
pola iringan sapek dayak. Dalam lagu
Africa Van Java, ia kembali mengajak berkeliling ke daerah Kalimantan Tengah
dengan mengenalkan idiom musik Dayak-Banjar melalui dawai Panting.
Hal
lain yang menjadi ciri musikal pembentukan karya Ali adalah ia banyak mengandalkan
teknik komposisi monophonik dibanding heterophonik. Teknik ini banyak dipakai
pada musik Raga di India, yang lebih menekankan pada penyajian musik dengan
mengandalkan konstruksi ratusan skala (scale)
melodi dalam satu iringan harmoni statis. Di musik tradisi Jawa, Sunda bahkan
Madura khususnya gamelan sebetulnya cenderung lebih banyak bermain dengan gaya
heterophonik dimana banyak mengandalkan overlapping
laras dan pola melodi interlocking
yang hanya diisi oleh lima nada saja.
Saya tidak tahu pasti kenapa Ali lebih
mengandalkan teknik ini, yang jelas ini menjadi ciri khas gaya bermusiknya.
Asumsi saya barangkali Ali punya kecenderungan lebih menekankan musiknya pada
nuansa yang hening, kontemplatif, dan meditatif seperti musik raga. Anda dapat
menikmati gaya musik Ali yang berciri ini pada lagu Nyabâna Hodo, dan Africa Van
Java.
Ciri bentuk musikal karya-karya Ali berikutnya ialah penyajiannya yang modern dan eksploratif. Alih-alih memainkannya dengan komposisi gaya tradisional yamg njlimet, Ali lebih memilih meraciknya dengan gaya modern dan dikemas dengan harmoni musikal yang easy listening untuk semua kalangan. Saya melihat motivasi ini sebagai sebuah kampanye untuk mempopulerkan dan mengenalkan musik tradisional kepada kalangan muda. Bahwa bermain musik tradisi tak selamanya terkesan “kuno’ dan “tidak gaul”. Motivasi yang seperti ini memang perlu muncul di Situbondo, mengingat besarnya gap antara seniman tradisi dan seniman modern. Mungkin melalui karya Ali inilah jurang pemisah itu akan dijembatani.
Coda: Repertoar yang
Mencerminkan Perjalanan Musikalitas
Sebagai
sahabat dan rekan kreatif yang sudah lama berproses dengan Ali, kesan yang saya
dapatkan ketika menonton konser kemarin ialah sebuah gambaran napak tilas
perjalanan musikalitas seorang Ali Gardy. Konser kemarin seperti menampilkan
film dokumenter perjalanan Ali bermain musik. Sebagai teman, saya turut mengamati
proses bermusik Ali dari dia bermain drum di masa SMA, lalu menjajal beberapa
instrumen perkusif pada beberapa genre musik Reggae, dan Jazzy Latin di band,
kemudian bertemu Mas Aves dan “tersesat” di wacana musik tradisional hingga ia
membuat beberapa instrumen musik.
Perjalanannya
berkeliling daerah melalui festival-festival musik tradisi, hingga yang paling
monumental ia pernah bermain dengan musisi kawakan di Indonesia seperti Dewa
Budjana, Tri Utami dan lainnya. Hingga di suatu ketika saya pun berkesempatan
berproses bersama Ali sekira kurang lebih dua tahunan (2016-2018). Dengan
perlintasan musikal yang tentu cukup rumit piano klasik dan tradisi, kamipun
sempat membuat karya yang salah satunya dimainkan dalam konser tadi malam
berjudul Napas Nusantara Rythm.
Sepuluh
karya yang dimainkan dalam konser kemarin, sebetulnya adalah cuplikan
perjalanan musikal yang sudah ia jalani selama kurang lebih satu dekade.
Perjalanan yang tentu cukup sulit bagi seorang Ali Gardy, yang memulai proses
bermusiknya secara otodidak dan bertumbuh dengan pesat karena proses dan
pengalaman yang ia jalani. Semakin hari, proses bermusiknya semakin matang dan
menemukan jati dirinya.
Akhir
kata, atas segala yang Ali Gardy curahkan untuk album Napas Nusantara Rythm ini, saya optimis karya ini akan menjadi
stimulasi untuk membangun kesadaran dan pentingnya mengangkat narasi-narasi
lokal kedalam sebuah karya seni pertunjukan pada umumnya dan musik pada
khususnya.
Jejak
petualangan Ali kini telah diabadikan, mari kita jelajahi setapak demi setapak.
Niscaya karya ini akan memberikan motivasi bagi kita semua untuk terus berkarya
dan melestarikan kebudayaan lokal.
Mator sakalangkong.
______________
*) Penulis merupakan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Unej. Penulis buku Tabbhuwan.
Tidak ada komentar