Tentang Anak Muda yang Semalam Suntuk Meresapi Cerita Mamaca
Oleh Marlutfi Yoandinas*
Robi
namanya. Berusia sekitar 20 tahunan. Mahasiswa Antropologi UI. Yang karena
pandemi Covid-19, memaksanya pulang kampung sambil menjalani kuliah daring. Dan
sudah hampir setahun ini tinggal di Situbondo.
Selama
tiga pekan terakhir, ia menyuntuki cerita-cerita yang terkandung dalam
kitab-kitab Mamaca (Macapat). Saya tahu, tentu kurang elok bagi seorang
mahasiswa Antro, yang sedang tinggal di suatu daerah, memilih hanya mengurung
diri saja.
Robi,
sudah menemui beberapa pelaku Mamaca. Menanyakan banyak hal tentang Mamaca.
Mentranskrip jawaban-jawaban dari narasumber. Mengalihbahasakan dari Bahasa
Madura ke Bahasa Indonesia. Semata agar ia bisa menangkap makna dari cerita
Mamaca.
Namun,
satu hal yang belum ia lakukan, yaitu menonton langsung pertunjukan Mamaca.
Semalam,
pada malam Minggu yang basah karena diguyur hujan deras. Akhirnya, ia
berkesempatan menonton Mamaca pertama kali di Desa Semiring, Mangaran.
Di
sana Kelompok Trisno Pandowo pimpinan Bapak Tris diundang untuk menggelar acara
Mamaca dan Rokat Pandhaba. Tuan rumahnya memiliki hajat untuk meruwat anak
semata wayangnya yang akan melangsungkan pernikahan.
Cerita
Mamaca yang digelar ialah tentang Pandhaba yang mengangkat kisah
"Gatotkoco Kembhar dan Reng-Gherengan Pote".
Syahdan,
Gatotkoco dihajar habis-habisan oleh Seno (ayahnya). Karena ia difitnah telah
menculik Raden Ayu Sembodro, yang merupakan bibinya sendiri.
Yang
menyaksikan proses penculikan tersebut di antaranya Petruk, Gareng, dan
Srikandi. Ketiganya sudah membuat kesaksian di Kerajaan Amerta. Sehingga
gegerlah seluruh kerajaan, tak terkecuali keluarga Gatotkoco.
Raden
Ayu Arimbi, ibu Gatotkoco yang menyaksikan anaknya dipukuli ayahnya merasa
sangat sedih sekali. Ia berusaha sekuat tenaga membela anaknya dan meminta
suaminya untuk berhenti menyiksa.
Namun,
Seno sudah kepalang malu. Jatuh harkat martabatnya karena desas-desus Gatotkoco
menculik dan menyembunyikan bibinya sudah terdengar luas di seantero Kerajaan
Amerta. Bahkan, saking marahnya, Seno mengeluarkan senjata pamungkasnya, Kuku
Pancanaka dan hendak membunuh Gatotkoco.
Mendengar
ramai-ramai, Betara Kresna datang menemui Seno. Ia langsung menegur karena Seno
mengeluarkan senjata Kuku Pancanaka dan Arimbi istrinya terseret-seret
memegangi Seno.
Ada
apa gerangan Seno hingga engkau mengeluarkan senjata Kuku Pancanaka. Padahal
senjata itu hanya ditakdirkan keluar di saat Perang Baratayudha, tanya Betara
Kresna.
Seno
tetap marah dan ingin membunuh anaknya karena kelakuannya sudah sangat
memalukan. Tak ada satu apapun yang bisa menghalangi niatnya.
Sedangkan
Arimbi tetap bersikeras membela anaknya karena Gatotkoco tak mungkin melakukan itu. Arimbi menjadi saksi bahwa
sudah tiga bulan Gatotkoco sakit dan tidak bisa kemana-mana. Selama tiga bulan
pula Arimbi merawat dan menemani anaknya siang dan malam.
Mendengar
dua kesaksian itu, lalu Betara Kresna bertanya pada Gatotkoco. Tubuhnya yang
masih sakit ditambah dihajar oleh ayahnya, Gatotkoco menjawab bahwa ia memang
tidak melakukan hal itu.
Betara
Kresna bertanya kembali pada Seno. Seno, apakah kamu tidak percaya pada istri
dan darah dagingmu sendiri. Tapi karena Seno sudah dikuasai nafsu angkara,
menjawab bahwa ia akan tetap membunuh Gatotkoco yang sudah membuat malu seluruh
keluarganya.
Betara
Kresna dengan bijak meminta kesempatan pada Seno untuk menyampaikan sebuah
cerita. Betara Kresna diberi kesempatan, lalu ia mulai bercerita tentang kisah
Reng-Gherengan Pote.
Konon,
di sebuah negeri antahberantah, hiduplah seekor Reng-Gherengan Pote yang setia
dan tunduk patuh pada tuannya, yaitu Mbok Rondo.
Hingga
pada satu kesempatan, karena Mbok Rondo harus mencuci baju dan piring di sebuah
telaga, ia meminta Reng-Gherengan Pote agar menjaga anak bayinya yang masih
berumur tujuh bulan.
Mbok
Rondo berpikir bahwa Reng-Gherengan Pote bisa diandalkan kalau hanya untuk
menjaga anaknya.
Di
saat menjaga anak bayi Mbok Rondo, ternyata ada ular besar masuk rumah hendak
memangsa anak bayi.
Terjadilah
pertarungan antara Reng-Gherengan Pote dan ular besar. Dua hewan bertarung
beradu. Reng-Gherengan Pote menang gesit. Sedangkan ular besar menang kuat.
Singkat
cerita Reng-Gherengan Pote bisa membunuh ular besar tersebut.
Badan
Reng-Gherengan Pote yang putih dipenuhi oleh merah noda darah ular. Ia
berpikir, tidak mungkin saya menjaga anak bayi Mbok Rondo dengan berlumuran
darah. Akhirnya, Ia memutuskan pergi ke telaga untuk mandi mencuci noda merah
darah.
Di
Telaga, Mbok Rondo yang melihat Reng-Gherengan Pote penuh noda merah darah,
langsung berpikir buruk. Ia mengambil kayu dan memukuli Reng-Gherengan Pote
sampai mati. Ia melampiaskan amarahnya karena berpikir Reng-Gherengan Pote
telah memangsa anaknya.
Lantas,
Ia buru-buru pulang. Sesampainya di rumah, ternyata apa yang telah dilihat
dengan mata kepalanya sendiri berbeda dengan apa yang telah dipikirkannya.
Anak
bayinya tidur pulas dan baik-baik saja. Sedangkan di dekatnya terdapat bangkai
ular besar penuh noda merah darah.
Mbok
Rondo histeris, pergi ke telaga dan membawa mayat Reng-Gherengan Pote. Ia
menyesal semenyesal menyesalnya karena telah salah membunuh Reng-Gherengan
Pote.
Setelah
bercerita, Betara Kresna bertanya pada Seno, apakah kamu setelah mendengar
langsung kesaksian dari istri dan anakmu serta cerita Reng-Gherengan Pote masih
mau melanjutkan untuk membunuh darah dagingmu sendiri.
Seketika
Seno bersimpuh, menyesali keputusan pikirannya sendiri dan gelap mata hendak
membunuh Gatotkoco anaknya."
Cerita
Gatotkoco Kembar dan Reng-Gherengan Pote yang dibacakan oleh tokang maca dan
tokang tegghes, kemudian membuat Robi takjub. Ia berpikir bahwa cerita Mamaca
memiliki pesan moral yang kuat. Mampu mengurai persoalan yang rumit/kusut
sekaligus dengan jalan keluar yang baik.
Contohnya
persoalan fitnah, yang jika itu benar-benar terjadi di masyarakat, kadangkala
sulit untuk diurai apalagi untuk mencari jalan penyelesaiannya. Sehingga besar
kemungkinan ujungnya adalah konflik berkepanjangan.
Saya
kira orang-orang perlu menonton Mamaca agar bisa dilatih berpikir dan meresapi
cerita-cerita itu sehingga bisa terbantu dalam mencari solusi atas persoalan
hidup yang dihadapi.
“Mamaca
di Situbondo harus tetap lestari. Saya akan membantu menyusun dan menerjemahkan
cerita-cerita Mamaca agar pesan di dalam ceritanya bisa dipahami dan dipelajari
secara luas di masyarakat,” kata Robi.
Saya
yang menemani Robi menonton sampai pukul 2.45 dini hari, lalu mendengar Ia
berpendapat seperti itu, merasa wah sekali.
Saya
berpikir, baru cerita tentang fitnah saja, anak muda ini sudah sangat
bersemangat untuk menemukan kearifan-kearifan. Bahkan juga bertekad untuk
mengambil peran dalam pengembangan pengetahuan.
Lalu,
saya berangan-angan, apa ya yang akan terjadi jika nanti Robi saya ajak nonton
Mamaca yang menceritakan tentang kisah cinta. Akankah Ia juga bersemangat
menemukan kearifan-kearifan tentang cinta. Kemudian bertekad untuk memiliki
seseorang yang bisa diajaknya bercinta dan bersuka ria laiknya anak muda.
Oiya, mau tahu anak muda progresif yang saya maksud? Geser ke atas hehe.
___________
Masya Allah di desa saya tiap ada rokat pandhebe pasti ada mamaca... Tp baru kali ini tau artinya dan isi mamaca... Makasih takanta id... Mg jaya selalu
BalasHapusamiin
HapusSemoga filosofi luhurnya masih diresapi dengan baik.
BalasHapuscerita yang bagus jadi tau deh arti dan isi mamaca, terima kasih min
BalasHapusSewa Proyektor Terdekat Pekanbaru